menggali fenomena musik yang terdapat di dalam kebudayaan itu melalui pendekatan
sebuah fenomena musik dengan aturan-aturan yang ada pada sebuah budaya dengan
yang bermukim di daerah asal kebudayaannya (area culture) maupun di luar daerah
kebudayaan mereka.
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah ’orang Batak’ atau ’orang
Batak Toba’ untuk penyebutan kelompok masyarakat Batak secara keseluruhan, dan
kata ’masyarakat Batak’ dan ’masyarakat Batak Toba’ untuk menyebutkan kelompok
Beberapa catatan sejarah yang memuat asal-usul nenek moyang orang Batak
yang bermukim di Sumatera telah dilakukan beberapa penulis dalam tulisan buku
antara lain: Ypes (1932 dalam Simanjuntak, 2006:11), menyebut mereka berasal dari
dua (2) tempat asal, yaitu pendapat pertama dari Asia Utara menuju kepulauan
Lampung, Sumatera Selatan, lalu menyusuri pantai Barat hingga Barus dan
seterusnya naik ke pegunungan Bukit Barisan di Pusuk Buhit kawasan Danau Toba.
Pendapat kedua, menyebutkan orang Batak berasal dari India yang melakukan
persebaran ke Asia Tenggara di negeri Muang Thai Burma, kemudian turun ke tanah
menuju pantai timur Sumatera hingga di pantai Batubara. Dengan menyusuri sungai
Asahan menuju hulu di kawasan Danau Toba. Atau rute lain yang dipilih adalah dari
Malaka menuju pantai Barat Aceh, dan selanjutnya menuju Singkil, Barus atau
Sibolga hingga menetap di Pusuk Buhit 18. (Harahap dalam Simanjuntak, 2002: 75)
dari Indo China yang melakukan perpindahan secara besar-besaran pada jaman
bangsa Melayu Tua (lihat juga Cunningham, 1958 dalam Simanjuntak 2002: 75).
Perpindahan dialami orang Batak pada jaman ini, tentu menyulitkan para peneliti
sejarah untuk mengungkap kebenaran asal-usul Batak secara pasti. Namun, semua
orang Batak hingga kini, mutlak mengakui kebenaran akan silsilah masing-masing
21. Gunung berapi pasip ini, terletak di tepian Danau Toba sebelah barat pulau Samosir. Di
lereng bukit ini terdapat kampung huta Sianjur Mula-mula (masuk dalam kecamatan Sianjur Mula-
mula-Kabupaten Samosir), dianggap keramat dan sebagai tempat asal orang Batak. Di pinggang bukit
terdapat beberapa artefak seperti Batu Hobon, Aek si Pitu Dai, monumen Guru Tatea Bulan, Si Boru
Pareme dan beberapa situs Batak lainnya. Lokasi ini dapat ditinjau dengan perjalanan darat melalui
Tele menyusuri pegunungan Bukit Barisan.
Batak lahir dari pekawinan incest (perkawinan sedarah) kembar Si Raja Ihat
Manisia dengan Si Boru Ihat Manisia keturunan Raja Odap-odap kawin dengan Si
Boru Deak Parujar yang diutus oleh Mulajadi Na Bolon. Kampung kediamannya
adalah Sianjur Mula-mula di kaki gunung Pusuk Buhit, di bagian barat pulau
Samosir. Setelah Si Raja Batak meninggal, arwahnya menetap di atas gunung Pusuk
Buhit. Si Raja Batak mempunyai dua putera, yang sulung bernama Guru Tatea Bulan
ahli ilmu tenung dan adiknya Raja Isumbaon, ahli dalam hukum adat. Guru Tatea
Bulan mempunyai lima putra, yaitu: (1) Raja Biak-biak atau Raja Uti, (2) Saribu
Raja, (3) Limbong Mulana, (4) Sagala Raja, (5) Silau Raja atau Malau Raja dan
empat orang putri, yaitu: (1) Si Boru Paromas atau Si Boru Anting-anting Sabungan,
(2) Si Boru Pereme, (3) Si Boru Biding Laut, dan (4) Nan Tinjo. Raja Isumbaon
mempunyai tiga putra, yaitu: (1) Sorimangaraja, (2) Raja Asiasi, dan (3) Sangkar
Kedua induk marga di atas yang memiliki keturunan dan masing-masing dari
generasi anak mereka membuat marga yang terdapat pada masyarakat Batak, adalah
sebagai garis generasi pertama lahirnya sebuah marga atau dikenal dengan sundut
pertama, seperti marga Silau Raja yang dikenal dengan marga Malau. Namun, tidak
semua marga berasal dari garis generasi ini. Misalnya, anak kedua dari Guru Tatea
Bulan memiliki anak bernama Saribu Raja ---satu garis dengan Silau Raja atau Malau
Raja--- kawin dengan adik perempuannya Si Boru Pareme (incest) dan mempunyai
anak bernama Raja Lontung. Raja Lontung sendiri memiliki tujuh (7) orang anak
Generasi ketiga dari garis Saribu Raja ini, memakai nama mereka menjadi marga
sebagai sundut generasi pertama hingga generasi sekarang ini. (lihat Situmorang,
Si Raja Batak
Simatupang (A.5)
1 Sianturi (A.2)
15 Pahala
18 Bursok
Penyebutan stratum:
~ satu sundut generasi horizontal : “ampara”
~ satu tingkat ke atas: “amang”, satu tingkat ke bawah: “anak”
~ dua tingkat ke atas: “ompung”, dua tingkat ke bawah: “pahompu”
~ tiga tingkat ke atas: “amang mangulahi”, tiga tingkat ke bawah: “anak mangulahi”
Keterangan: (A.T): Anak Tunggal, (A.1): Anak Pertama, (A.2): Anak Kedua, (A.5): Anak Kelima
Batak yang melekat dalam dirinya, diyakini bahwa setiap orang yang mengklaim
dirinya sebagai Batak yang memiliki marga adalah keturunan atau sundut 20 Si Raja
Batak. Asal-usul Si Raja Batak berasal dari mana, hanya dapat dilihat dari tulisan
mitologi Si Boru Deak Parujar yang diutus Mula Jadi Nabolon. Belum ditemukan,
catatan lain yang mengungkap asal-usul Si Raja Batak secara tertulis. Namun, mite
ini tetap hidup di tengah masyarakat Batak Toba sebagai tradisi lisan (folklore) yang
tidak dapat terlepas dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep kebudayaan masyarakat
ini secara keilmuan telah dibahas secara luas dari sudut disiplin ilmu sosiologi
tentang kebudayaan Batak Toba yang memiliki dua dimensi yaitu wujud dan isi. Hal
19
Mitologi sebagai karya sastra hampir sama pengertiannya dengan mite adalah bagian dari folklor
memiliki kaitan dalam cerita rakyat. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar
terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk
setengah dewa (lihat KBBI, 2002: 749). Lihat juga James Danandjaja, Folklor Indonesia: Ilmu
Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, Jakarta: Grafiti Pers, (1984:50-51).
20
Istilah sundut hanya ditemukan dalam kultur Batak Toba, dipergunakan untuk menghitung
angkatan/generasi keberapa seorang Batak mulai dari garis generasi pertama leluhurnya. Sundut ini
berlaku secara turun temurun dalam satu rumpun marga pada sebuah tarombo (silsilah), berhubungan
dengan kaidah stratifikasi sosial masyarakat Batak Toba. Misalnya, seorang Batak A memiliki nomor
generasi ke 16 memiliki anak dengan nomor generasi 17 dan cucunya bernomor generasi 18, dan
seorang Batak B dengan rumpun marga yang sama memiliki nomor generasi 17, akan menyebut A
dengan bapak atau satu tingkat diatasnya. Tingkatan umur dalam menghitung generasi ini, diabaikan.
(Lihat Tabel. 5.)
ide, gagasan dan tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidup sehari-hari,
Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor yang menentukan cara
masyarakat terhadap sumber daya yang ada. Inti kebudayaan itu, menjelaskan lebih
luas dalam mempengaruhi pola kehidupan dalam lingkungan lokal masyarakat Batak
Toba. Para etnosains percaya bahwa ideologi sebuah masyarakat terhadap prinsip-
(Haviland, 1988:13)
Batak Toba merupakan kelompok etnis Batak terbesar yang secara tradisional
hidup di Sumatera Utara. Kelompok suku Batak ini terbagi dalam lima kelompok
besar yaitu Batak Toba, Pakpak, Mandailing, Simalungun dan Karo. Kelompok-
kelompok suku ini sekarang masih berada di bagian Provinsi Sumatera Utara dengan
memiliki ciri-ciri kebudayaan tertentu, yang dilihat dari pembagian beberapa marga
yang bermukim menurut daerahnya, bahasa dan pakaian adat dari kelompok-
kelompok ini juga menunjukkan perbedaan. Adat pada budaya Batak Toba dalam
dijunjung tinggi. Adat sendiri adalah istilah yang sering digunakan di Indonesia, adat
merujuk pada segala sesuatu di alam yang mengikuti caranya sendiri yang khas. Adat
nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali
menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner, 1994: 18). Pola-pola
selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian dari kewajiban
yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba,
realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat yang telah
masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat,
menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang
membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi. Kedua, Adat
yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia Batak Toba,
dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya.
normatif masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam
dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat Batak Toba sendiri. Ketiga,
Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah
sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu. Keempat, pandangan dan nilai
yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami perubahan, akibat dari pengaruh
teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat
Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia.
Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat
disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi
sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan
incest. Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan
sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (band. Bruner 1961: 510). Sanksi bagi
pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi yang mereka percayai.
Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam
beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang
satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi
seperti disebutkan dalam Bab terdahulu. Garis keturunan yang disandang oleh setiap
orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber, yang secara eksklusif ditarik lurus
dari pihak laki-laki (keturunan agnatik atau laki-laki). Garis patrineal ini dipakai guna
menentukan statuta keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga (klan).
marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari
kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman
marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh
umum.
Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Toba dalam beberapa hal merupakan
seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak laki-laki dan
satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan
anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari anak laki-
laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan
didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam
sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari
satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara orang-orang dari
Adat Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan
bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga Batak Toba
bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah mengirimkan anak
perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih tinggi dari pada marga
yang lain (boru). Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan
mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang
(dongan sabutuha, teman dari satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na
tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak.
Dalam hal ini tidak seorang pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan
Dalam adat menetap, menikah pada orang Batak Toba adalah virilokal 21 dan
adat neolokal 22. Sedangkan bentuk perkawinan adalah Eksogami (perkawinan antar
dua marga yang berbeda) dan Monogami (perkawinan hanya diperbolehkan satu
kali).
21
Virilokal adalah istilah untuk wanita yang menetap tinggal di rumah pihak laki-laki.
22
Neolokal adalah tinggal di kediaman baru
Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu: 1)
Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba
berdasarkan perbedaan tingkat umur dapat dilihat dalam sistem adat istiadat. Dalam
pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak
berbicara atau disebut raja adat. 2) Perbedaan pangkat dan jabatan adalah sistem
pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan dapat juga dilihat pada
perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik
(pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3) Perbedaan
sifat keaslian merupakan sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan
keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku
sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga Simatupang.
Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan
kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan
pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah. Dan 4)
Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di
dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka
sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam
lingkungan keluarganya. Dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan
menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat
hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki
dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum
kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak
yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama
tersebut adalah Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari:
1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah
bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari
yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang
yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang
(tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang
ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di
dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari
ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua
perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman
dari anak laki-laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu
pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari
bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula.
termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba
nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di
dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-
namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik
namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara
kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu),
yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik
kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara
perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari
tingkat kelima.
3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya
segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-
laki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi
sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-
hula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-
hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu.
golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap
hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut
ari so husoran artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara
supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi
sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena
pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu
Adapun fungsi dalihan natolu dalam hubungan sosial antar marga ialah
mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan
kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi
masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis
berlaku fungsi dalihan natolu. Dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan
kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan natolu tetap dianggap baik
A I
Dongan
Sabutuha S MP S MP SP ML Boru
PI PI PS
Hula-hula
selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Allah
kodrati oleh Mula Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam
kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu
adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan
sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon (Situmorang, 2009: 21) yang memiliki otoritas
mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang
“tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga
Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa
Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai
pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon). Dan menciptakan
dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asi-asi sebagai dewa yang menurunkan
berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat).
Batara Guru berarti maha guru yang memberii ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib,
pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Lihat M.B. Tampubolon, 1978: 9-10).
mulut (tradisi aural), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini
Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki
dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh
Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas
kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan
manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggo-tonggo (doa)
yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu,
Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata
Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini
berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak
1977:279).
itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal.
Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya,
hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut
roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara
(uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke
dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid.
1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa
orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu
yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang
Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi
dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata
Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilah yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk
mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya
kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan
oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap
pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah
Partondongan. Dalihan Na Tolu dalam hak dan kewajiban yang paling mendasar
terletak pada: Suhi Ni Ampang Na Opat, yang dimulai dan tumbuh dari keluarga
dasar atau saripe. Keluarga dasar seperti ini adalah tiang tonggak dan menjadi pusat
kegiatan atau inti kegiatan suhut yaitu Opat Pat Ni Pansa, yang terdiri dari:
a. Pamarai, yaitu saudara laki-laki suhut, seayah se ibu atau saudara seayah
lain ibu. Sering juga disebut pangalap.
b. Tulang, yaitu saudara kandung laki-laki dan isteri suhut (Tunggane),
seayah seibu atau seayah lain ibu.
c. Simolohon atau simandokhon, yaitu anak laki-laki dari suhut dan saudara
laki-laki dari perempuan putri suhut.
d. Pariban, yaitu anak perempuan dari suhut dan saudara perempuan dari
putri suhut.
kegiatan inti atau dari pekerjaan suhut atau horja. Apa saja kegiatan suhut, ke empat
personal inilah yang turut bertanggung jawab bersama suhut 23. Dasar sistem sosial
yang terdapat bagi masyarakat Batak Toba adalah Marga. Dalam kehidupan
tradisional masyarakat pedesaan Batak Toba, terdapat dominasi marga yang dianggap
yang lebih tinggi yang disebut Mula jadi na bolon atau permulaan yang agung, yang
menciptakan langit dan bumi dan dibawah bumi. Di bawahnya terdapat tiga dewa
yaitu Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan. Di pihak lain, cara hidup sehari-hari
berpusat pada roh-roh nenek moyang, terutama laki-laki yang selalu mempengaruhi
digali, dibersihkan dan diletakkan di sebuah rumah tempat penyimpanan jasad, yang
Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Dia
merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan
kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki
23
Setiap orang Batak dapat disebut sebagai suhut dan melakukan perilaku dalihan natolu dalam setiap
kegiatan fase kehidupannya. Dalam kelahiran, perkawinan dan kematian selalu melibatkan ketiga
unsur itu sebagai satu siklus kehidupan. (lihat Dalihan Natolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya Batak,
Rajamarpodang, DJ.G. 1992. hlm.55)
hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai kebudayaan
dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon
(kehormatan).
secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang
menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan
orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri,
dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak
yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak
dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan
Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,
masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan
masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki
Sebutan Tanah Batak menunjukkan wilayah yang didiami kelompok masyarakat ini
dikenal dalam bahasa Batak Toba dengan “Tano Batak” . Tano artinya tanah. Tanah
Batak ini adalah tempat bermukimnya orang yang menyebut dirinya Batak, seperti
Batak Angkola, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Toba
sendiri. Terletak di bagian utara pulau Sumatera yang berbatasan langsung dengan
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada bagian utara, sedang di sebelah
selatan berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat dan Riau. Pada bagian timur
berbatasan dengan kabupaten Asahan dan Labuhan Batu dan bagian barat langsung
berbatasan dengan lautan bebas Samudera Indonesia. Secara astronomis berada antara
Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Tanah Batak, terbagi pada empat subwilayah
dalam satu distrik disebut dengan Distrik Toba, mengacu kepada pembagian seluruh
kawasan Toba dengan empat jenis topografi dengan empat variasi adatnya.
Distrik Toba yang meliputi wilayah Silindung, Toba Holbung, Humbang dan
Pulau Samosir yang terdapat di Tapanuli, adalah pemukiman masyarakat Batak Toba.
Keadaan alam dan topografi distrik Toba ini, sebagian besar terdiri dari dataran tinggi
dan bukit-bukit tandus dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang sebagian kecil
Pada awalnya, distrik Toba ini berinduk pada satu kabupaten yaitu Tapanuli
Utara 25. Kabupaten Tapanuli Utara berada di dataran tinggi pegunungan Bukit
Barisan, dengan ketinggian antara 900 meter sampai dengan 1500 meter dpl. Wilayah
Tapanuli Utara memiliki garis pantai danau Toba kira-kira sepanjang 6 kilometer di
kecamatan Muara.
Pada tahun 1999, wilayah Toba Holbung dimekarkan menjadi satu kabupaten
yang dikenal dengan Kabupaten Toba Samosir 26 disingkat Tobasa. Pada awalnya,
24
Sumatera Utara In Figures.2010. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara.
