Jatim Rawan Bencana


identity-penulis.jpg    Mewaspadai Bencana Alam Di Jawa Timur

Tujuh tahun setelah reformasi kondisi lingkungan hidup di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khususnya sama sekali tidak makin membaik. Berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif di tingkat Propinsi Jawa Timur untuk melakukan rehabilitasi lingkungan hidup lebih bersifat project oriented tanpa ada visi dan strategi yang jelas dan efektif.

Berbagai kisah tragis dan mengenaskan melingkupi sejak tahun 1998 sampai akhir tahun kemarin. Bencana lingkungan terjadi hampir di seluruh pelosok negeri. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia yang menelan korban jiwa 2022 orang. Dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor, (Bakornas BP, 2003). Dengan rincian sebagai berikut ; banjir di 302 lokasi dengan orban jiwa 1066, lonsor 245 lokasi dengan 645 korban jiwa, angin topan 46 lokasi dengan 3 korban jiwa, gempa bumi di 38 lokasi dengan 306 korban jiwa, gunung berapi di 16 kejadian dengan 2 korban jiwa.

Selain di wilayah negeri secara nasional. Di pulau Jawa dan Propinsi Jawa Timur juga mengalami hal yang serupa. Mulai dari bencana banjir bandang yang merendam Ibukota Jakarta dan kota-kota besar lainnya, serta tanah longsor, angin topan juga terjadi di hampir 23 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Dalam catatan WALHI Jawa Timur, bencana yang terjadi tahun 2000 hingga akhir 2004 adalah :

Ket. Tgl/Bln/Th

Lokasi Bencana dan Dampak Yang Di Timbulkan

Akhir Th. 2000

Banjir Bandang di Kab. Situbondo. Mengakibatkan 15 korban jiwa, menghancurkan ratusan rumah, ribuan sawah gagal panen. Aktifitas perkotaan dan jalan jalur luar kota terendam lumpur selama 1 minggu. Menyedot APBD Propinsi Jawa Timur 40 Milyar lebih untuk penanggulangan.

Th. 2001

Kab. Mojokerto, Bojonegoro, Lamongan, Gresik. Terkena luapan sungai Brantas dan Bengawan Solo akibat adatanggul yang jebol. Ribuan hektar sawah gagal panen, timbulnya penyakit diare dan gatal-gatal yang cukup luas di derita oleh masyarakat di sekitar kawasan sungai dan yang kebanjiran.

Th. 2002

· Banjir Bandang dan longsor Pemandian Air Panas Wana Wisata Padusan Pacet Mojokerto, 11Desember 2002. Menewaskan 24 orang (anak-anak, remaja, orang Dewasa) dan 2 orang hilang, puluhan luka berat dan ringan, serta puluhan lain mengalami trauma.

· Banjir bandang di Malang selatan th.2002, 10 orang meninggal, ribuan hektar sawah gagal panen

Th. 2003

· Pada bulan Januari-Agustus 2003 peristiwa bencana alam di Jawa Timur telah mengakibatkan sedikitnya 5 orang meninggal dunia, 6.842 hektar sawah rusak, 8.880 hektar tegalan rusak, dan sedikitnya 11.299 rumah rusak.

· Banjir bandang Mojokerto th.2003, 7 jembatan ambrol, ribuah hektar sawah gagal panen, puluhan rumah terendam air dan lumpur, banyak saluran air “anak sungai” mati karena alirannya berubah.

· Banjir dan tanah longsor di Sitiarjo Kabupaten Malang yang mengakibatkan 3 (tiga orang tewas) serta ratusan sawah dan rumah rusak berat

· pada tanggal 13 November 2003, juga banjir bandang dan tanah longsor di Tulungagung, Situbondo, Magetan, mengakibatkan rusaknya lingkungan dan menelan kerugian material yang tidak sedikit.

Th. 2004

· Banjir bandang Blitar Selatan th.2004 (16 orang meninggal, ribuan hektar sawah gagal panen, ratusan hewan ternak dan harta benda lainnya hanyut terbawa arus banjir).

· pada bulan Desember 2004 terjadi banjir yang melanda di beberapa wilayah mulai dari Kabupaten Blitar, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Lumajang, Bojonegoro, Gresik, Lamongan, Jember, Trenggalek, dan Pacitan. Tetapi, yang paling parah di Kab. Blitar pada akhir tahun 2004.

Selain korban jiwa, ternyata jelas ada kerugian ekonomi, lingkungan dan sosial yang sangat besar. Tidak menutup kemungkinan luas wilayah maupun jumlah kerugian akan bertambah jika dilihat dari kondisi lingkungan hidup yang belum menunjukkan arah kebaikan pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006.

