Anda di halaman 1dari 62

BAB I PENDAHULUAN

adhumuk bathuk, sanyari bumi, begitulah orang Jawa bilang, bahkan sampaisampai direwangi tohing pati untuk mempertahankan sejengkal tanah miliknya dari gangguan pihak lain. Slogan ini nyaris menjadi bahasa universal bagi seluruh lapisan masyarakat dalam rangka mempertahankan hak-hak yang berkaitan dengan tanah mereka. Seiring dengan jalannya proses reformasi, loso jawa atas tanah tersebut mengkristal menjadi satu sikap protes masif warganegara terhadap negara. Adanya ketimpangan struktur kepemilikan tanah akibat dari sejarah politik hukum pertanahan yang manipulatif telah menjadi akar permasalahan dalam konik agraria di Indonesia. Tidak hanya itu, ketidakmampuan negara dalam merespon secara tepat berbagai tuntutan hak-hak warga terhadap sumber daya agraria (tanah), juga mengakibatkan konik sosial yang berkepanjangan antara rakyat versus negara di masa kini. Kegagalan negara dalam menata ulang sektor agraria yang dibarengi dengan perilaku koruptif didalam lembaga peradilan, badan pertanahan dan birokrasi pertanahan lainnya dalam kenyataannya telah memperumit arah pembaharuan sektor agraria itu sendiri. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan gejala ketidakpercayaan publik terhadap lembaga formal yang di miliki pemerintah, tetapi juga memberikan ruang yang bebas bagi aparat keamanan untuk menggunakan alat-alat kekerasan dalam menghadapi ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat terhadap negara. Dalam bingkai konik agraria, salah satu permasalahan yang dihadapi masyarakat saat ini adalah konik perebutan tanah yang dikuasai militer melawan warga. Peristiwa berdarah di Pasuruan adalah salah satu bagian dari konik pertanahan antara militer dan

PENDAHULUAN

warga yang secara miris telah memperlihatkan kepada kita. Namun demikian, konik ini sebenarnya hanyalah satu gambaran kecil dari problem tata kuasa dan tata kepemilikan tanah di Indonesia. Penembakan yang dilakukan oleh anggota marinir TNI AL pada 30 Mei 2007 mengakibatkan meninggalnya empat (4) orang warga sipil serta sejumlah luka akibat kekerasan di Alastlogo. Peristiwa ini menggugah kembali mengenai keberadaan instalasi militer di lingkungan sipil. Keberadaan Pusat Latihan Tempur TNI AL di Pasuruan mendapat banyak protes dari masyarakat, karena selain kegiatan gelar pasukan dan latihan, konik sengketa tanah yang tak kunjung selesai juga menjadi pemicu munculnya berbagai peristiwa kekerasan bagi masyarakat. Puslatpur ini berada di wilayah berpenduduk yang tinggal dalam sebelas (11) desa yang berada dalam tiga (3) kecamatan di Pasuruan. Ketiadaan jarak pemisah antara instalasi militer dengan lingkungan masyarakat sipil cenderung menimbulkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dialami oleh warga yang tinggal di wilayah tersebut. Peristiwa Alastlogo merupakan salah satu peristiwa pelanggaran HAM yang dialami oleh warga setempat. Konik tanah antara warga dengan pihak TNI AL terjadi sejak tahun 1960, dimana terjadi kecurangan atau manipulasi dalam proses pengambilalihan lahan. TNI AL berencana menjadikan tanah bekas peninggalan penguasaan tentara Jepang ini menjadi tempat latihan pendaratan. Namun kenyataannya, tempat tersebut malah digunakan sebagai lahan bisnis TNI AL. Penyelewengan ini melibatkan perusahaan milik TNI AL di bawah naungan Yayasan Sosial Bhumyamca. Selain itu TNI AL juga bekerja sama dengan perusahaan pertambangan dan pembangkit listrik untuk menggunakan lahan di wilayah tersebut. Departemen Pertahanan (Dephan) yang seharusnya berposisi sebagai pemilik aset TNI tidak melakukan tindakan proaktif dalam menyelesaikan sengketa tanah, termasuk pelanggaran HAM yang muncul. TNI AL sebagai pemegang sertikat hak pakai malah memegang peranan penting dalam mengatur aset yang dimiliki oleh Dephan ini. Konik kepemilikan tanah yang berkepanjangan ini yang menimbulkan pertanyaan bersama mengenai siapa yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut. Keabsahan pemilikan tersebut yang ditelusuri secara mendalam dari sisi kondisi lingkungan dan aspek historis konik tanah di dalam kajian ini. Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan kelemahan dari sebuah instalasi militer yang dijadikan tempat latihan tempur. Kajian ini juga bertujuan untuk mempertanyakan siapa yang sebaiknya di relokasi. Dengan adanya kajian ini diupayakan pembaca mendapat jawaban dari latar belakang konik tanah, serta membuat alat ukur kelayakan keberadaan instansi militer yang berada di lingkungan masyarakat sipil. Dalam hal metodologi, penulisan ini menggunakan pendekatan penelitian partisipatif, suatu model penelitian yang melibatkan kesadaran kritis masyarakat, khususnya petani korban sengketa tanah militer, dengan berperan atau berkontribusi dalam memperkuat data-data yang digunakan dalam penulisan ini. Sehingga banyak catatan yang menyajikan pernyataan-pernyataan perspektif korban dibanding dengan perwira militer. Namun demikian, sebagai sebuah perspektif, pernyataan atau pendapat dan bahkan kesaksian sejarah yang disampaikan masyarakat menjadi relevan dan penting untuk memotret sisi lain dari konik sipil-militer, yang lebih struktural sifatnya.