25
Kabupaten Tapanuli Utara dengan ibukotanya Tarutung adalah kabupaten induk (pertama) di Bona
Pasogit, memiliki 15 (lima belas) kecamatan antara lain: Kecamatan Tarutung, Kecamatan Sipoholon,
Kecamatan Siborongborong, Kecamatan Pagaran, Kecamatan Parmonangan, Kecamatan Muara,
Kecamatan Sipahutar, Kecamatan Pangaribuan, Kecamatan Garoga, Kecamatan Adian Koting,
Kecamatan Pahae Jae, Kecamatan Pahae Julu, Kecamatan Simangumban, Kecamatan Purba Tua dan
Kecamatan Siatas Barita. (Wawancara: T. Sinaga, SH. Humas Pemkab Taput. 12 Agustus 2011)
26
Kabupaten Toba Samosir dengan ibukota Balige memiliki 16 (enam belas) kecamatan antara lain:
Kecamatan Tampahan, Kecamatan Balige, Kecamatan Laguboti, Kecamatan Sigumpar, Kecamatan
Siantar Narumonda, Kecamatan Porsea, Kecamatan Uluan, Kecamatan Bonatua Lunasi, Kecamatan
Parmaksian, Kecamatan Pintu Pohan Maranti, Kecamatan Lumban Julu, Kecamatan Silaen,
wilayah Toba Holbung ini membentang mengikuti garis pantai danau Toba sebelah
utara dan sebagian wilayah dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan. Sungai yang
berhulukan danau Toba membelah Toba Samosir dinamai Tao Porsea sampai tepian
air terjun Sigura-gura, dan ke hilir menuju pantai timur laut Malaka sungai ini
disebut dengan sungai Asahan. Selanjutnya pada tahun 2004, kabupaten ini
memisahkan diri dari kabupaten Tapanuli Utara pada tahun 2005 dengan nama
Barat. Hasundutan berarti belahan barat. Sedang kawasan Humbang bagian timur
atau Humbang Habinsaran, saat ini masuk dalam kawasan Kabupaten Tapanuli Utara
dengan memiliki garis pantai Danau Toba sepanjang lebih kurang 16 km meliputi
Kecamatan Habinsaran, Kecamatan Borbor, Kecamatan Nassau dan Kecamatan Ajibata. (Sumber
tertulis: Toba Samosir Dalam Angka 2011, BPS Toba Samosir)
27
Kabupaten Humbang Hasundutan beribukota Dolok Sanggul memiliki 11 (sebelas) kecamatan
antara lain: Kecamatan Dolok Sanggul, Kecamatan Pollung, Kecamatan Sijama Polang, Kecamatan
Onan Ganjang, Kecamatan Pakkat, Kecamatan Parlilitan, KecamatanTarabintang, Kecamatan
Simamora Nabolak, Kecamatan Lintong Nihuta, Kecamatan Paranginan, Kecamatan Baktiraja.
(Sumber tertulis: Humbang Hasundutan Dalam Angka-In Figures 2011, BPS Humbahas)
berpisah pada Tahun 2006. Wilayah Samosir meliputi seluruh pulau Samosir yang
dikelilingi danau Toba ditambah dengan dataran tinggi steppa di pulau Sumatera
Kabupaten Dairi. Wilayah Samosir ini sering disebut dalam bahasa Batak dengan
“Pulo Samosir”. Pulo berarti pulau. Dulunya, Samosir bersatu dengan pulau
Sumatera. Namun, pada masa penjajahan Belanda, kawasan tano ponggol (tanah
putus) digali dengan membuat terusan yang menghubungkan danau Toba, sekaligus
memisahkan antara pulau Sumatera dengan pulau Samosir. Di tempat ini, tepatnya di
yang mengungkapkan legenda dan mitos asal mula orang Batak, yakni di kaki
gunung Pusuk Buhit. Pulo Samosir dapat ditempuh dengan jalur darat melalui Tele ke
Pangururan dan jalur angkutan air dengan Ferry melalui beberapa titik dermaga
Muara, Balige dan Porsea yang semuanya menuju daerah pulau Samosir.
28
Kabupaten Samosir beribukota Pangururan memiliki 9 (sembilan) kecamatan antara lain: Kecamatan
Pangururan, Kecamatan Simanindo, Kecamatan Ronggur ni Huta, Kecamatan Sianjur Mulamula,
Kecamatan Harian, Kecamatan Palipi, Kecamatan Nainggolan, Kecamatan Onan Runggu, dan
Kecamatan Sitiotio. (Sumber wawancara: Kabag Humas dan Infokom Pemkab Samosir)
masing-masing memiliki variasi adat istiadat budaya. Dari wujud pelaksanaan bentuk
upacara-upacara adat yang diadakan, sekilas tampak ada persamaan diantara empat
subkelompok kultur Batak Toba ini. Namun, bila diikuti seluruh rangkaian kegiatan
dalam bentuk parjambaran juhut (hak pembagian daging), bentuk ulos (selendang
Dalam memetakan empat kultur Batak Toba yang ada di wilayah bona
pasogit, dapat dilihat bahwa satu sama lain tidak memiliki akar historis dari sumber
yang sama. Masing-masing memiliki bentuk budaya dengan variasi adat dengan ciri-
ciri tertentu, dengan mengesampingkan wilayah yang didiami masyarakat Batak itu
melakukan upacara adat Batak dengan afliasi kultur Humbang. Sekalipun, daerah
dengan par-Silindung (orang dari Silindung). Si empunya pesta tidak memakai adat
Silindung dalam kegiatannya, oleh karena nilai kulturnya masih dalam ranah budaya
Humbang. Keadaan hal seperti itu juga diperlakukan sama pada masyarakat Batak
Toba yang ada di area kultur Humbang lainnya seperti di Sipahutar, Pangaribuan,
Batak yang berada di perantauan telah dilakukan oleh beberapa etnologi seperti Johan
Hasselgren (2008), Togar Nainggolan (2006) dan Elvis Purba dkk (1998). Banyak
kedua dan ketiga masih banyak yang tetap bertani, namun sudah ada yang beralih
pekerjaan menjadi pedagang atau usaha di luar pertanian. Dapat dilihat, secara umum
kelompok pegawai dan petani yang mengusahai lahan pertanian yang luas
mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kaum tani
Para pedagang dan pengusaha, juga mempunyai tingkat sosial ekonomi yang
lebih baik. Tidak sedikit dari antara mereka yang menyekolahkan anak-anaknya
sempit mengalami kesulitan yang lebih besar, sehingga kebanyakan dari anak-
anaknya hanya tamat SLTA, baik dari SLTA di Pematang Siantar atau dari kota-kota
pendidikan lainnya. Karena tidak ingin tinggal di desa dan bertani ada yang
Sumatera, Jawa bahkan ada yang ke Kalimantan atau Papua. Para perantau pertama
yang tidak hanya bekerja sebagai petani, biasanya mempunyai tingkat kehidupan
ekonomi yang lebih baik. Kemampuan mereka untuk mengembangkan usaha di luar
sektor pertanian tentu akan berpengaruh pada pendapatan keluarga. Masa depan anak-
lebih besar dibandingkan dengan di daerah asalnya dahulu, tetapi jika dibandingkan
kebutuhan akan produk jasa-jasa yang kian hari terus bertambah. Hal ini telah
menjadi dilema bagi petani-petani yang tidak mau melepaskan tanahnya dan tidak
Ha, sikap seperti itu nampak jelas. Nampaknya mereka kurang tanggap terhadap
perubahan hanya berpegang pada apa yang tampak dihasilkan pertanian untuk
kebutuhan hidup bukan hanya ditentukan oleh apa yang dihasilkan, tetapi juga oleh
kemajuan dan kebutuhan di luar produksi, yang berkembang dengan lebih cepat oleh
karena itu banyak dari antara mereka telah menjual tanah yang dibelinya atau tanah
yang dibukanya dahulu bahkan banyak pula yang menjadi petani penyewa dan pada
akhirnya ada yang pindah ke daerah lain seperti Riau. Petani-petani Batak Toba yang
tinggal di desa hanya menguasai sawah di bawah 0,5 Ha terdapat kesan bahwa
mereka tidak mampu meraih tingkat kesejahteraan yang lebih baik ke masa depan.
