• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 1 Mei 2024

Hikmah

Kisah Nabi Muhammad dengan Anak Laki-Lakinya

Kisah Nabi Muhammad dengan Anak Laki-Lakinya
Kisah Nabi Muhammad dengan Anak Laki-Lakinya (Ilustrasi: AM)
Kisah Nabi Muhammad dengan Anak Laki-Lakinya (Ilustrasi: AM)

Nabi Muhammad Saw merupakan nabi terkahir yang diutus oleh Allah Swt untuk umat manusia di muka bumi. Dalam kehidupannya Rasulullah dikaruniai tiga orang anak laki-laki, riwayat lain menyebut empat anak laki-laki. Dua laki-laki merupakan hasil pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah yaitu Al- Qasim dan Sayyidina Abdullah.


Dua anak lainnya yaitu at-Thayyib dan at-Thahir. Namun, ada juga yang berpendapat kalau at-Thayyib dan at-Thahir adalah julukan (kunyah) dari Abdullah. 


Al-Qasim lahir di Makkah sebelum ayahnya diutus menjadi seorang Rasul. Ia merupakan putra pertama Nabi Muhammad. Oleh karenanya, Nabi dijuluki Abul Qasim (ayahnya Qasim). Namun kebersamaan Nabi Muhammad dengan Al-Qasim tidak berlangsung lama. Ketika usia Al-Qasim dua tahun, Allah memanggilnya pulang.    


Beberapa tahun setelahnya, Nabi Muhammad baru dikaruniai lagi anak laki-laki lagi yaitu Sayyidina Abdullah. Dia adalah anak laki-laki keenam atau terakhir Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah, setelah Sayyidah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Ia lahir di Makkah setelah era kenabian. Sama seperti Al-Qasim, Abdullah juga wafat selagi masih kecil. 


Wafatnya Al-Qasim dan Abdullah meninggalkan luka yang mendalam di hati Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah. Tidak ada yang bisa menghapus kesedihan Nabi kecuali wahyu yang turun kepadanya sehingga dia sibuk menjalankan tugasnya sebagai seorang Rasulullah. Tidak ada informasi detail mengenai kehidupan Nabi Muhammad dengan dua anaknya tersebut.  


Beberapa saat setelahnya, Nabi Muhammad mengarungi bahtera rumah tangga bersama dengan Mariyah Al-Qibtiyyah. Dari situ, kemudian lahirlah Sayyidina Ibrahim pada 8 Hijriyah di Madinah. Kelahiran Ibrahim membawa angin kebahagiaan dan harapan besar bagi Nabi Muhammad. Beliau berharap, kelak Ibrahim akan tumbuh dewasa dan menjadi putra kebanggaannya.  


Sebagaimana tradisi Arab pada saat itu, Nabi Muhammad kemudian mencari ibu susuan untuk anaknya itu. Merujuk Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018), Nabi akhirnya memilih Khualah binti Mundzir bin Zaid dari Najjar, istri Barra’ bin Aus dan ibu Bardah, untuk menyusui Ibrahim. Sebelumnya, wanita-wanita Anshar saling bersaing untuk menjadi pilihan Nabi untuk menyusui Ibrahim.


Maka sejak itu, Nabi Muhammad dan Ibrahim tinggal terpisah. Nabi Muhammad di samping Masjid Nabawi, di tengah-tengah Kota Madinah, sementara Ibrahim bersama ibu susuannya di dataran tinggi Madinah. Namun setiap hari Nabi mengunjungi putranya itu. Beliau singgah beberapa saat di rumah Khaulah, mengajak Ibrahim bercanda dan berbicara lembut.  


Pada suatu ketika, Nabi Muhammad mengajak Ibrahim turun ke Kota Madinah. Beliau memperlihatkan anak laki-lakinya itu kepada para istri dan sahabatnya. Selama satu setengah tahun, Ibrahim tumbuh sehat dan kuat. Namun sama seperti Al-Qasim dan Abdullah, Ibrahim wafat selagi usianya masih kecil, tahun ke-10 Hijriyah. Padahal, tidak ada tanda-tanda kalau si buah hati akan pergi secepat itu. 