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

BAB II POLITIK MILITER DALAM PENGUASAAN SEKTOR AGRARIA (TANAH)

arik menarik perebutan tanah antara militer dan masyarakat bukanlah hal baru dalam sejarah konik agraria. Persoalan ini telah muncul sejak masa orde lama dan masih terus berlangsung hingga masa kini. Sengketa tanah antara militer dan masyarakat tersebut meliputi area lahan pertanahan yang dikuasai oleh militer, baik itu yang diperuntukkan untuk fungsi-fungsi yang terkait dengan militer (markas militer, pangkalan militer, tempat latihan militer, fasilitas militer lainnya) ataupun diperuntukkan untuk fungsi-fungsi non-militer (untuk lahan perkebunan, perhutanan , pertambangan, dan bisnis militer lainnya). Perebutan tanah antara militer dan masyarakat sebagaimana marak terjadi di masa reformasi tidak bisa hanya dilihat dalam konteks masa kini. Sebagian besar dari konik agraria itu harus dipandang sebagai bentuk reeksi atas sejarah dominasi militer dalam kehidupan politik maupun keterlibatannya dalam aktivitas ekonomi-bisnis. Besarnya peran politik militer di masa lalu adalah faktor utama yang memberi pengaruh secara langsung ataupun tidak langsung atas praktik penguasaan dan perebutan tanah masyarakat oleh militer. Kehadiran militer dalam hampir semua level kehidupan bermasyarakat dan bernegara akibat dari doktrin peran sosial-politik yang dikembangkan, menjadi modal utama yang mempermudah bagi militer dalam merebut tanah-tanah masyarakat. Sebab, tata kuasa dalam penguasaan ataupun peralihan hak kepemilikan tanah di Indonesia, sangatlah ditentukan oleh kuasa dan kebijakan rezim untuk menentukan siapa yang menjadi pemiliknya. Di titik ini, kejayaan militer di dalam kekuasaan masa lalu tentulah berkontribusi kepada kejayaan militer dalam menguasai maupun merebut tanah masyarakat.

POLITIK MILITER DALAM PENGUASAAN SEKTOR AGRARIA (TANAH)

Dengan demikian, penelusuran sejarah atas peran politik militer dalam penguasaan tanah menjadi penting untuk di bahas guna memahami penyebab konik tanah antara militer dan masyarakat dimasa lalu maupun dimasa kini. Politik militer dalam penguasaan tanah disini diartikan sebagai cara, metode, perilaku maupun kebijakan yang digunakan militer dalam upaya merebut, mengambilalih secara paksa tanah-tanah masyarakat ataupun dalam upaya mempertahankan tanah yang telah dikuasai yang di pengaruhi oleh dinamika politik yang berkembang. A. Sekilas Sejarah Politik Militer dalam Penguasaan Sektor Agraria (Tanah) Di masa awal kemerdekaan (1945-1956), politik militer dalam menguasai tanah masyarakat kemungkinan besar di lakukan dengan dua cara. Pertama politik militer dalam penguasaan tanah hadir melalui tindakan klaim sepihak tentara atas tanah-tanah yang telah ditinggalkan oleh pemerintahan fasisme Jepang. Militer merasa tanah-tanah tersebut merupakan tanah-tanah hasil rampasan perang. Padahal, dalam kenyataannya, banyak dari tanah-tanah tersebut sebenarnya merupakan tanah-tanah penduduk, tetapi karena perilaku dan kebijakan tentara Jepang yang fasis, banyak masyarakat yang akhirnya terpaksa keluar dari tanah-tanah mereka sendiri. Akibat dari kondisi ini, sebagian masyarakat yang pasca kemerdekaan kembali kedesanya, tidak dapat lagi tinggal di tanahnya karena telah digunakan dan ditempati oleh tentara. Situasi ini di sebagian tempat dan dikemudian hari menjadi salah satu penyebab konik pertanahan antara militer dan warga. Semisal kita bisa lihat dalam kasus konik tanah di Wotgaleh, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.1 Kedua adalah karena adanya kesukarelaan petani atau masyarakat untuk memberikan tanah-tanah dan rumah mereka untuk digunakan sebagai lahan pertempuran, tempat istirahat dan persiapan perbekalan yang sifatnya sementara, dengan semangat mempertahankan cita-cita revolusi tahun 1945.2 Dalam masa ini, banyak sekali tanah-tanah rakyat (dan bahkan rumah penduduk lokal) yang diserahkan kepada tentara, atau pasukan gerilya, karena memang pada saat tersebut hubungan rakyat dengan tentara relatif cukup baik karena adanya pengaruh semangat yang sama untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun demikian, hal tersebut menjadi agak bergeser ketika di tahun 1957 masa berlakunya darurat perang, telah memberikan pengaruh sikap militer atas penguasaan tanahtanah masyarakat, karena begitu luasnya peran militer hingga masuk ke sektor ekonomi dan administarsi pemerintahan. Menurut Undang-undang darurat perang yang diwarisi dari zaman Hindia Belanda, dalam keadaan demikian, penguasa militer diberi wewenang- menyimpang dari ketentuan peraturan yang biasa-untuk melakukan tindakan apa saja.yang dipandang perlu untuk menangani keadaan darurat yang mendesak. Pimpinan TNI menggunakan peluang ini untuk meretas jalan masuk yang lebih jauh lagi ke dalam kawasan non-militer, terutama melalui pembentukan suatu hierarki jabatan penguasa darurat perang di seluruh negeri untuk mengerahkan pemerintahan sipil dalam berbagai tingkatan.3
Untuk lebih jelasnya lihat Tim Komnas HAM, Dari Konik Agraria ke Pengharapan Baru, Komnas HAM, Jakarta, 2005, hal 110. 2 R Herlambang Perdana Wiratraman, Politik Militer dalam Perampasan Tanah Masyarakat dalam buku tanah masih di langit, Yayasan Kemala, 2005, Jakarta, hal 787. 3 Mohtar Masoed, Bisnis dan Otonomi Politik Militer dalam buku Military Without Militarism, LIPI, Jakarta, 2001, hal 301.
1