sawah, kebun dan beternak. Secara umum petani-petani Batak Toba banyak yang
ketinggalan dalam pola hidup yang sebagian sebagai petani, tetapi ada juga yang
memiliki pola hidup yang baik walau hanya sebagai petani. Sedangkan di beberapa
daerah dekat dengan jalan raya petani-petani yang memiliki lahan yang luas,
banyak bermukim etnis Jawa, Batak, Mandailing dan Cina. Orang Batak dominan
bermukim pada inti kota Medan. Hal ini berbeda dengan beberapa dasawarsa yang
lalu dimana orang Batak pada umumnya bermukim di bagian kota yang menuju
Tapanuli. Dewasa ini telah menempati setiap sudut kota dari kawasan elit sampai
Dilihat dari pekerjaannya sebagian besar orang Batak Toba adalah pegawai
pendidikan cukup banyak dari guru-guru sekolah menengah dan dosen Universitas
Negeri maupun swasta terdiri dari orang Batak Toba. Jumlah pedagang menengah
pun semakin banyak seperti di pusat pasar. Oleh karena situasi ekonomi keluarga
yang sulit sebagian ada yang bekerja keras dan ada yang memilih pekerjaan yang
dianggapnya lebih baik. Kaum wanita ikut membantu kepala keluarga dengan
berjualan pagi di pasar atau di sektor informal lainnya. Tidak sedikit yang berjualan
masyarakat Batak Toba pada umumnya memperoleh penghasilan dari pertanian dan
nelayan. Sampai sekarang hanya sebagian kecil masyarakatnya yang bekerja sebagai
kelompok miskin dan tidak semua petani di sana sebagai pemilik lahan pertanian
terhadap hasil pertanian maka banyak penduduk yang bekerja rangkap seperti petani,
Toba awalnya lebih dominan pergi ke luar Tapanuli. Pada masa dewasa ini, akibat
kemajuan sistem perekonomian yang merata, daerah Tapanuli sudah dapat memenuhi
kebutuhan masyarakatnya dan tidak ditinggalkan oleh orang Batak itu lagi. Namun
pada masa sekarang justru sudah banyak yang kembali ke kampung halaman mereka,
pulang dari perantauan karena kehidupan di perantauan sudah sangat kompetitif. Hal
ini disebabkan karena berbagai faktor antara lain perpindahan tempat kerja, bagi
orang Batak yang bekerja di daerah pemerintahan, dan ada juga karena tidak mampu
bersaing akibat pengaruh ekonomi dengan suku lain di kota-kota besar sehingga lebih
memilih untuk pulang ke kampung halaman yang pola kehidupannya tidak seberat
masyarakat ini, sering menyebut dengan orang Batak yang menunjukkan identitas
mereka sebagai etnis Batak. Namun lebih cenderung konotosi penyebutan ini terarah
pada Batak Toba. Tidak seperti pada penyebutan bagi masyarakat Batak lain yang
berasal dari Pakpak misalnya, sering disebut dengan orang Pakpak bukan orang
kelompok masyarakat ini. Penyebutan nama Batak Toba sering dikonotasikan oleh
pemilik kebudayaan ini sebagai “Batak yang sebenarnya”. Penggunaan nama ini
Pertama, penyebutan Batak bagi penganut agama Islam dari sub kultur
Tapanuli bagian selatan dan sebagian kelompok di Sumatera Utara bagian timur
(Asahan dan Labuhan Batu), mereka tidak mau disebut sebagai suku Batak, namun
sebagian dari mereka menerima akan hal ini. Hal yang melatarbelakangi, adanya
istilah-istilah yang ditujukan bagi nama Batak dengan konotasi buruk. Misalnya,
penyebutan dengan nama “Batak makan orang; Batak makan babi; atau Batak
berekor” menjadikannya sebagai nama yang tidak enak untuk di dengar. Kelompok-
kelompok masyarakat ini, tidak mau menerima cap seperti istilah yang disebutkan di
tradisinya.
pasogit 29, sering mengklaim bahwa sub kultur merekalah yang dianggap asli.
Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Rura Silindung sebelah barat daya danau
Toba pada umumnya lebih memilih dirinya sendiri sebagai halak Batak (orang-orang
Batak) atau halak silindung (orang-orang silindung) yang pada awalnya sebagai
penyebutan “halak Batak” sering kali merujuk pada kelompok masyarakat yang
Identitas orang Batak Toba yang tinggal di Bona Pasogit, dapat dilihat dari
kultur eksogami marga yang terdapat dalam daerah kebudayaan di seluruh wilayah
tempat orang Batak bermukim. Terdapat 4 (empat) wilayah kultur yang didiami oleh
29
Bona pasogit, tempat bermukimnya masyarakat Batak di sekitar pegunungan Bukit Barisan, hidup
dalam kelompok-kelompok yang terbagi dengan area culture sesuai dengan sub kulturnya. Terbagi atas
4 (empat) sub kultur dengan penyebutan “halak” (masyarakat), yaitu: “halak Samosir” kelompok
masyarakat yang bermukim di pulau Samosir - kabupaten Samosir, “halak Toba” kelompok
masyarakat yang tinggal di Toba Holbung - kabupaten Toba Samosir sekarang, “halak Humbang”
masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Humbang - kabupaten Humbang Hasundutan dan “halak
Silindung” adalah masyarakat yang bermukim di Silindung kabupaten Tapanuli Utara.
rendah bagian timur Tapanuli Utara yaitu di wilayah Pahae-Sarulla meliputi Pahae
Julu, Pahae Jae, Simangumban dan Purba Tua terdapat kelompok masyarakat
dan marga lainnya. Di bagian selatan Tapanuli Utara yang meliputi Adian Koting,
Pagaran Pisang, Aek Raisan terdapat kelompok marga Hutagalung, Hutabarat dan
marga lainnya. Di bagian barat Tapanuli Utara yang meliputi Parmonangan, Huta
Tinggi, Dolok Imun dan Pagaran terdapat kelompok marga Aritonang, Manalu,
Silaban, Sinaga, Simatupang dan marga lainnya. Sedang di bagian utara Tapanuli
Utara yang meliputi wilayah kultur Humbang antara lain Siborongborong, Butar,
Huta Raja, Bahal Batu, Hutaginjang dan Muara terdapat kelompok mayoritas marga
kelompok marga lainnya. Sedang di belahan tanah tinggi Humbang Habinsaran yang
Kedua, daerah kultur yang ditempati orang Batak Toba di Humbang, sekarang
yang mendiami beberapa wilayah di daerah ini. Seperti di bagian timur Humbang
Pada bagian barat Humbang Hasundutan yang meliputi daerah Onan Ganjang,
Antara lain, Nainggolan, Sihotang, Limbong, Munthe, Marbun dan marga-marga lain
yang bermukim di daerah itu. Pada bagian utara Humbang Hasundutan yang meliputi
pusat Humbang Hasundutan yang meliputi Dolok Sanggul, Sirisirisi, Matiti dan
Ketiga, orang Batak yang bermukim di wilayah Toba Holbung yang dikenal
dengan kabupaten Toba Samosir terbagi atas beberapa wilayah kelompok marga. Di
arah timur Toba Samosir yang meliputi daerah Parsoburan, Borbor, Sibosur, Matio
dan Habinsaran terdapat kelompok marga orang Batak seperti Pardosi, Pane,
Pasaribu, Lubis, Naiborhu, Hasibuan, Siagian, Tanjung dan marga pendatang yang
terdapat di wilayah itu. Pada bagian selatan Toba Samosir yang meliputi wilayah
Sarumpaet dan marga lain. Di arah barat daya Toba Samosir yang meliputi wilayah
utara Toba Samosir yang meliputi wilayah Uluan, Bonatua Lunasi, Porsea, Lumban
Julu, Ajibata dan Parmaksian terdapat marga Sitorus, Hutapea, Manurung, Sirait,
belahan barat Samosir yang meliputi wilayah Sitiotio, Harian, Hatoguan, Palipi,
Sitanggang, Sitohang dan marga-marga lain. Sedang di bagian utara Samosir yang
meliputi wilayah Pangururan, Ronggur ni Huta, Buhit, Ria Niate terdapat marga
tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama
menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu kebiasaan
oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan lain diluar
sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba. Badan
zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan melalui
filosofi semua orang Batak yaitu mengejar hamoraon, hagabeon dan hasangapon
menjadi diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia
luar lebih jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan
mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial. Untuk mencapai
cita-cita filosofi orang Batak itu, pendidikan adalah jawaban yang dipandang tepat.
Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar,
membuat orang Batak selalu suka bekerja keras. Sehingga, pekerjaan adalah sesuatu
yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil
akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru
lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap
pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari pengalaman
baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan
menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur (penyebutan untuk
wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-orang Batak yang
tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus dengan menyusuru tepian
Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur,
masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat dan
ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Namun, sebelumnya orang
Batak yang akan keluar menuju Sibolga harus menyusuri hutan rimba Batang Toru
dari Adian Koting dengan jarak tempuh berjalan kaki 2 sampai 3 hari. Atau melalui
rute timur dari dataran tinggi Sipirok di wilayah negeri Angkola menuju Padang
Sidempuan dan terus ke kota pelabuhan Padang. Hal ini pernah terjadi dengan
adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah Minang pada tahun 1900-an
dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat dengan kapal api dari Padang,
atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun 1820-an ke tanah Batak pada saat
Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui
beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari
tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal
(perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak.