Air mata Nabi tumpah di pipinya. Tidak kuasa menahan sedih setelah yang dikasihinya pergi meninggalkannya. Perasaan Nabi sebagai seorang ayah terguncang karena kematian anaknya. Hal ini membuat Sahabat Abdurrahman bin Auf bertanya-tanya mengenai tangisan Nabi. Dia khawatir, duka yang mendalam akan terus mengguncang hati Nabi. Oleh sebab itu, dia terus menghibur Nabi. 


“Mata boleh berlinang, tetapi hati tetap khusu'. Memang kami bersedih atas dirimu, Ibrahim, tetapi kami tidak mengucapkan kata-kata selain yang diridhai,” kata Nabi kepada Abdurrahman bin Auf. “Bukan rasa berkabung yang aku larang, tetapi menangis dan meraung-raung,” tambahnya. 


Memang Nabi menghampiri jenazah Ibrahim sambil menangis. Bahkan, Nabi melarang sahabatnya untuk mengafani Ibrahim sehingga Nabi melihat jenazahnya. Nabi kemudian memakamkannya di Baqi dengan hati yang hancur. Beliau meratakan tanah, memercikkan air, dan memberi tanda kuburan Ibrahim. Kata Nabi, tanda kuburan memang tidak memberi manfaat atau pun mudarat, namun ia cukup menghibur orang yang masih hidup.   


Ketika Ibrahim wafat, terjadi gerhana di Madinah. Hal itu membuat para sahabat mengaitkan terjadinya gerhana dengan wafatnya Ibrahim. Nabi meluruskan pandangan tersebut dan menjelaskan bahwa gerhana terjadi bukan karena kematian seseorang atau peristiwa lainnya. 


“Sesungguhnya, matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, shalat dan berdoalah kepada Allah,” jelas Nabi dalam Shahih Bukhari.   


Memang, kebersamaan kebersamaan Nabi Muhammad dengan putranya tidak lama. Hanya sekitar dua tahunan, bahkan kurang. Namun yang perlu diperhatikan, Nabi Muhammad begitu menyayangi putra-putra tersebut. Beliau bersedih, terguncang hatinya, bahkan sampai menitikkan air mata begitu putra-putranya dipanggil Yang Kuasa. 

Alasan Allah Panggil Putra-Putra Nabi di usia balita
Dipanggilnya putra-putra nabi di usia balita merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad Saw adalah penutup nabi dan rasul. Sehingga dipanggilnya putra-putranya oleh Allah untuk menepis timbulnya anggapan bahwa anak-anaknya penerus nabi dan lahirnya nabi berikutnya. Sebagaimana dijelaskan dalam sejumlah ayat dalam Al-Qur’an


مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا


''Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.'' (QS Al-Ahzab [33]: 40)


وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ


''Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.'' (QS Ali Imran [3]: 144). 


Ibnu Abbas Ra, sahabat Rasulullah Saw mengomentari ayat di atas, "Seolah-olah Allah berkehendak dengan firmanNya, kalaulah Allah tidak menutup nabi-nabi dengan kenabian Muhammad, seolah Allah berfirman, pasti Aku jadikan seorang Nabi di antara anaknya. Tapi Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu. Kenapa tidak menjadikan salah satu anak Muhammad sebagai Nabi dan Rasul karena memang Allah berkehendak Muhammad sebagai Nabi terakhir."


Penafsiran oleh bnu Abbas merupakan bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tiga putra beliau; dua dari khadijah, pertama, Qasim, sehingga beliau SAW dipanggil Abul Qasim, lahir sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan meninggal dalam usia 2 tahun.


Kedua, Abdullah yang dijuluki Ath-Thayyib dan Ath-Thahir karena ia dilahirkan dalam Islam meninggal dunia setelah lahir beberapa hari. Ketiga, putra dari Mariah Qibtiyah bernama Ibrahim meninggal dalam usia 16-18 bulan (Al-Wafa, halaman 536-537).


Kalaulah putra beliau SAW, hidup sampai dewasa, tidak mustahil di kemudian hari orang akan mendewakan salah satunya dan mengangkatnya sebagai Nabi. Tapi Allah berkehendak tidak menjadikan seorang pun hidup sampai dewasa.


Hikmah Terbaru