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Pemanfaatan situasi darurat perang juga dilakukan tentara dengan menempatkan seluruh perusahaan bekas Belanda ke bawah penguasaan tentara. Penguasan perusahaan tersebut telah membuka sejumlah kedudukan bagi para perwira tinggi dan menengah, yang tanpa itu tak akan kebagian tugas. Kedudukan-kedudukan itu pada umumnya lebih basah daripada jabatan-jabatan dalam Angkatan Darat.4 Pasca nasionalisasi tersebut, para perwira AD meneruskan peran serta mereka dalam pengelolaan perusahaan yang baru, seperti perkebunan, pertambangan, perbankan dan perdagangan.5 Lebih lanjut, adanya doktrin dwi fungsi ABRI yang menjadi justikasi bagi militer untuk berpolitik6 telah menjadi faktor utama meluasnya kekuasaan militer di wilayah nonmiliter serta mempengaruhi perluasan penguasan tanah oleh militer. Doktrin ini berawal dari pidato KSAD Jenderal Nasution pada 11 Desember 1958 di Akademi Militer Nasional yang mengutarakan konsep jalan tengah. Di dalam konsep ini, militer Indonesia tidak akan meniru peranan perwira Amerika Latin sebagai pelaku politik langsung, yang menyebabkan kudeta berkali-kali, tetapi tidak pula mengikuti model Eropa Barat di mana militer berfungsi sekedar sebagai alat pemerintah. Pimpinan militer Indonesia itu mengembangkan suatu model dimana mereka berbagi kekuasaan politik dengan birokrat dan politisi sipil dalam kabinet, parlemen dan organ-organ negara lainnya.7 Dalam dekade selanjutnya, khususnya pasca dekrit presiden 5 Juli 1959 dan dimasa awal demokrasi terpimpin, praktik penguasaan tanah oleh militer semakin mendapatkan ruang yang lebih luas. Sistem politik demokrasi terpimpin memberikan dukungan atas pendudukan tanah, perkebunan, perusahaan dan kegiatan ekonomi lainnya. Ada dua faktor yang menyebabkan adanya dukungan dari rezim demokrasi terpimpin : pertama, ketergantungan Soekarno terhadap tentara untuk memelihara keamanan dalam negeri dan untuk mencapai tujuan-tujuan politik luar negerinya serta untuk menjaga kelanggengan kekuasaannya dimana Soekarno telah menempatkan militer sebagai bagian dari kekuatan politik pemerintahannya. Kedua, problem keterbatasan anggaran negara, dimana dalam upaya mengurangi ketergantungan tentara dari anggaran belanja pemerintah pusat, tentara mencari sumber dana-dana non-APBN.8 Namun demikian, di masa pertengahan dan khususnya di akhir masa demokrasi terpimpin, adanya pergulatan politik kekuasaan antar faksi politik yang ada, khususnya pertentangan antara Soekarno-Partai Komunis Indonesia melawan TNI Angkatan Darat9kekuatan kelompok Islam, sangat mempengaruhi dinamika proses pembaharuan agraria, tata kuasa kepemilikan tanah dan perebutan penguasaan tanah.