Dan rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir
dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea, Parapat,
jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin
tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga Batak yang
perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang
halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial
sebesar 3 gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama
Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk
meningkatkan taraf ekonomi mereka. Tetapi, ada beberapa kasus untuk sebagian
daerah Sumatera Timur, hanya bersihat sementara. Kelompok ini disebut dengan
mangombo (bekerja hanya untuk menerima gaji). Selanjutnya secara periodik mereka
kembali ke kampung halamannya. Hal itu terjadi hingga tahun 1980-an, yang diikuti
oleh beberapa kelompok masyarakat dari dataran tinggi Humbang yang pergi
kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja.
Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang mereka
terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di
bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat
diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka seperti dari
Silindung, Toba Holbung, Humbang dan Samosir. Mereka menjalankan adat Batak
dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di bona pasogit, termasuk dalam
untuk membayar pajak irigasi bagi semua pendatang dari tanah Batak. Para raja
menganggap bahwa mereka sudah menjadi rakyat Simalungun yang patuh akan
aturan yang dijalankan disana. Di lain pihak, para pekerja orang Batak yang ada di
bertumbuh dua kali lipat dari jumlah penduduk Batak di Simalungun pada tahun
1920. Mayoritas mereka berasal dari Toba Holbung, Samosir, Humbang dan
dalam membuka lahan pertanian. Selain sebagai petani yang bekerja di sawah dan
ladang, kaum imigran Batak Toba juga banyak bekerja di perkebunan milik swasta
dan pemerintah di Dolok Ilir dan Dolok Merangir. Para pemudanya bekerja di sektor
kesehatan rumah sakit Perkebunan, disamping banyak pula yang bekerja di PKS
(pabrik kelapa sawit) dan pabrik getah havea di Serbelawan dan arah Tanah Jawa.
memberi arti tersendiri bagi orang-orang yang akan memasuki Simalungun atau
yang akan pindah. Pembukaan hubungan jalan sampai ke Medan pada tahun-tahun
berikutnya telah menyebabkan daerah Simalungun sebagai kota transit bagi orang-
orang Batak yang akan menuju daerah lain di Sumatera Timur seperti Tebing Tinggi,
Medan, Belawan, Binjai, Pangkalan Berandan dan kota-kota kecil lainnya untuk
nama komunitas Batak Kristen ketika mereka masih tinggal di bona pasogit seperti
Batak yang tinggal di Simalungun mengalami grafik naik secara signifikan yang
dapat dilihat dari tingkat kehidupan mereka yang maju. Para petani, meningkatkan
produksi hasil pertaniannya dengan bantuan pihak lain dalam menambah volume
(Bank Perkreditan milik orang Batak). Hal ini menjadikan tingkat perekenomian
mereka lebih maju dari penduduk asli pribumi. Di lain pihak, orang Batak yang ada di
Dalam sensus tahun 1930, ditemukan orang Batak yang mendominasi kaum
imigran di Simalungun saat itu berjumlah 6.644 jiwa atau sekitar 68,4 %, melebihi
dari total jumlah penduduk pribumi yang hanya 31,6 % (ibid, 1998:30). Perjumpaan
penduduk Batak Toba dengan penduduk Simalungun selama dua setengah dasawarsa
(1907-1932) dapat hidup berdampingan. Hal ini adalah implikasi dari pengaruh ajaran
tahun, orang-orang Batak Toba yang ada di Simalungun sudah mendominasi dari
Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah Jawa,
Parapat dan daerah lain. Masyarakat Batak di Simalungun hingga kini banyak
kebudayaannya, walaupun mereka jauh dari daerah asal, tetap juga melakukan
aktivitas adat seperti lazimnya orang Batak dalam melakukan pesta atau upacara.
1920-an perubahan dominasi etnik di Medan mulai berubah. Orang-orang Batak yang
ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka sekaligus
Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga
menunjukkan identitas mereka. Sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa
orang-orang yang tertib dan pandai yang mereka kenal adalah ternyata adalah orang
Batak. Orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat
berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan. (lihat
Hasselgren, 2008:48)
bahwa komunitas Melayu dari awal tahun 1920-an mulai kehilangan kebudayaannya
dan identitasnya dalam suku etnis semula. Medan menjadi lingkungan yang multi-
etnis dimana lebih mudah bagi kelompok-kelompok lain untuk menonjolkan jati
dirinya. Meskipun perbedaan etnis menjadi realitas penting di Medan, ada juga
perkembangan ini, tidak tampak perbedaan etnis baik suku maupun agama.
lainnya adalah Batak Mandailing. Saat pergantian abad, banyak orang Mandailing
bertempat di pantai timur Sumatera dan di tempat lain . (ibid. 2008:51). Orang dari
Selatan ini tampaknya lebih mudah diterima masyarakat Melayu di kota Medan,
daripada orang Batak Toba. Hal ini terjadi dikarenakan mereka memiliki kesamaan
agama, sehingga dianggap sebagai saudara seiman mereka. Dan ini menyebabkan
dan pemerintahan.
membuat orang Batak Toba berusaha keras untuk dapat hidup bertahan (survive).
Berbagai cara dilakukan misalnya sebagian orang menukar identitas mereka agar
dapat diterima dengan mudah, atau meleburkan diri terhadap pola dan tatanan hidup
dilihat adalah mereka tetap hidup berkelompok dengan membentuk komunitas yang
keturunan, kelompok satu daerah asal (sahuta) dari tingkat pemuda hingga jenjang
kekeluarga yang sudah menikah. Mereka juga aktif membentuk kelompok dalam satu
keberadaan mereka yang bermukim di Jakarta. Karena Jakarta sebagai ibukota negara
dianggap orang Batak sebagai indikator mengukur seseorang berhasil dalam mengadu
yang menggunakan adat dalam sistem kehidupannya, orang Batak yang di Jakarta
tidak menjadi pembahasan lebih mendalam. Hanya, yang bermukim di Bona Pasogit,
(Jakarta) pada tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai
pembantu utama mereka. Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah ada di
Jakarta adalah seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu
Tarutung yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada
di Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus
tetap mencari pekerjaan ada juga yang datang sengaja untuk menuntut pendidikan di
berbagai sekolah ternama di Batavia pada tahun 1913, seperti Kwekschool Gunung
Sahari, K.W.S, STOVIA dan lainnya. Mereka yang sudah tamat bekerja pada
mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak yang datang ke
Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke darah itu, secara
komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang Batak Kristen
sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang Batak yang berada
kumpulan ini hanya mengarah kepada satu paham yakni Kristen. Hingga tahun 1922,
berbagai latar belakang sosial dan keagamaan, Kristen dan Islam bergabung dalam
Bond yang bergerak dalam bidang politik serta kumpulan Jong Batak yakni
masih dapat dirasakan dalam komunitas Batak yang dibentuk berdasarkan agama,
marga dan kelompok patrineal. Mereka yang berada di Jakarta sekarang ini, tetap
transportasi dan teknologi dengan cepat menjangkau kedua daerah ini. Dalam
hitungan jam, orang Batak yang ada di Jakarta akan dapat tiba di bona pasogit untuk
mengikuti ritual adat yang diyakininya atau mengurus keluarganya. Begitu juga
sebaliknya. Pameo orang Batak yang tinggal di Jakarta hidup sukses, membuat orang
Batak Toba hingga kini tetap mengejar impian untuk dapat hidup di ibukota negara
ini.
daerah itu pada tahun 1923, mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan
Mempawah. Sedang di pulau Sulawesi, orang Batak disana sudah bermukim mulai
tahun 1920-an, seperti ditempatkannya beberapa orang Batak yang menjadi anggota
militer. Di Papua dimulai pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai
tentara Heiho dan Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang
petinggi militer Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua.
luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876
bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian
Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu
dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H
Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak
yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah
pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah
memasuki Singapura. Tahun 1935 diketahui sudah ada 3 orang yang sekolah di Seven
Day Adventis Singapura. Dalam kurun waktu 1949-1955 jumlah orang Batak Toba
yang tinggal di Singapura mengalami pasang surut. Hal ini dikarenakan tidak
semuanya tinggal menetap di sana. Salah satu penyebab bertambahnya orang Batak
Toba di Singapura adalah ketika pemuda-pemudi yang rindu kampung halaman itu
Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba
dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau Batam
dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP 1994:370). Dan
Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126 jiwa.
Belum lagi para pemuda yang bekerja kontrak di perusahaan dan industri yang tidak
terdaftar dalam anggota IKABSU (Ikatan Keluarga Besar Batak Sumatera Utara).