Konsep pembangunan dengan asas pertumbuhan (growth development) yang dilakukan selama ini telah menimbulkan eksploitasi sumberdaya alam yang sulit diperbaharui. Misalnya, adanya penebangan hutan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan ekosistem yang cenderung merusak (destruktive logging), baik dilakukan secara legal (legal logging) maupun secara illegal (illegal logging), baik di hutan alam maupun hutan produksi. Berdasarkan Luas hutan di Jawa Timur yang mencapai 1.357.206,30 ha lebih dari 700.000 ha mengalami rusak parah yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh hutan di Jawa Timur telah rusak. Padahal, luas hutan 1.357.206,30 ha hanya 28,4% dari luas keseluruhan daratan Jatim yang mana secara ideal dalam suatu kawasan luas hutan adalah 30% dari luas daratan. Artinya, untuk mencapai luas hutan yang ideal Jawa Timur semestinya masih kekurangan 76.675 ha. Kemudian, darimana mendapatkan luas hutan yang ideal sementara laju kerusakan hutan saja mencapai 30% tiap tahunnya.

Dari Luas 1.357.206,3 ha tersebut, menurut laporan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur (th.2003), sedikitnya 660.000 ha atau lebih dari 50% dalam kondisi telah rusak yang diakibatkan oleh illegal logging dan kebakaran. Dari jumlah itu, 500.000 ha berada di luar kawasan lindung dan 160.000 ha sisanya berada di kawasan hutan lindung dalam wilayah kelola Perhutani. Sementara itu, berdasarkan data Satelit Citra Land-Sat tahun 2001 menunjukkan bahwa kawasan hutan Jawa Timur yang gundul 120.000 ha. Jika dibandingkan dengan tahun 2001 tingkat penggundulan tahun 2003 mengalami kenaikan lebih dari 30% (KOMPAS edisi Jawa Timur, 2 Agustus 2003).

Untuk melakukan antisipasi dari situasi ancaman rentan bencana alam akibat krisis lingkungan ini. Hendaknya mulai dari saat ini pemerintah mempersiapkan langkah-langkah jangka pendek dan panjang. Tetapi keduanya harus dalam satu langkah managemen bencana terpadu (Disaster Management Integrated). Yang kesemuanya dalam dimensi tindakan pencegahan, penanganan keadaan darurat (emergency respon), penaggulangan/rehabilitasi.

Untuk langkah jangka pendek, yang bisa ditempuh dalam menghadapi curah hujan yang tinggi menjelang mudik lebaran di hampir 23 Kabupaten/Kota di Jawa Timur (Kompas, 18/10/2005), sebaiknya pemerintah Provinsi atau kaputen/kota harus menjalin kerjasama dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) untuk mengetahui curah hujan dan kondisi perubahan alam. Kedua, pemerintah harus memiliki data base wilayah yang rawan terjadi bencana, kemudian menginformasikan secara terbuka kepada masyarakat luas. Ketiga, daerah yang memiliki rawan bencana jauh-jauh hari harus mengalokasikan dana dan menyiapkan tempat untuk merelokasi warganya yang dimungkinkan akan terkena bencana.

Sedangkan untuk jangka panjang, sebaiknya dilakukan reformasi secara menyeluruh dalam hal pengelolaan lingkungan, terutama landasan dan penegakan hukum pengelolaan lingkungan. Misalnya saat ini sedang dibahas Raperda RTRW (rencana tata ruang propinsi) Jawa Timur. Sebaiknya jangan di dominasi oleh eksekutif, legislatif dan para konsultan yang dibayar untuk membuat dokumen itu. Tetapi melibatkan multi stake holder yang dalam hal ini akan terkena dampak dan berkepentingan terhadap masa depan penataan ruang di Jawa Timur. Sebab tidak sedikit akibat salah kelola ruang, terjadi degradasi alam yang berkontribusi pada krisis lingkungan dan akhirnya berujung pada bencana alam. Karena indikasi Jawa Timur sebagai daerah padat modal “investasi” jelas akan banyak proyek-proyek besar. Mulai pertambangan, waduk, jalan lintas selatan dan terjadinya alih fungsi lahan untuk proyek infrastruktur menyiratkan ancaman akan terjadinya bencana secara luas.

Akhirnya, sudahkah kita siap menghadapi tahun penuh ketidakpastian, bencana dan konflik yang berpotensi terjadi di Jawa Timur di akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006 dengan sumber daya yang ada saat ini?



2 komentar di “Jatim Rawan Bencana

Tinggalkan komentar