Ulf Sundhaussen, Politik Militer Idonesia (1945-1967), LP3ES, Jakarta, 1986, hal 216 Ibid 6 Kendati demikian, Harould Crouch menilai bahwa keterlibatan militer dalam politik sudah terjadi sejak masa revolusi kemerdekaan 1945, dimana militer Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer. Keterlibatan militer dalam perjuangan kemerdekaaan telah menempatkan tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan. Harould Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1999, hal 21 7 Ibid 8 Akan tetapi motivasinya pun mengalami transformasi secara mendasar: mulai sekedar untuk memperoleh dana ekstra anggaran (extra budgetary fund) menjadi corporate interest yang lebih luas. Lihat Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, Narasi, Yogyakarta, 2005, hal 33. 9 Herbert Feith mengungkapkan hubungan antara Presiden Soekarno dengan pimpinan Angkatan Darat adalah suatu hubungan konik yang stabil yang ditandai oleh kerja sama, kompetisi dan ketegangan diantara lawan-lawan bertanding yang setaraf, Ibid
4 5

POLITIK MILITER DALAM PENGUASAAN SEKTOR AGRARIA (TANAH)

Di masa ini, konik pertanahan yang terjadi tidak hanya menempatkan militer vis a vis masyarakat, tetapi lebih khusus lagi adalah perseturuan antara serikat petani dalam hal ini yang menonjol adalah pertentangan antara Barisan Tani Indonesia (BTI) yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) melawan tuan-tuan tanah - tentara. Isu yang menjadi penting dalam hubungannya dengan konik tanah dan penguasaan tanah pada masa ini adalah agenda land reform dan implementasi UU Pokok Agraria Tahun 1960. Dalam konik tanah antara militer dan masyarakat, di beberapa tempat, tentara sesungguhnya telah melakukan perampasan tanah dalam rangka pengamanan pada saat sebelum meletusnya gerakan 30 September 1965, sebagaimana terlihat dalam kasus Buduran, di Kabupaten Sidoarjo. Pada tahun 1964, telah terjadi penangkapan terhadap tokoh-tokoh petani yang memperjuangkan hak-hak tanah yang dirampas tentara (AD), dan 5 diantaranya hilang hingga kini, sementara 2 orang petani dipulangkan.10 Sedangkan dalam konteks land reform dan UU Pokok Agraria, adanya sistem administrasi yang buruk, korupsi dan oposisi dari pihak tuan tanah telah menjadi hambatanhambatan dalam mengimplementasikan agenda ini.11 Alhasil, kondisi ini menjadi pemicu ketidakpuasaan di kalangan petani kecil dan buruh tani yang berakibat pada ketegangan antara mereka dan para tuan tanah-tentara. Di sisi lain, pada periode ini, politik penguasaan tanah oleh militer juga sangat terkait dengan munculnya aktivitas formal bisnis militer melalui yayasan-yayasan militer yang dalam beberapa bidang bisnis tersebut membutuhkan tanah sebagai bagian dari modal untuk mengembangkan usahanya. Dibangunnya Yayasan Kesejahteraan Prajurit tersebut ditujukkan untuk mengembangkan sumberdana non-APBN. Salah satu Yayasan yang terbesar adalah Yayasan Dharma Putra Kostrad yang didirikan oleh Kostrad, dalam hal ini di dirikan oleh Soeharto pada tahun 1964 yang waktu itu menjabat menjadi Komandan Kostrad. Yayasan ini banyak bekerjasama dengan pengusaha Cina, Liem Sioe Liong, dan memiliki anakanak perusahaan yang bergerak daam pembangunan gedung, penyaluran lm dan termasuk terlibat usaha dibidang karet.12 Untuk tujuan bisnis tersebut, besar kemungkinannya dimasa ini juga telah terjadi model perampasan tanah oleh militer untuk tujuan-tujuan non-militer, khususnya untuk tujuan bisnis militer. Baik di masa darurat perang dan masa demokrasi terpimpin inilah kemudian lahir 2.800 kasus sengketa tanah yang secara mayoritas melibatkan TNI13, meskipun harus diakui bahwa secara perlahan Soekarno memang telah berusaha mendorong proses reformasi agraria. Keinginan ini tercermin dalam intervensi negara dalam berbagai proses, terutama dalam proses distribusi tanah , meski tidak sampai selesai karena situasi politik berdarah dan bergolak pada tahun 1965. Walaupun demikian, pada periode ini pemerintah telah berhasi mendistribusikan sekitar 800.000 hektar tanah kepada 850.000 kepala keluarga. Lebih lanjut, adanya peristiwa 30 September 1965 yang dilanjutkan dengan proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto telah menjadi pondasi dasar yang memperkuat politik militer dalam penguasaan sektor agraria (tanah). Keberhasilan Soeharto dalam menggeser kekuasaan Soekarno yang ditandai dengan pembantaian masal terhadap orangorang yang terlibat PKI, simpatisan PKI ataupun warga yang tidak terlibat PKI, menjadi jalan
Ibid Wisnhu Adhi, Kekerasan dalam ranah Agraria: Praktik Pengkhianatan Amanat UUD 1945 dalam buku Tanah Masih di Langit, Yayasan Kemala, Jakarta, 2005, hal 733 12 Ibid
10 11