Tanjung Pinang).
atau mengadatkan, ketika adat dilakukan secara berulang-ulang maka adat serta
kebiasaan itu adalah merupakan sebuah sikap perilaku. Adat hidup dari perorangan
atau golongan yang dipakai dalam lingkungan suatu kebudayaan. Pada masyarakat
Batak Toba adat dikenal dengan ugari yang berarti suatu kebiasaan atau cara
(Warneck 1978 hal 14). Sehingga dapat disebut bahwa adat yang mengatur
Batasan yang dipakai untuk menyebut adat bagi masyarakat Batak Toba
adalah sebuah hukum yang menjadi ugari yang sudah dipergunakan oleh nenek
moyang orang Batak (adat sijolo-jolo tubu) orang Batak mempercayai bahwa
kehidupan adat bagi mereka adalah mutlak dan alamiah. Orang Batak tidak mengenal
istilah bebas dari adat atau lingkungan kehidupan orang Batak yang bebas dari adat
untuk itu dapat disebut bahwa adat lah yang menentukan dan mengatur semua batas
yang hidup ditengah-tengah masyarakat Batak. Orang Batak yang tidak memiliki adat
dicap sebagai jolma naso maradat, satu hal yang dihindarkan dalam kehidupan
mereka.namun belakangan, ada pemahaman adat itu dapat dibuat sesuka hati menurut
keinginan sepihak. Contoh, pesta jubilate (ulang tahun), tardidi (inisiasi pembaptisan
nama), malua (masa akil balik), peresmian bangunan pemerintah, syukuran naik
laku yang digunakan oleh masyarakatnya yang berisikan sistem kekeluargaan dengan
nilai-nilai dan norma yang saling berhubungan. Perwujudan dari adat Batak, secara
Batak Toba. Hal ini diasumsikan bahwa adat bagi orang Batak adalah aturan hidup
yang harus dimiliki dalam bertingkah laku pada setiap individu dan kelompok
masyarakat ini. 30
Konsep yang dilakukan dalam setiap upacara adat Batak untuk menunjukkan
nilai normatifnya, tertuang dalam konsep suhi ampang na opat (empat sudut bakul)
yang memberi arti kehadiran pihak-pihak kekerabatan dalam sebuah upacara adat,
diantaranya pihak dongan tubu, hula-hula, boru dan aleale. Keempat kelompok ini
30
Rumusan Seminar Adat Batak Toba dalam Pedoman Umum Pelaksanaan Adat Batak Toba. Parbato
Medan. 1998. CV. Bintang Inc.
opat, hingga implementasi komunikasi yang dilakukan dengan kegiatan tari manortor
Batak Toba. Seperti, kegiatan ritual upacara bius, upacara religi ugamo malim dan
upacara perkawinan, selalu memakai alat musik pengiring (Sihombing, 1989: 289).
Wujud budaya Batak Toba sebagai sumber sikap perilaku dalam kehidupan
sehari-hari, tampak dalam sistem yang digunakan di masyarakat Batak Toba itu
sendiri. Kekerabatan yang ada pada masyarakat ini berhubungan dengan fase
kelahiran memulai tahapan kedudukan kekerabatan seorang Batak Toba pada sistem
kemasyarakatan yang berlaku. Sebab nilai yang terdapat pada kekerabatan itu,
memunculkan identitas baru pada marga dan atau garis keturunan dengan dimulainya
tarombo atau silsilah. Penghargaan masyarakat Batak Toba terhadap marga dan
keluarga dan masyarakat sekaitan dengan Dalihan Na Tolu. Arti kelahiran yang
menentukan kedudukan seseorang Batak Toba. Anak sulung dalam satu keluarga
merupakan mataniari binsar atau matahari terbit, dipandang sebagai orang yang
memiliki wibawa kebijaksanaan, adik-adiknya yang lahir kelak akan merasakan satu
dimana seorang anak sulung mengambil keputusan yang mengikat dan mutlak diikuti
oleh semua saudaranya yang menerima keputusan itu. Dalam beberapa kasus
terhadap keputusan yang diambil anak sulung tidak diterima oleh sesama saudaranya
kepada Tulang itu Sipupus Sambubu (pembelai kepala) sebagai pengambil keputusan
terakhir yang dianggap merupakan wujud Tuhan dalam masyarakat Batak Toba.
Dalam adat Batak Toba, tahapan yang dilakukan dalam upacara perkawinan
perkawinan biasa.
memiliki anak.
pelaksanaan adat itu dengan upacara adat peresmian perkawinan: alap jual atau
mengikuti tata cara adat Batak Toba dengan menyertakan perangkat musik sebagai
bagian dari rangkaian kegiatan perkawinan ini. Selanjutnya, akan lebih lengkap
atau horja adat marunjuk diadakan di halaman rumah pihak perempuan dan pihak
laki-laki dating menjemput pengantin perempuan dengan cara adat dari keluarga
pihak parboru (perempuan); setelah ada kata kesepakatan dalam marhata sinamot.
Pengertian jual adalah jenis bakul Batak tempat sumpit tandok berisi
makanan adat yang dibawa dengan cara menjunjung. Lauk makanan adat dari juhut
diperuntukkan untuk hulahula; sedang lauknya dari dengke atau ihan, maka makanan
adat tersebut dibuat oleh hulahula diperuntukkan untuk boru. Makanan ini disajikan
anaknya sebagai calon pengantin dengan membawa makanan adat dalam jual yang
Upacara perkawinan dalam bentuk taruhon jual dapat dilihat dari tempat
putrinya ke tempat pihak paranak. Acara menjemput pengantin putri dari rumah
parboru, sama halnya dengan alap jual dengan membawa makanan adat sibuhabuhai.
Gambar No. 2: Musik Tiup Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Kematian yang sudah saur matua bagi masyarakat Batak Toba, adalah sebuah
gejala paradoks. Kaitannya, kematian adalah pemisahan diri antara orang hidup dan
masyarakat Batak Toba dalam peristiwa ini, bukanlah keadaan yang harus ditangisi
dan sedih. Ada perhatian khusus untuk menunjukkan keluarga yang ditinggalkan,
menghibur diri dari pertukaran fase kehidupan (fenomena ini masih harus ditelisik
lebih jauh oleh penelitian khusus, dengan perhatian pada anggapan masyarakat pelaku
dapat diklasifikasi berdasarkan usia dan status si mati. Perlakuan untuk orang yang
perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Namun, bila meninggal ketika
masih bayi (mate poso-poso), meninggal saat anak-anak (mate dakdanak), meninggal
saat remaja (mate bulung), dan meninggal saat sudah dewasa tapi belum menikah
(mate ponggol), keseluruhan jenis kematian tersebut telah mendapat perlakuan adat.
Mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum
dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orangtuanya
sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos berasal dari tulang (saudara
Upacara adat kematian mendapat perlakuan adat apabila meninggal pada saat:
3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin,
5. Telah bercucu dari semua anak-anaknya disebut dengan mate saur matua.
Bagi masyarakat Batak Toba, mate saur matua menjadi tingkat tertinggi dari
klasifikasi upacara, karena ketika seseorang menutup usia saat semua anaknya telah
berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi di atasnya, yaitu mate
saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah
memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan anaknya
Upacara adat diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mate saur matua dan
pihak hula-hula telah hadir. Segala persiapan dan mekanisme adat yang dilakukan
pada hari penguburan si mati, akan dibicarakan dalam martonggo raja untuk
luar adat, seperti menerima kedatangan para pelayat dengan membuat acara sesuai
dengan agama pelaku adat. Dalam konteks sari matua dan saur matua, acara
mangondasi dilakukan oleh pihak keluarga dan kerabat dekat dengan acara makan
musik yang sesuai dengan kemampuan pihak dalam menyediakan perangkat hiburan
Bila seorang anak bayi meninggal dunia dari keluarga penganut agama Kristen
sebelum dibabtis, dianggap tidak akan masuk dalam Kerajaan Surga. Agar anak itu
berhak memasuki Surga, diberi hak kepada seorang pengetua gereja atau kedua orang
untuk membaptis bayi itu. Inisiasi ini disebut tardidi na hinipu. Demikian pula halnya
dalam kepercayaan lama masyarakat Batak Toba, apabila seorang bayi meninggal
dunia sebelum inisiasi martutuaek, maka roh bayi itu tidak akan dapat berhubungan
dengan penghuni Banua Atas. Untuk mengatasi itu, maka setiap orang tua si anak
Seorang remaja dalam tingkat usia naposo atau bajarbajar meninggal dunia,
keagamaan diadakan, maka lebih dulu dilaksanakan acara adat atau upacara budaya
dengan jalan membuat ulos Batak di atas mayat yang disebut ulos saput. Saput
dengan matipul ulu, dengan anggapan tubuh manusia yang telah putus kepala.
