Memasyarakatkan Aksara Jawa melalui KIM

:


Oleh MC KAB SLEMAN, Senin, 20 September 2021 | 11:19 WIB - Redaktur: Kusnadi - 1K


Sleman, InfoPublik - Sejalan dengan digagasnya DIY sebagai Kota Hanacaraka, Forum Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) Sembada Kabupaten Sleman bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan (Kundha Kebudayaan) DIY menggelar seminar Literasi Aksara Jawa: Sejarah, Mitologi, dan Sastra secara virtual pada Sabtu (18/9/2021).

Kegiatan ini merupakan bentuk dukungan FKIM Sembada Sleman untuk memasyarakatkan Aksara Jawa kepada warga Sleman, khususnya generasi muda.

“Hal ini juga sekaligus upaya untuk mendorong penggunaan Aksara Jawa secara luas,” ungkap Nuradi Indrawijaya, salah satu anggota FKIM Sembada Sleman.

Materi seminar sendiri disampaikan langsung oleh Setya Amrih Prasaja, Founder Komunitas Aksara Segajagung dan Firolog Kandha Kebudayaan DIY. Dalam penyampaiannya, Setya menyoroti minat generasi muda Jawa dalam memahami Aksara dari Negara lain dibandingkan Aksara Jawa.

“Tidak sedikit generasi muda kita bisa membaca Aksara Kanji dari Jepang ataupun Hangeul dari Korea, tetapi tidak bisa membaca Aksara Jawa. Bagi mereka, Aksara Jawa dianggap kuno dan tidak mudah dipelajari karena Aksara Jawa susah diakses secara digital,” kata Setyo.

Oleh karena itu, Setyo menegaskan bahwa eksistensi Aksara Jawa juga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, yaitu melalui teknologi digital agar lebih mudah diakses oleh siapa saja.

“Melalui platform digital tersebut akan mempermudah akselerasi Literasi Aksara Jawa untuk dikenal di tingkat Internasional, sehingga Sastra dan Literasi Jawa ini dapat diakui di tingkat Internasional seperti halnya Aksara Jepang, Korea, China, dan juga Arab,” imbuh Pria yang juga merupakan Guru Bahasa Jawa ini.

Jika dilihat dari sejarahanya, tulisan Jawa menurut Setyo merupakan turunan dari Aksara Kawi, yang merupakan pengembangan dari Aksara Pallawa yang digunakan untuk menulis terjemahan Bahasa Sansekerta. “Aksara tersebut kemudian mengalami perkembangan yang dikenal dengan Carakan atau Aksara Jawa,” ungkap Setyo.

Dalam perkembangannya, Aksara Jawa banyak dikenal dari Dongeng Ajisaka. Dalam dongeng dikisahkan Aji Saka mengungkapkan rasa penyesalan dan kelalaiannya atas kisah tragis yang dialaminya dengan sebuah kalimat yang akhirnya menjadi gabungan suku kata dalam Aksara Jawa.

“Susunannya adalah Ha Na Ca Ra Ka (ada urusan), Da Ta Sa Wa La (saling berselisih pendapat), Pa Dha Ja Ya Nya (sama-sama sakti), Ma Ga Ba Ta Nga (sama-sama menjadi mayat),” terang Setyo.

Aksara Jawa juga menurut Setyo mempunyai filosofi yang tinggi, di mana Aksara tersebut merupakan gambaran konsep Sangkan Paraning Dumadi (Asal dan Tujuan Hidup), yaitu menunjukkan adanya pencipta (Tuhan), ciptaan (manusia), dan tugas yang diberikan kepada manusia.

“Dalam masing-masing hurufnya juga mengandung makna luhur di dalamnya. Nilai-nilai yang terkandung senantiasa mengajarkan manusia untuk selalu ingat akan pencipta dan menjaga keseimbangan hidup antara manusia maupun alam semesta,” ungkap Setyo.

Dinas Kebudayaan DIY sendiri, lanjut Setyo, telah melakukan berbagai cara untuk lebih memasyarakatkan Aksara Jawa di masyarakat, diantaranya menyusun Perda yang memasukkan Aksara Jawa sebagai salah satu kurikulum sekolah, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA.

“Sehingga menjadi kewajiban bersama untuk melestarikan Bahasa, Sastra, dan Tulisan Jawa. Saya berharap komunitas KIM juga dapat memulai sosialisasi lewat lembaga masing-masing,” tutup Setyo. (Suripto/Upik Wahyuni/KIM Ngaglik)