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

masuk dominasi kekuatan militer dalam kehidupan politik dan ekonomi. Efeknya kemudian adalah militer memiliki pengaruh dan peran besar dalam tata kuasa sistem pertanahan dan agraria masa orde baru. Topangan bagi militer untuk berpolitik dan berbisnis yang berimbas pada adanya praktik penguasaan sektor agraria (tanah) oleh militer tidak bisa dilepaskan dari di lanjutkannya dan di perkuatnya peran sosial-politik ABRI (Dwi Fungsi) pada masa orde baru. Doktrin yang telah lahir sejak masa orde lama tersebut kemudian secara tersirat disahkan dalam berbagai ketetapan : Tap MPRS No.XXIV/MPRS/1966, Tap MPR tentang GBHN Bab IV mengenai Pola Umum Pelita, dan Tap MPR No IV/1978 tentang GBHN dalam Bab II.14 Kendati fungsi Sospol ABRI sudah memiliki landasan hukum yang cukup kuat, namun pemerintah kembali mempertegasnya dalam UU no 20/1982, khususnya tercantum dalam Pasal 26 dan 28. Dalam spektrum masa pembumihangusan kekuatan PKI-BTI ataupun warga yang tidak terlibat PKI tetapi menjadi bagian dari korban pembantaian (1965-1967), perampasan tanah-tanah dan rumah-rumah mereka oleh militer, pemerintah ataupun oleh warga yang dahulunya konik dengan PKI terjadi hampir serempak diseluruh wilayah Indonesia. Sedangkan dalam spectrum yang lebih luas (1965-1998), peran dan posisi politik militer dalam sektor agraria (tanah) pada masa ini sangat dipengaruhi oleh perubahan strategi dan tata kuasa agraria dari yang tadinya populis menuju strategi dan tata kuasa agraria yang kapitalistik.15 Karenanya, politik militer dalam penguasaan sumber daya agraria di era ini sepenuhnya ditujukkan untuk menopang rezim kuasa agraria yang berwatak kapitalistik. Lebih lanjut, keterlibatan militer dalam bidang bisnis dan sektor agraria khususnya, juga sangat terkait erat dengan model teknokratism dan birokratisme yang bersifat otoritarian sebagai konsekeunsi dari bentuk sistem pemerintahan pretorian.16 Perubahan tata kuasa agraria yang berwatak kapitalistik tersebut ditandai dari kebijakan rezim yang telah menghentikan land reform di pedesaan dan menghancurkan organisasi politik yang mewakili kepentingan kelompok-kelompok yang secara sosial revolusioner di wilayah pedesaan. Rezim tersebut menyiapkan dasar bagi revolusi kapitalis di pedesaan, membangun kondisi politik bagi konsentarsi kepemilikan tanah diwilayah pedesaan dan penyebaran hubungan produksi kapitalis. Teknokrat orde baru membangun kebijaksanaan negara yang direncanakan untuk menghasilkan integrasi ekonomi Indonesia ke dalam struktur kapitalis global.17 Politik militer dan keterlibatan militer dalam sektor agraria (tanah) dimasa orde baru dapat dilihat dalam berbagai macam model. Pertama, politik militer dan keterlibatan militer dalam sektor agraria terlihat dari perannya untuk memuluskan jalan investasi asing maupun investasi dalam negeri dengan cara mengawal seluruh proyek-proyek di bidang pertambangan, perkebunan, perhutanan, pertanian, perikanan, dan pembangunan lainnya. Di sini militer ditempatkan untuk melawan ketidakpuasan dan protes masyarakat yang terkena dampak dari proyek-proyek yang ada. Ketidakpuasan itu bisa berasal dari penggusuran yang
Artikel, Akar konik Tanah, SURYA (04/06/2007) Soebijono dkk, Dwi Fungsi ABRI (perkembangan dan perannya dalam kehidupan politik di Indonesia),, UGM Press, Yogyakara, 1993, hal 48-49. 15 Untuk lebih jauh melihat perubahan strategi dan tata kuasa agraria dari populisme ke kapitalisme lihat Noer Fauzi, Penghancuran Populisme dan pembangunan Kapitalisme dalam buku Reformasi Agraria penerbit KPA dan LPFE UI, Jakarta, 1997 dan juga lihat buku Al araf dan Awan Puryadi, Perebutan Kuasa Tanah, Lappera, Yogyakarta, 2002. 16 Ibid 17 Daniel Dhakidae, Cendikiawan dan Kekuasaan (dalam negara orde baru), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, .hal 234
13 14