Pengertian matompas tataring, diberikan kepada seorang ibu yang masih muda
Sarimatua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu, tetapi
masih ada diantara anak-anaknya yang belum kawin. Sari, artinya masih ada anak
orangtua seperti ini meninggal dunia, jiwanya belum pasrah menghadapi kematian
orangtua seperti ini, belum pantas diadakan acara adat na gok untuk
dari hewan acara adat yang disembelih untuk itu. (ibid, 1995:379)
Pengertian saur lebih dekat kepada sempurna atau lengkap. Saur Matua
dilaksanakan dengan adat na gok berdasar pada dalihan natolu. Orang tua yang
meninggal dalam kelompok ini, tidak akan ditangisi. Dan dianggap pantas mendapat
perlakuan terhormat pada upacara kematiannya. Untuk menghormati yang saur matua
ini, orang banyak perlu diundang dengan mengadakan pesta besar dan memanggil
sebagai undangan bagi tamu-tamu dari pihak hasuhuton. Peran dan fungsi musik
dalam konteks acara ini, akan dikaji lebih luas dalam Bab berikut yang membahas
Fase kelahiran dan kematian jelas lebih penting dari pada peristiwa pokok
dan diatur adat. Pelaksanaan adat itu sebagai wujud keberagamaan adat Batak lebih
sekarang ini dapat digambarkan dalam bentuk membuat tanda artifisial bagi satu
kelompok garis keturunan. Misalnya, bangunan sebuah tugu. Tugu yang menjadi
pertanda, bukan kuburan para leluhur mereka, adalah cara untuk menghormati
leluihur mereka. Penghormatan atas orang yang sudah meninggal harus dibedakan
dari pemujaan nenek moyang di lain pihak. Yang termasuk dalam upacara untuk
orang mati adalah semua perstiwa yang menyangkut kematian dan acara penguburan.
nenek moyang diselenggarakan bagi para leluhur yang dianggap mempunyai suatu
kuasa pengaruh yang istimewa, berdasarkan pekerjaan mereka saaat di dunia, yang
dilihat dari kekayaan dan kedudukan mereka dalam silsilah marga. Jadi tidak semua
yang meninggal orang Batak diangkat menjadi nenek moyang yang dipuja.
Pembedaan antara upacara untuk orang mati dan pemujaan nenek moyang tidak
hanya dibuat dalam agama-agama suku, melainkan juga dalam gereja-gereja suku
yang didirikan lingkungan agama suku. Upacara untuk orang mati dan pemujaan
yang sementara, sesudah lewat waktu pembusukan yang dianggap perlu, lalu
di dasar monumen itu. Setahun setelah didirikan kuburan dan ini dijadikan alasan
patung-patung batu buat nenek moyang hingga sekarang masih dapat ditemukan di
31
. Penelitian yang dianggap mewakili laporan tentangt upacara dan pemujaan kepada orang mati telah
dilakukan oleh Th.V. Baaren: Wiji Mensen, 1960 Hal 56 dan 155
penggalian tulang-tulang dalam bentuk yang telah diubah. Gereja telah menyucikan
(membersihkan) adat itu dari unsur-unsur yang dianggap animism, dan telah
HKBP distrik Toba 32. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan dalam pihak gereja
kelompok yang sudah dikristenkan itu berlangsung hingga kini dengan beberapa
pendapat yang berbeda antara penganut agama Kristen lainnya di tanah Batak selain
kuburan tanah yang tua, yang biasanya tak terpelihara, disamping tanda-tanda makam
yang dibangun, sampai yang bersifat mausoleum megah berdiri di sepanjang jalan
Sekarang ini telah banyak didapati bentuk kuburan yang telah diganti oleh
religietnologis. Orang Batak sekarang ini, tidak lagi memahat batu membentuk
sarkefagus, melainkan membuat bangunan dari bahan adukan semen dan batu 33.
32
Masyarakat Batak Toba, mayoritas menganut agama Kristen Protestan. Lebih banyak terdaftar
sebagai anggota gereja di HKBP. Sikap HKBP dalam mengakomidir bentuk-bentuk Pesta dituangkan
dalam pelayanan yang dilakukan dengan memberi izin dalam ritual penggalian tulang belulang leluhur
Batak dengan liturgist dari HKBP.
33
Dalam hampir semua kebudayaan suku, bersama dengan agama suku itu ambruklah juga kesenian.
Sebab keduanya merupakan suatu kesatuan hidup yang menurut hakikatnya erat berhubungan satu
kembali dalam sebuah ruangan di dasar sebuah kuburan semen. Pemindahan itu
dilakukan dengan perayaan, sehingga orang dapat menyebutnya suatu pesta. Apabila
sekarang ini sudah berlaku umum, mereka meminta kepada majelis jemaat gerejanya
permohonan ini pun sudah nyata ditingkat mana dari ketiga tingkat yang ada akan
merupakan perayaan yang paling terhormat dan paling banyak makan biaya.
melainkan yang bersifat genealogis sosial. Dengan demikian maka tugu atau rumah
orang Batak secara berkala. Secara religi-etnologis dalam arti upacara, ada beberapa
faktor yang membuat kegiatan ini tetap dilakukan, yakni peran para anak rantau yang
mengharuskan seorang anak harus menghormati orangtuanya, baik saat dia masih
hidup ataupun sudah meninggal. Adat itu sendiri dapat berjalan bersama dalam ajaran
agama Kristen. Dengan demikian adat itu membuktikan tidak bertentangan dengan
sama lain. “tiang-tiang ukiran, rumah-rumahan orang mati, hiasan-hiasan yang banyak, yang indah dan
sebagian menelan banyak waktu itu, semuanya menjadi lebih sederhana bahkan menjadi acak-acakan.
Gambar No. 4:
Tugu Batak Toba
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pesta Ulang Tahun pada awalnya tidak termasuk bagian dari adat Batak.
Namun seiring dengan kemajuan kebudayaan serta pola pikir manusia, banyak
budaya Batak di dalamnya. Bahkan juga terkesan bahwa adat Batak yang paling
hal ini keluarga dari yang akan berulangtahun bagaimana caranya menghargai dan
berulangtahun adalah Orangtua yang sudah berumur lanjut dan mempunyai banyak
pinompar (keturunan) serta kerabat yang dikenal lama secara resmi atau tidak melalui
Bila yang berulangtahun sudah berusia tua dan banyak pinompar, pihak keluarga
menggelar perayaannya seperti layaknya anak remaja, pemuda, atau bahkan seperti
kanak-kanak pada umumnya. Bagi keluarga yang mampu, akan menggelar kegiatan
ulang tahun ini serba selebrasi di gedung dengan harga sewa yang mahal,
pomparan jubilaris dengan kostum seragam mahal dan menyertakan perangkat musik
Bagi orang tua yang akan dirayakan ulangtahunnya oleh anak-anak dan cucunya
perlu diketahui sebelumnya siapa saja yang akan diundang untuk menghadiri. Bila
yang hadir didominasi oleh kerabat dari paradaton, akan digelar kegiatan yang berbau
adat. Untuk adatnya, pihak Hula-hula membawa dengke (ikan adat) untuk
disertai pemberian ulos maupun kado. Sedangkan pihak keluarga yang sedang
terimakasih dan permohonan doa restu. Tidak ada pola resmi dalam kegiatan ini.
Dalam acara ini, ada kalanya pihak keluarga mengadakan pengumpulan dana
melalui suatu pertunjukan yang akan disumbangkan kepada suatu pihak yayasan atau
organisasi tertentu, misalnya ke Panti Asuhan atau ke Gereja. Lebih jauh, upacara
ulang tahun ini lebih menekankan kepada keberhasilan keturunannya dalam mencapai
itu.
Rumah bagi orang Batak, merupakan suatu salah satu cita-cita yang paling di
tempat seisi keluarga bernaung dari hujan, panas dan dingin, disebut dengan undung-
undung. Rumah juga menjadi tempat mengumpulkan segala rejeki yang didapatkan
dari pekerjaannya. Rumah merupakan tempat yang selalu dirindukan oleh seluruh
anggota keluarga yang ingin segera kembali dari tempat kerja maupun dari
perjalanan. Rumah sangat penting arti filosofinya bagi orang Batak. Bagi orang
Batak, membangun sebuah rumah untuk tempat keluarga bernaung adalah bagian dari
pihak hula-hula untuk memohon doa restu. Acara memasuki rumah bagi orang Batak
mempunyai tingkatan sesuai situasi dan kondisi rumah yang akan di tempati.
meskipun belum sempurna sebagai rumah yang sudah selesai. Acara manuruk
bagas sangat sederhana dan dihadiri oleh saudara dekat. Biasanya, dalam
konteks rumah yang belum selesai ini tidak diberitahukan kepada tulang agar
Untuk acara dalam mangapi-api i, yang di undang adalah sanak keluarga saja
3. Mamasuki Jabu. Untuk acara mamasuki jabu, kondisi rumah telah selesai
hulahula, tulang, kerabat dekat, pihak gereja dan undnagan lainnya. Acara
makan bersama dengan menyajikan juhut dari pihak yang berpesta dan dengke
dari hulahula. Adakalanya, acara ini diiringi oleh musik sesuai dengan
Dari uraian di atas tentang adat Batak Toba, dapat dimengerti mengapa orang
Batak Toba sangat kuat mempertahankan dan menjalankan adatnya. Karena adat
berpengaruh sangat kuat yang mengandung berkat dan sanksi sekaligus serta
merupakan sikap hidup orang Batak Toba dalam memandang hidupnya, maka adat
Dalam konteks ini, orang Batak Toba yang menganut paham agama Kristen
atau Islam, di desa atau di perkotaan bahkan petani atau terpelajar, mereka tetap
masa dahulu namun inti dari sistem adat itu tetap seperti semula. Dalam persekutuan
hidup dengan nenek moyang, adat itu lebih menyatakan diri sebagai religi bagi orang
Batak. Adat menghubungkan nasib individu, nasib nenek moyang dan nasib
Keterlibatan RMG di Indonesia dimulai pada tahun 1834, ketika misi ini
Banjarmasin, yang memulai memusatkan misi ke suku Dayak yang ada di pedalaman.
