Oleh Hangtuah Titahanestu

Ketika mendengar kata Gerwani, dalam pikiran sebagian besar masyarakat, tentu erat kaitannya dengan organisasi wanita yang bergerak dalam bidang tertentu dan berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia. Terlebih setelah peristiwa G30S, organisasi ini pun mendapat stereotip negatif di kalangan masyarakat Indonesia. Berita yang berkembang pada masa itu, bisa dibilang sangat memojokkan Gerwani. Organisasi ini kerap dianggap ikut andil dalam pembunuhan Dewan Jenderal (Pahlawan Revolusi, Ed); menyiksa para jenderal dengan keji; bahkan hingga tuduhan yang mengatakan bahwa pada saat mereka melakukan pembunuhan, mereka menyiksanya terlebih dahulu dengan cara menyilet kulit, mencungkil mata, memotong kemaluan dan berakhir dengan adegan berpesta di atas mayat-mayat para jenderal.

Namun demikian, versi seperti ini merupakan hegemoni kebenaran yang diwariskan oleh rezim Soeharto. Dalam tulisan ini, saya tidak hendak mengulang-ulang narasi yang dibangun pemerintahan Presiden Soeharto. Sebaliknya, saya justru hendak membeberkan beberapa hal lain terkait Gerwani.

 

Lahirnya Gerwani

Gerwani adalah organisasi wanita terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Pada mulanya, organisasi ini merupakan fusi dari beberapa organisasi wanita yang tersebar di Jawa seperti: Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Bandung, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Gerakan Wanita Rakyat Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Perjuangan Putri Rakyat Indonesia dari Pasuruan, dan Persatuan Wanita Sedar dari Madura. Sebelum berubah nama menjadi Gerwani, organisasi ini sempat bernama Gerwis yang didirikan atas prakarsa S.K. Trimurti hasil pertemuan di Surabaya tanggal 7 Mei 1950. Pertemuan ini diikuti oleh beberapa wakil organisasi Rupindo dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Bandung, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya. Dimana dalam pertemuan itu telah mendapatkan hasil keputusan bahwa adanya persetujuan atas fusi ketiga organisasi tersebut, dan mengajak organisasi wanita lainnya dengan tujuan dan asas yang sama. Selanjutnya, pada tanggal 3-6 Juni 1950 diadakan kongres di Semarang. Isi daripada kongres tersebut menghasilkan sebuah pembentukan organisasi wanita baru yaitu Gerwis atau Gerakan Wanita Sedar.

Dalam organisasi yang baru terbentuk tersebut, sempat pula menyepakati pengurus besar sementara seperti sebagai Ketua Tris Metty, Ketua II Umi Sardjono, Ketua III S.K. Trimurti dan Sekretaris Sri Koesnapsiyah. Gerwis didirikan atas pengertian dan berkeyakinan bahwa wanita memiliki kepentingan dalam usaha anti penjajahan yang sifatnya imperialis dan kapitalis. Selain itu, Gerwis juga berasaskan kekeluargaan dan persaudaraan yang sempurna dalam masyarakat, yang bersendikan atas dasar Pancasila. Cita-cita dari organisasi ini adalah tercapainya masyarakat yang lepas dari segala bentuk penindasan dan perbudakan, baik itu yang dilakukan antar orang dengan orang, golongan dengan golongan, atau bangsa dengan bangsa.

 

Gerwani dalam Mobilitas Sosial-Politik

Organisasi Gerwis, sempat mengerahkan para anggotanya ke setiap pelosok daerah guna ikut serta dalam usaha membentuk suatu negara kesatuan. Organisasi ini dianggap berkembang pesat. Tidak heran, pada tahun 1952, organisasi Istri Buruh Kereta Api beserta cabang-cabangnya pun terdorong masuk dan bergabung menjadi anggota Gerwis. Bersamaan dengan itu, anggota Gerwis semakiin mengalami peningkatan. Pada tahun 1954 misalnya, organisasi ini telah mencapai lebih dari 74.000 orang anggota. Meningkatnya jumlah anggota organisasi ini tidak lain karena adanya program yang menentang praktik feodalisme, terutama pada diskursus perkawinan poligami dan permaduan.