POLITIK MILITER DALAM PENGUASAAN SEKTOR AGRARIA (TANAH)

dilakukan oleh negara-pemodal, ketiadaan ganti rugi atas penggusuran yang terjadi maupun disebabkan karena proses ganti rugi yang tidak adil. Keterlibatan militer ini merupakan konsekuensi dari perubahan strategi agararia yang populis menuju strategi agraria yang berwatak kapitalistik. Kedua, adanya perluasan aktivitas bisnis-bisnis militer yang telah dirintis sejak masa orde lama melalui yayasan-yayasan yang dikelola oleh TNI. Aktitas-aktitas bisnis ini mencakup berbagai sektor usaha di antaranya perkebunan, perkayuan, perhutanan, elektronik, asuransi, lapangan golf, konstruksi, industri, perbankan, property, perdagangan, pelayanan jasa, perhotelan, penerbangan, container, kimia, konstruksi jalan dll.18 Dari aktitas bisnis tersebut, terlihat bahwa sebagian dari aktitas bisnis yang ada terkait dengan sektor agraria dan masalah pertanahan. Karenanya, besar kemungkinan dimasa ini ada tanah-tanah masyarakat yang diambilalih secara paksa oleh militer untuk tujuan perluasan bisnis militer. Motivasi perluasan bisnis militer dimasa ini telah mengalami transformasi secara mendasar: mulai sekedar untuk memperoleh dana ekstra anggaran (extra budgetary fund) menjadi corporate interest yang lebih luas.19 Ketiga, adanya penyewaan tanah-tanah yang dikuasai militer kepada para pemodal untuk selanjutnya digunakan oleh para pengusaha dalam mengembangkan perusahaaannya. Keempat, adanya perluasan area lahan untuk pengembangan sarana dan prasarana untuk militer. Perluasan itu bisa berupa perluasan lahan untuk pangkalan udara, perluasan batalyon, proyek pemukiman untuk anggota militer, lahan untuk kepentingan latihan militer, dan lainlain. Tidak jarang dalam perluasan lahan ini, militer menakkan keberadaan status tanahnya, dimana status tanah tersebut sesungguhnya telah dimiliki oleh masyarakat setempat. Tempat latihan TNI yang bermasalah
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Lokasi Kampung Cibitung, Desa Sukamulya, Rumpin, Bogor Laha (Ambon) Raci, Pasuruan Ngenyan Asa, Kutai Barat, Kalimantan Timur Kecamatan Lekok, Nguling dan Grati, Pasuruan Desa Purboyo, Malang Dea Pojok dan Ponggok, Kabupaten Blitar Antara Masyarakat dengan TNI AU TNI AU TNI AU TNI AU TNI AL TNI AL TNI AU Penggunaan Lahan Proyek pembangunan water training Perluasan pembangunan bandara 2001 Pangkalan Udara TNI AU Pangkalan Udara TNI AU Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNI AL20 Pusat Latihan Tempur Pusat Latihan Tempur

Dikumpulkan dari berbagai sumber


Untuk lebih jelasnya lihat Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru, Rosda, Bandung, 2000. Lihat Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, Narasi, Yogyakarta, 2005, hal 33 20 Puslatpur di lokasi ini merupakan klaim dari pihak TNI AL, sesungguhnya data sertipikat tanah sama sekali tidak menyinggung peruntukan untuk Puslatpur, melainkan untuk Proyek Pemukiman AL. Selanjutnya akan diuraikan lebih jauh dalam laporan ini.
18 19