Ketika para missionaris keluar dari Kalimantan, badan zending ini mulai mencari
lahan misi yang lain dalam koloni Belanda. Serikat injil Belanda menerima bahwa
karya misi diantara suku Batak di Sumatera tampaknya akan menjadi usaha yang
menjanjikan. Sehingga Belanda mengirimkan ahli bahasa bernama Van der Tuuk ke
Indonesia, dimana ia telah menulis tata bahasa Batak Toba dan menerjemahkan
bagian-bagian dari injil. Pada bulan Oktober 1860, resmi dibuat oleh Badan zending
RMG di Jerman untuk memulai penginjilan di Sumatera Utara. RMG juga memulai
karya missioner Kristen di Tapanuli Utara. Pada tahun 1834 para missionaris Baptis
Amerika memasuki lembah Silindung, namun usaha mereka terhenti dan gagal total.
Gesselschaft” (RMG), akan merujuk pada misi dari Rhenish Mission Society di
Sumatera. Sehubungan dengan hal itu, keresidenan Sumatera Timur pada zaman
kolonial Belanda dibagi menjadi beberapa distrik. Sebuah terobosan penting dalam
hal ini komunikasi regional terjadi pada tahun 1915, ketika jalan raya trans Sumatera
selesai dibangun dari Medan menuju Sibolga, sebuah kota kecil di pesisir samudra
India di sebelah barat Tapanuli. Jalan raya ini menghubungkan kota dan desa
religious dari pada kolonial. Bangsa Eropa pada umumnya tidak tertarik dan para
pendeta jemaat yang mengeluh bahwa pengumpulan keuntungan adalah minat utama
mereka dan bukan kehidupan spiritual. Ada banyak jemaat Kristen dari non- Eropa
yang tinggal di Medan. Beberapa dari mereka tergabung dalam jemaat yang
didominasi oleh orang-orang Eropa dan ada juga anggota badan missioner yang
bagi bangsa Eropa di Medan. Di Medan, sebuah jemaat Katolik didirikan pada tahun
1878 dan sebuah gereja dibangun di Paleisweg (sekarang jalan Pemuda) pada tahun
1879. Gereja tersebut terletak di sebelah timur sungai Deli dekat perbatasan
Kerk (saat ini GPIB jalan Diponegoro). Gereja ini adalah gereja Protestan satuan di
koloni yang sangat terikat dengan pemerintahan kolonial, dinamai juga dengan Gereja
Belanda (Gereformeerdekerk), gereja ini dibangun pada tahun 1888 di dekat lapangan
Merdeka, dan pada tahun 1912 orang-orang yang tergabung dalam Batak Mission
mengadakan kebaktian minggu di gereja tersebut. Pada tahun 1921, sebuah gereja
pribumi sebagai anggota di bagian barat koloni. Gereja juga terbuka terhadap jemaat
pribumi pada umumnya. Dan pada Tahun 1927, dibangun gereja Batak pertama di
sekitar jalan Sudirman dengan sungai Deli, bernama Huria Christian’s Batacs
(HChB) yang berubah namanya menjadi HKI Dahlia sekarang. Dan tahun 1928,
Selama dua dekade abad ke-20, sekitar 80-100 anggota Protestant Kerk
bermigrasi dari Ambon dan Menado ke Medan. Para lelaki bekerja sebagai pegawai
negeri. Dua kelompok etnis ini pada umumnya banyak yang menjadi serdadu dan
Pada tahun 1918 dan 1919, Protestantsche Kerk mengalami krisis, gereja tidak
Kerken, gereja ini didirikan pada tahun 1886 (Gereja GKI di Jalan H. Zainul Arifin
direformasi. Jemaat ini terdiri dari golongan kaum Belanda yang terkemuka di Medan
yang dikenali karena kesetiaan mereka terhadap agama Kristen. Selain itu ada juga
gerakan yang terjadi di Medan, yaitu Methodis yang merupakan organisasi missioner
yang paling penting di Medan selama beberapa dekade pertama pada abad itu. Di
Medan, gereja Methodis didirikan atas inisiatif pedagang-pedagang Cina. Pada tahun
karya misi di pantai timur. Organisasi missioner yang lain di Medan adalah Gereja
Advent. Gereja ini dibawa oleh para missioner dari Amerika. Pada tahun 1920-an,
jemaat Advent mencoba membangun gereja namun tidak diketahui pasti apakah
mereka berhasil atau tidak. Jadi dalam penjelasan diatas dapat dilihat bahwa dominasi
agama Kristen di Medan sangat berpengaruh, termasuk orang Batak yang beragama
Kristen.
Mereka datang ke sana dengan bantuan missioner Jerman dan badan Zending yang
lain. Usaha pelayanan umat Kristen sampai ke Mentawai dimulai awal tahun 1900-an.
Missioner Jerman dan zending yang lainnya dari antara umat Kristen Batak bukan
hanya memberiitakan injil, tetapi juga mendirikan dan membangun berbagai sarana
Pendidikan sekolah, pusat kesehatan dan lain-lain tidak kecil artinya bagi mereka.
Kehadiran missioner, guru, jururawat, atau mantri, tukang dan kaum awam membawa
berbagai kemajuan dan pembaharuan di daerah Mentawai. Pada tahun 1910 zending
Batak mengutus 9 orang guru-guru injil Batak Toba ke sana, diantaranya Gr.Manase
Pada tahun itu keamanan sudah semakin baik dan peraturan pemerintah Belanda
positif bagi orang-orang Minang yang ingin berdagang di sana, tetapi juga untuk
Mentawai. Salah satu wujudnya adalah pendirian sekolah. Hal ini yang membuat
pada awal tahun 1946 sudah terdapat beberapa orang Batak Toba yang bekerja
sebagai pegawai pemerintah. Ada yang ditempatkan oleh pemerintah atau karena
mutasi pegawai. Sebagian lagi ada yang datang dari Palembang karena mereka ingin
menghindari konflik yang berkepanjangan dengan penduduk asli daerah. Ada yang
sampai ke Lampung dan sebagian ke Bengkulu. Dari antara orang Batak Oemar
Siregar di kenal lebih lama di Bengkulu. Kepulauan Enggano juga tersebar orang
Batak Toba, orang pertama suku Batak disana adalah Gr. Kristiani Lumban Tobing,
Pada tahun 1901 orang Batak semakin berdatangan dengan status sebagai
itu dengan penduduk setempat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah membatasi
gerak langkah terutama pedagang-pedagang Cina yang banyak mengorek untung dari
memberi dampak positif bagi penduduk setempat. Hal ini yang membuat orang
Batak untuk mendirikan koperasi bersama untuk masyarakat setempat. Sejak tahun
1936 orang Batak menjadi basis segala pemerintahan, sosial ekonomi, pendidikan dan
pengembangan agama.
Sampai awal perang dunia II hubungan dengan Enggano lebih banyak melalui
daerah dan jaraknya yang jauh serta sulitnya perhubungan menyebabkan orang Batak
Toba tidak tertarik kesana. Selain pulau Sumatera suku Batak juga ada di daerah
Timah. Mengingat jauhnya dan tidak adanya transportasi, orang Batak yang ada di
Sumatera Selatan dan Pulau Bangka hanya sedikit dan bekerja sebagai pegawai
pemerintah.
Pasifik, jumlah orang Batak semakin bertambah dalam kurun yang relatif singkat.
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda 1910, sudah ada dijumpai orang Batak
Toba di daerah Lampung. Ada yang bekerja sebagai pegawai administratif pada
menggambarkan masyarakat Batak Toba secara khusus bertempat tinggal pada satu
dirinya sebagai Batak Toba dalam kajian ini adalah orang-orang yang menggunakan
kebudayaan Batak Toba dalam kehidupan tradisinya sehari-hari, tanpa melihat daerah
asal dan hegemoni marga mereka sendiri. Dan bagi orang Batak yang tinggal di
tinggal mereka adalah bagian dari hasil kebudayaan mereka sendiri, dimana mereka