Gambar 1:

Kraton Yogyakarta

 

Kraton Yogyakarta sebagai cikal bakal keberadaan pemukiman di wilayah Yogyakarta meninggalkan jejak-jejak yang masih bisa ditelusuri dengan baik. Sejak bangunan Kraton yang mulai dihuni pada tahun 1756 sampai sekarang tentunya mengalami perkembangan-perkembangan yang tidak bisa dihindari.  Kraton mengembangkan kebudayaannya sendiri, dengan beberapa pengaruh dari luar, sehingga menemukan jatidirinya seperti sekarang. Kawasan ini merupakan living monument, yang masih hidup dan juga memiliki pengaruh luas. Eksistensi Kraton Yogyakarta terkait erat dengan struktur tata pemerintahan, tata ruang kewilayahan, birokrasi, tata hubungan sosial, budaya, dan lingkungan binaan berbagai fasilitas fisik Kraton.   

Pada tahun 2017 terbit Keputusan Gubernur nomor 75/2017 yang menggabungkan Kawasan Cagar Budaya Malioboro dan dalam benteng Kraton (Baluwarti) menjadi satu kawasan yaitu Kawasan Cagar Budaya Kraton, yang membujur dari Tugu sampai Panggung Krapyak.  Potensi cagar budaya di kawasan Kraton meliputi tata ruang kota tradisional dan komponennya, bangunan Kraton dan tata ruangnya, dalem-dalem pangeran dan abdi dalem, bekas Tamansari, Museum Sonobudoyo, benteng dan kelengkapannya, benda-benda movable di Kraton serta kesenian (pertunjukan tari, wayang kulit dan wayang wong, karawitan), adat (upacara pribadi/keluarga dan upacara kenegaraan) serta tatanan sosial budaya lain) serta kerajinan (terutama batik) di dalam maupun di luar tembok Kraton. Kraton sebagai komplek kegiatan budaya dan tempat tinggal Sri Sultan Hamengku Buwono dan keluarganya, tidak semua terbuka untuk umum. Bentuk bangunan terpengaruh model dari Eropa (Portugis, Belanda) dan China. Arsitek Kraton adalah Sri Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, keahliannya dibidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan Belanda Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam.  Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari kraton berikut desain dasar lanskap kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756.

            Kawasan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bangunan cagar budaya yang terdiri dari serangkaian ruang dan bangunan yang memiliki nama, fungsi, pelingkup serta vegetasi tertentu. Serangkaian ruang-ruang terbuka di dalam kraton disebut plataran. Setiap plataran dihubungkan dengan regol atau gerbang yang merupakan pembatas antara plataran satu dengan yang lainnya.  Bangunan yang berada pada masing-masing plataran terdiri dari dua tipologi yang dikelompokkan berdasarkan struktur penyangga atap, yaitu:

  1. Tipologi pertama adalah bangsal, yaitu bangunan yang memiliki deretan tiang sebagai struktur penyangga atap. Dengan kata lain tidak ada dinding sebagai penyangga atap.
  2. Tipologi yang kedua adalah gedhong yang memiliki struktur penyangga atap berupa bidang dinding. Bidang-bidang dinding tersebut terbuat dari dua jenis material, yaitu konstruksi kayu dan batu bata.

            Di luar bangunan inti Kraton, yaitu perkampungan-perkampungan yang terdapat di Njeron Benteng terdapat nDalem-ndalem bangsawan yang merupakan rumah kediaman para putra ataupun putri, maupun kerabat Sultan. Bangunan yang masih eksis sebagai dalem antara lain nDalem Mangkubumen (Rotowijayan), Kaneman (Purwodiningratan), Pakuningratan, Sompilan, Ngasem, Joyokusuman (Rotowijayan), Joyokusuman HB VII (Jl. Magangan Wetan), Benawan, Wironegaran (Suryomentaraman), Suryoputran HB VIII (Ngasem) Purbonegaran, Ngadiwinatan (alun-alun Selatan), Suranegaran (Nagan), Prabukusuman (alun-alun Selatan), dan Partasepatran. nDalem-ndalem yang sudah beralih tangan diantaranya Wijilan, purbayan, Ngabean, Jayakusuman, dan Suryaputran HB VII.