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Untuk tujuan politik militer dan keterlibatannya dalam sektor agraria tersebut, militer seringkali menggunakan cara-cara yang represif terhadap masyarakat agar tunduk atas segala kehendak dan kepentingan yang diinginkannya. Abuse of power oleh militer tersebut tidak hanya ditopang oleh sitem politik yang otoritarian, tetapi juga ditopang oleh infrastruktur militer itu sendiri, seperti penggunaan struktur komando teritorial untuk kepentingan politik dan bisnis militer. Jalan masuk bagi militer dalam penguasaan sektor agraria (tanah) juga besar kemungkinannya dipermudah oleh keberadaan para perwira-perwira ABRI yang duduk di jabatan-jabatan sipil. Sebab, tata kuasa dalam penentuan kepemilikan tanah pada rezim hukum agraria di Indonesia melibatkan banyak institusi sipil, mulai dari lurah, camat, pimpinan didaerah maupun lembaga pertanahan (seperti BPN) itu sendiri. Pada 1981 dalam laporannya pada rapat pimpinan ABRI di Ambon, Kepala Staf Kekaryaan Hankam, Letjen TNI M. Kharis Suhud menyebutkan bahwa ada 8.025 anggota ABRI yang ditugaskaryakan di posisi-posisi strategis. Diantaranya ada yang menjabat Duta Besar (28 dari 63 jabatan Dubes yang tersedia), Konsul Jenderal, Gubernur (18 dari 27 jabatan gubernur), Bupati (130 dari 241 jabatan yang tersedia), Sekjen di berbagai departemen (14 dari 19 yang tersedia), Dirjen (18 dari 61 kursi yang tersedia), Irjen (15 dari 19 kursi Irjen), kepala lembaga (8 dari 18 yang tersedia), asisten menteri dan sekretaris menteri (21 dari 25 jabatan yang tersedia).21 Tidak hanya itu, kemudahan ABRI dalam penguasaan sektor agraria (tanah) juga ditopang oleh keberadaan kader-kader partai Golkar yang mendominasi tatanan politik dan birokrasi pemerintahan orde baru. Di masa ini, TNI dan Golkar adalah dua kekuatan besar yang berkolaborasi dalam menjaga kelanggengan rezim kekuasaan Soeharto. Dengan demikian, ada dua metode yang besar kemungkinan digunakan militer dalam politik menguasai tanah masyarakat dimasa ini : pertama, menggunakan cara-cara kekerasan dan perampasan dalam mengambil alih tanah-tanah masyarakat, kedua, melegalkan semua tanah-tanah yang telah diambil alih melalui pemaksimalan peran dan fungsi perwiraperwira TNI yang duduk di jabatan-jabatan sipil maupun pemanfaatan kader-kader Golkar yang duduk di birokrasi pemerintahan. Di sini besar kemungkinan, ada tanah-tanah yang telah dirampas terus dilegalkan, tetapi juga ada tanah-tanah yang telah dirampas tetapi tidak dilegalkan oleh militer. Dalam situasi dan kondisi demikian, wajar kemudian bila praktik penguasaan militer dalam sektor agraria ataupun praktik perampasan tanah oleh militer banyak terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru (1965-1998). Akibatnya, banyak masyarakat yang harus dengan rela meninggalkan tanah mereka. Sebab, kalau tidak, konsekuensinya masyarakat harus berhadapan dengan aksi represif aparat keamanan. Ragam koniknya bervariasi mulai dari sengketa perkebunan, sengketa hak penguasaan hutan (HPH/HTI), sengketa poyek pembangunan, sengketa pertambangan, tambak ataupun sengketa lahan yang digunakan untuk sarana dan prasarana militer. Di masa reformasi, politik militer dalam penguasaan tanah lebih kental terlihat pada upaya militer untuk mempertahankan atas tanah-tanah yang telah mereka kuasai. Tanahtanah itu sebagian besar merupakan tanah-tanah yang terkait dengan politik pemaksaan dan perampasan tanah oleh militer di masa lalunya, sehingga sebagian besar tanah-tanah tersebut belum memiliki sertikat hingga kini. Hasil data dari Asisten Logistik Markas Besar

21

Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Aksara Karunia, Jakarta, 2002, hal 94.

POLITIK MILITER DALAM PENGUASAAN SEKTOR AGRARIA (TANAH)

(Mabes) TNI Mayor Jenderal Abi Kusno mengatakan dari jumlah luas lahan yang dikuasai TNI sebesar 376 ribu hektar, atau tepatnya 3.766.973.969,27 m, hanya sekitar 14%, atau 510.955.214 m yang memiliki sertikat. Akibatnya, tidak heran bila kini banyak dari tanahtanah tersebut yang di persoalkan kembali oleh masyarakat dan menimbulkan konik yang berkepanjangan dengan masyarakat. Di sisi lain, kendati di masa reformasi ini militer dilarang berpolitik dan berbisnis sebagaimana di tegaskan dalam UU TNI no 34/2004, namun praktik penguasaan militer atas tanah untuk tujuan non-militer masih berlangsung. Salah satu model keterlibatan militer dalam tanah untuk tujuan non-militer adalah penyewaan tanah-tanah yang dikuasai militer kepada pihak swasta untuk digunakan sebagai sarana perdagangan, tempat kantor, pertokoan dan lain-lain. Di sini militer mendapatkan timbal balik uang persewaan tanah dari para pengusaha tersebut ataupun kompensasi lainnya.22

B. Situasi di Beberapa Daerah: Jawa Timur, Sumatera Barat dan Papua 1. Jawa Timur: Penguasaan Tanah Pertanian Di masa lalu, politik militer dalam penguasaan sektor agraria (tanah) di Jawa Timur, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan politik militer dalam penguasaan sektor agraria (tanah) secara umum, seperti sebagaimana dijelaskan diatas. Adanya praktik pengambilalihan paksa oleh militer atas sebagian tanah masyarakat di Jawa Timur sangat berkorelasi dengan menguatnya politik militer dimasa lalu dan menguatnya aktivitas ekonomi-bisnis militer. Di sebagian daerah di Jawa Timur, metode penguasaan tanah oleh militer juga dilakukan dengan jalan yang sama, yakni dengan menggunakan cara-cara kekerasan-pemaksaan dalam merebut tanah masyarakat ataupun juga dengan pelegalan tanah-tanah yang telah diambilalih melalui birokrasi pertanahan yang telah mereka kuasai secara langsung atau tidak langsung. Di sini besar kemungkinan, ada tanah-tanah yang telah dirampas terus dilegalkan, tetapi juga ada tanah-tanah yang telah dirampas tetapi tidak dilegalkan oleh militer. Akibat dari sejarah pengambilalihan secara paksa atas tanah masyarakat oleh militer dimasa lalunya, maka wajar bila kini banyak masyarakat yang kembali menuntut tanah-tanah yang di kuasai militer di daerah Jawa Timur. Untuk menghadapi gelombang protes masyarakat tersebut seringkali militer menggunakan cara-cara kekerasan demi mempertahankan tanahtanah yang telah mereka kuasai. Pola dan model kekerasan yang dilakukan oleh militer di Jawa Timur dilakukan dengan beragam cara, mulai dari tindakan penculikan, penganiayaan, pembunuhan, penangkapan secara sewenang-wenang, intimidasi, bahkan sampai di stigmatisasi komunis atau di cap anti pancasila dan anti pembangunan. Beberapa sengketa pertanahan antara militer dan masyarakat di Jawa Timur juga meliputi tanah-tanah yang dikuasai oleh militer, baik itu digunakan untuk sarana dan prasarana militer