Perlawanan Gerwis terhadap sistem imperialisme tampak begitu jelas dengan diadakannya Kongres I Gerwis di Surabaya. Kongres itu memutuskan bahwa Gerwis menolak segala bentuk hal yang berbau imperialisme. Setelahnya, Gerwis bergabung dengan Federasi Wanita Demokrasi Internasional (Women’s International Democratic Federation/WIDF), yang mana mempunyai tujuan dan semangat yang sama, yaitu mengadakan kesatuan aksi dalam perjuangan kemanusiaan yang berdasarkan perdamaian dunia. Selain keikutsertaan Gerwis dalam organisasi internasional, organisasi ini juga sempat mengusulkan rancangan undang-undang perkawinan yaitu:

  1. Perlu adanya undang-undang perkawinan untuk menjamin hak-hak asasi manusia dengan jalan:
  2. keharusan mendaftarkan perkawinan di kantor pemerintah, khususnya yang mengurusi soal perkawinan di kantor pemerintah, khususnya yang mengurusi soal perkawinan dengan tidak memandang/membedakan agama dan adat.
  3. dalam daftar itu sudah tercantum perjanjian kedua belah pihak (mengenai soal-soal: nafkah, anak, waris, perceraian, dan lain-lain) yang mempunyai kekuatan yuridis, yang berlaku dan harus ditaati bagi seluruh warga negara Indonesia;
  4. di samping perjanjian itu, masing-masing pihak (laki-laki dan wanita) diperbolehkan mengadakan perjanjian kawin tersendiri yang juga mempunyai kekuatan yuridis; dan
  5. ketentuan umur minimum untuk laki-laki adalah 20 tahun dan wanita adalah 17 tahun.
  6. Dalam undang-undang perkawinan itu harus dicantumkan bahwa prinsipnya perkawinan monogamy.
  7. Perbaikan kesejahteraan dan nasib para pegawai yang mengurus soal perkawinan juga perlu ditingkatkan.
  8. Adanya hak mengawasi (kontrol) dan mengoreksi terhadap jalannya peraturan itu oleh organisasi-organisasi wanita pusat dan organisasi wanita setempat.

Meskipun Gerwani atau Gerwis adalah organisasi yang (dianggap) berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia, sebenarnya dalam anggaran rumah tangganya, Gerwis menegaskan bahwa mereka merupakan organisasi wanita yang non-politik dan tidak ada keterkaitan dengan parpol lain. Di dalam organisasi ini tidak ada aturan yang mengharuskan anggotanya ikut dalam suatu parpol atau tidak. Seperti yang dinyatakan S.K. Trimurti:

Perjuangan sosial-politik yang dilakukan Gerwis tidak cukup sampai di situ saja. Ada pula program perjuangan sosial-politik lainnya yakni 16 butir program untuk memperjuangkan wanita:

  1. Hak yang sama dengan laki-laki dalam semua lapangan supaya dijamin undang-undang dan peraturan-peraturan, yang memungkinkan berlakunya diskriminasi bagi kaum wanita dihapus, dan dilaksanakannya Undang-Undang No. 68 Tahun 1959 tentang persetujuan konvensi hak-hak politik bagi wanita.
  2. Agar dilaksanakan UU Perkawinan yang melindungi persamaan hak wanita dan laki-laki dengan prinsip-prinsip Pasal 16 piagam PBB, yang isinya menolak adanya kawin paksa, perkawinan anak-anak, perkosaan dan perceraian yang sewenang-wenang terhadap wanita, dan hak anak-anak yang orang tuanya bercerai supaya dilindungi.
  3. Hak sipil bagi perempuan supaya dijamin (dalam perkawinan campuran) kaum wanita berhak memilih kewarganegaraannya sendiri sesuai dengan undang-undang.
  4. Digantikannya PP 19 tahun 1952 agar Peraturan Pensiun dipermudah.
  5. Badan-badan seperti BPPPP dan PPPP di daerah-daerah supaya diperluas, duduk wakil-wakil dari organisasi wanita yang luas.
  6. Dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Kepegawaian dan segera dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan Konveksi ILO No. 100 tentang jaminan upah yang sama nilainya. Diberikannya hak yang sama bagi buruh wanita dan laki-laki untuk naik pangkat dan menduduki jabatan serta mendapatkan kursus kejuruan dengan syarat yang sama.
  7. Mendesak dilaksanakannya PP yang mengatur cuti hamil, melahirkan, menggugurkan kandungan dan cuti haid bagi buruh/ pekerja wanita di lapangan swasta maupun pemerintah.
  8. Adanya kesamaan dan keselamatan bagi buruh wanita dengan diadakannya tempat penitipan bayi yang memenuh syarat kesehatan, taman kanak-kanak, di perusahaan pemerintah, perusahaan swasta, dan jawatan-jawatan yang banyak buruh atau pegawai wanitanya.
  9. Mendesak pemerintah agar mengeluarkan undang-undang yang mengatur hubungan kerja yang demokratis di antara buruh dan majikan di setiap bentuk pemecatan sewenang-wenang dan massal yang sering terjadi, yang dilakukan terhadap buruh/pekerja wanita, dan dibentuknya dewan peradilan buruh/pekerja di semua lapangan kerja.
  10. Memperluas dan mengintensifkan koperasi-koperasi buruh di setiap lapangan kerja yang bisa meringankan kaum buruh/pekerja wanita dan para istri buruh/pekerja.
  11. Segera dihapuskannya PP yang bersumber pada IGO/IGOB untuk mengakhiri diskriminasi mengenai hak-hak wanita dalam jabatan kepala desa/pamong desa, dan dihapuskannya berbagai macam kerja yang pada hakikatnya sama dengan rodi dan pologoro yang sangat memberatkan bagi kaum tani.
  12. Mendesak pemerintah agar segera mewujudkan otonomi tingkat III yang menjamin ikut sertanya wanita tani dalam lembaga-lembaga pemerintah otonomi tingkat III, dan supaya diadakan pemilihan-pemilihan secara periodik.
  13. Para pejabat sungguh-sungguh merealisasikan hak milih atas tanah bagi wanita tani atas namanya sendiri, sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 19 Undang-Undang Agraria No. 5/1960.
  14. Pemerintah segera melaksanakan land-reform secara konsekuen sesuai dengan ketetapan MPRS dan mengikutsertakan wakil-wakil wanita dalam panitia-panitia pelaksanaan land-reform serta dalam badan-badan musyawarah kerja tani di semua tingkat.
  15. Pemerintah segera melaksanakan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil dengan cara yang tepat dan merata di semua tingkat daerah, dan komposisi panitia pertimbangan kecamatan supaya terdiri dari wakil-wakil tani penggarap, baik wanita maupun laki-laki.
  16. Mendesak agar segala bentuk perwujudan kebudayaan dan kesenian menjadi milik seluruh rakyat.

Itulah beberapa wujud perjuangan atau gerakan sosial yang dilakukan organisasi Gerwani atau Gerwis. Anggapan yang berkembang di masyarakat awam terhadap organisasi ini yang terkesan “kiri (ke kiri-kirian)” adalah kurang benar. Karena pada dasarnya, organisasi ini dibentuk bukan untuk ikut andil dalam suatu paham parpol dan terjun ke politik, melainkan fokus untuk perjuangan sosial, memberdayakan kaum perempuan Indonesia, anak-anak, dan bercita-citakan masyarakat yang lepas dari segala bentuk penindasan dan perbudakan, baik itu antara orang dengan orang, golongan dengan golongan, ataupun bangsa dengan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Diniah, Hikmah. 2007. Gerwani Bukan PKI  Sebuah Gerakan Feminisme Tersebar di Indonesia. Yogyakarta: CarasvatiBooks.

Lestariningsih, Amurwani Dwi. 2011. Gerwani Kisah Tampol Wanita di Kamp Plantungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Soebagijo I.N. 1982. S.K. Trimurti, Wanita Pengabdian Bangsa,. Jakarta: Gunung Agung.

Gambar: @potretlawas

Leave a comment