            Malioboro adalah nama jalan bagian dari aksis imaginer yang menghubungkan Kraton Kasultanan Ngayogyokarta dengan Tugu Pal Putih, dan sebelum PD II menghubungkan bagian kota tradisional di Selatan dengan bagian yang lebih baru di Utara. Di kiri kanan jalan ini dahulu terdapat bangunan-bangunan dengan corak arsitektur tradisional Jawa, Belanda, Cina dan Indis. Sebagian kecil masih lestari, tetapi banyak yang sudah berubah menjadi bangunan baru yang bentuk awalnya hanya dapat disaksikan pada foto-foto lama.

Gambar 2:

Gedung BNI 46

 

Pengaruh budaya Belanda dan Cina masing-masing memberikan efek yang besar pada pembentukan fasad bangunan pertokoan yang terbentuk di Jalan Malioboro. Pengaruh Belanda lebih banyak mendominasi bangunan pertokoan di jalan Malioboro sisi utara. Hal itu tidak lepas dari lokasi toko yang berdekatan dengan stasiun Tugu yang dibangun oleh Belanda untuk memperkuat jalur transportasi pada masa kolonial. Hal itu juga berpengaruh pada bangunan yang berada di sekitar Stasiun Tugu, mengingat Stasiun Tugu merupakan salah satu pusat keramainan yang dituju pada saat itu.

Gambar 3:

Klenteng Fuk Ling Miau

 

            Bangunan pertokoan di area tengah mendapat pengaruh modern karena keberadaan Malioboro Mall sejak tahun 1998. Terdapat kemungkinan yang bisa diidentifikasi berkaitan dengan tipe bangunan dengan langgam bangunan modern lebih banyak di area tengah, karena berdekatan langsung dengan bangunan Mall Malioboro, dimana gaya bangunan Mall Malioboro secara fisik lebih ke arah modern. Ketika Malioboro Mall dibangun, image dari Jalan Malioboro sendiri menjadi lebih modern dan mengancam keberadaan bangunan sejarah di sana. Hal ini mempengaruhi toko-toko di sekitar Malioboro Mall untuk memperbaiki penampilan toko mereka untuk menarik pelanggan dan agar tidak menjadi bayang-bayang Mall.

Gambar 4:

Hotel Grand Inna Garuda

 

Gambar 5:

Apotek Kimia Farma

            Pengaruh Pecinan lebih banyak mendominasi bangunan pertokoan di jalan Malioboro sisi selatan. Hubungan Malioboro dengan Pecinan adalah dengan adanya Kampung Ketandan yang merupakan kampung warga pecinan di area ini. Kampung Pecinan di selatan Jalan Malioboro mulai terbentuk pada tahun 1760-1831. Sejak tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah selatan dikenal menjadi permukiman kaum Tionghoa di Yogyakarta. Pemukiman ini semakin berkembang lagi ke arah utara seiring dengan keberapdaan Pasar Beringharjo pada tahun 1925. Karakteristik yang menonjol untuk kawasan Ketandan dan Malioboro adalah arsitektur bangunan dan aktivitas perdagangan. Ciri-ciri arsitektur yang menonjol adalah arsitektur China yaitu bagian atap yang berbentuk lancip seperti kepala naga pada sudut atap dan ujung bubungan dan beberapa ornamen, diantaranya terdapat pada roster/ lubang angin, dinding, ataupun listplank. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.

 

Sumber referensi:

Tim Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2017. Ragam Penanda Zaman. Memaknai Keberlanjutan Merawat Jejak Keberagaman. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan.

Tim Penyusun Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. 2018. Menguak Kejayaan Bangunan Masa Lalu Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Dani, Adinda Rafika dan Djoko Wijono. Tipomorfologi Fasade Bangunan Pertokoan di Sepanjang Ruas Jalan Malioboro Yogyakarta. Diakses dari https://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2017/12/ti6i063.pdf.

https://www.kratonjogja.id/tata-rakiting-wewangunan/4/tata-ruang-dan-bangunan-kawasan-inti-keraton-yogyakarta.