Andi Mallarangeng Kritik Pemilu Proporsional Tertutup: Kemunduran Demokrasi!

30 Desember 2022 1:42 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Andi Mallarangeng. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Andi Mallarangeng. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng mengkritik keras wacana Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup. Menurutnya, sistem ini memangkas hak rakyat dalam memilih wakil daerah dan merupakan kemunduran demokrasi.
ADVERTISEMENT
Sebelumya, Ketua KPU Hasyim Asy'ari meminta kepada para parpol untuk bersiap apabila pada akhirnya tak lagi menggunakan sistem proporsional terbuka, dan kembali ke proporsional tertutup. Sebab, mekanisme sistem proporsional terbuka saat ini sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesia," kata Andi dalam pernyataannya, Kamis (29/12).
"Yang muncul adalah kader-kader jenggot yang berakar ke atas, tidak mengakar ke rakyat. Oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri," imbuh dia.
Andi kemudian mengenang semangat perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka pada masa Orde Baru. Ia menerangkan ini dimulai dari kekhawatiran banyak masyarakat yang tak mengenal wakil rakyatnya dengan sistem tersebut.
ADVERTISEMENT
"Saya masih ingat ketika kami dari Tim 7 yang dipimpin oleh Prof Ryaas Rasyid diminta untuk menyusun draft UU Pemilu baru yang demokratis oleh pemerintahan Presiden Habibie. Ketika itu, dalam semangat reformasi kami mengusulkan, dan disetujui oleh presiden, sistem distrik campuran untuk pemilu legislatif. Alasannya, untuk memperkuat akuntabilitas anggota parlemen kepada rakyat yang diwakilinya," papar dia.
"Selama Orde Baru, dengan sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya. Maklum, rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih dasarnya adalah nomor urut yang ditentukan oleh parpol," jelas dia.
Pemilih Lansia di TPS 10 Glodok, Jakarta, usai menggunakan hak pilihnya. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Dalam sistem proporsional tertutup, Andi menyoroti para caleg hanya fokus mendapatkan nomor urut paling atas. Adapun caranya dengan mendekati pimpinan parpol masing-masing.
ADVERTISEMENT
"Resepnya [saat itu] adalah dekat-dekatlah kepada pimpinan partai. Dekat kepada rakyat tidak penting. Yang penting branding partai tetap kuat di dapil. Biarlah tokoh utama partai yang berkampanye keliling, kita tinggal memasang gambar partai dan tokohnya," ujar dia.
"Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Yang kerja keras mungkin caleg nomor 2, karena hanya kalau partai dapat 2 kursi baru dia bisa terpilih. Nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih," tambah dia,
Andi menyoroti ada kritik sistem proporsional terbuka mengakibatkan biaya politik tinggi karena persaingan antar calon di dalam partai. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan politik uang.
Tetapi ia memandang, politik uang tidak berasal dari sistem pemilu tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elitenya sendiri. Ia mengingatkan bagi-bagi sembako menjelang pemilu, misalnya, sudah terjadi sejak masa Orde Baru dengan sistem proporsional tertutup.
ADVERTISEMENT
"Kalau soal politik biaya tinggi, itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Apalagi, sekarang ada medsos yang gratis," kata Andi.
"Yang jelas, sistem proporsional terbuka menghasilkan anggota parlemen yang akuntabilitasnya kuat kepada rakyat. Kalaupun sudah terpilih, tidak ada jaminan dia bisa terpilih kembali, biarpun dapat nomor urut 1. Tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat," paparnya.
Sedangkan dengan sistem proporsional tertutup, lanjut Andi, seseorang bisa terpilih dan terpilih kembali walau kinerjanya sebagai wakil rakyat tidak jelas. Ia memandang selama orang tersebut dekat dengan pimpinan partai bisa terus dapat nomor urut 1 dan kemungkinan besar terpilih kembali.
"Kalau itu terjadi, yang akan tampil di DPR dan DPRD adalah para elite partai dan orang-orang yang jago cari muka kepada pimpinan partai. Mereka bukanlah wakil rakyat yang sejati," ujar dia.
ADVERTISEMENT

Usulkan Sistem Distrik

Andi mengusulkan jika ingin meningkatkan demokrasi pada sistem pemilu, maka sebaiknya menerapkan sistem distrik. Dalam sistem ini, tiap daerah hanya diwakili satu kursi.
"First past the post. Wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat, di mana satu dapil hanya ada satu kursi. Dapilnya kecil, hubungan antara rakyat dan wakilnya jelas, akuntabilitas kuat. Tapi kita tahu sejak dulu mayoritas parpol tidak percaya diri dengan sistem distrik," ujarnya.
Atau jika dirasa belum mampu mengadopsi sistem distrik, maka Andi mengusulkan sistem campuran.
"Kita maju ke arah sistem campuran distrik dan proporsional, seperti di Jerman, yang diusulkan Tim 7 dulu. Dengan sistem ini, mayoritas anggota parlemen dipilih dengan sistem distrik, namun ada sebagian kursi diperebutkan dengan sistem proporsional tertutup. Yang terakhir ini mengkombinasikan akuntabilitas yang kuat kepada rakyat dengan kebutuhan partai untuk menempatkan elitenya di parlemen," terangnya.
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Sementara itu, Andi meminta pemerintah tak perlu mengubah-ubah sistem proporsional terbuka apabila tak ingin menerapkan sistem distrik atau campuran tersebut.
ADVERTISEMENT
"Kalau toh sistem campuran ala Jerman ini tetap dianggap masih terlalu "menakutkan" bagi elite partai, ya sudah, marilah kita tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, yang tetap memberikan peluang bagi rakyat untuk memilih langsung wakilnya," tegas dia.
"Janganlah hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri dengan mundur ke sistem proporsional tertutup," pungkas Andi.
Adapun terkait gugatan di MK, saat ini tengah diajukan oleh enam orang pemohon, dua di antaranya kader parpol dan tiga warga non-parpol.
Berikut daftarnya:
Dikutip dari laman MK, dalam gugatannya, para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.