22

Sebagai contoh kasus adalah rencana pergantian fungsi lapangan Brawijaya Rampal Kota Malang dari yang tadinya digunakan sebagai sarana militer dan nantinya akan digunakan sebagai pusat perdagangan sebagaimana diungkapkan Pangdam V Brawijaya. Menurut Pangdam kompensasi yang akan diterima TNI AD adalah dibangunnya lapangan upacara yang lebih bagus dan prasarana lainnya. Lihat Ridho Saiful Ashadi dalam makalah Konik Militer dan masyarakat dalam penguasaan tanah di Indonesia, Surabaya, 2007 (makalah)

10

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

dalam menjalankan fungsi pertahanan-keamanan maupun tanah-tanah yang di gunakan militer untuk fungsi-fungsi non-militer. Beberapa objek tanah yang disengketakan semisal tanahtanah yang digunakan untuk proyek perumahan, fasilitas latihan tempur, gudang peralatan, perkebunanan dan bisnis-bisnis militer yang menggunakan badan hukum yayasan-yayasan militer atau koperasi (Puskopad TNI AD, Puskopau TNI AU, Puskopal TNI AL).23 Di Jawa Timur, institusi TNI yang terlibat konik pertanahan dengan masyarakat meliputi tiga angkatan; Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU). Dari data yang ada, angkatan yang paling banyak terlibat sengketa tanah dengan masyarakat adalah AL, disusul AD baru kemudian AU. Banyaknya kasus pertanahan yang melibatkan angkatan laut nampaknya terkait dengan besarnya konsentrasi pasukan angkatan laut di wilayah Jawa Timur guna mendukung keberadaan Armada Timur yang terletak di Surabaya dan merupakan armada terbesar bagi AL. Untuk lebih jelasnya lihat tabel data tentang sengketa tanah yang melibatkan Militer di Jawa Timur.24 Tabel 125 Sengketa Tanah yang Melibatkan Militer di Jawa Timur Sengketa tanah militer TNI-AD TNI-AL TNI-AU Jumlah Jumlah kasus 7 kasus 12 kasus 6 kasus 25 kasus Luas sengketa 3.294 ha 7.744,79 ha 4.355,5 ha Jumlah korban 24.800 53.300 15.500 Peruntukan/produksi Proyek perumahan (prokimal, prokimad), fasilitas latihan, gudang peralatan, perkebunan dan disewakan untuk bisnis militer 5 jenis peruntukan

15.374,29 ha 93.600

Selain itu, dari data yang ada, bila dibandingkan dengan keseluruhan jumlah sengketa tanah yang ada di Jawa Timur sebanyak 102 kasus, +59.779,7511 hektar dengan jumlah korban petani +72.735 jiwa, maka persentase sengketa tanah militer sebesar 25,72%.26 Presentase ini menjelaskan bahwa poblem militer dan militerisme di jawa timur merupakan problem yang serius yang harus dihadapi warga. Tak heran kemudian bila beberapa waktu lalu, sengketa tanah yang terjadi di Pasuruan menghasilkan suatu gambaran kekerasan yang berlebihan oleh aparat keamanan terhadap warga. Sengketa tanah antara militer dan masyarakat di beberapa daerah di Jawa Timur, khususnya di Jember dan Malang juga marak terjadi. Di Jember sedikitnya ada delapan kasus sengketa tanah yang melibatkan rakyat dengan TNI AD, Perhutani, PTPN dan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Kabupaten Jember. Tanah yang disengketakan itu di antaranya, tanah Mandigu, Curah Nongko, Curah Takir (Kecamatan Tempurejo), Jenggawah,

Ibid, hal 787 Ibid hal 786 25 Diadaptasi dari R. Herlambang Perdana Wiratraman, Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat: Studi Konik Penguasaan Tanah oleh Militer dan Kekerasan terhadap Petani di Jawa Timur, dalam Yayasan KEMALA, Tanah Masih di Langit: Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan KEMALA, 2005), hal. 786.
23 24

POLITIK MILITER DALAM PENGUASAAN SEKTOR AGRARIA (TANAH)

11

Ketajek Kecamatan Panti, Karang Baru, Kecamatan Sumberbaru dan Sukorejo, Kelurahan Sumbersari.27 Sedangkan untuk kasus lokal Malang, beberapa sengketa tanah antara militer dan masyarakat terjadi di 8 Desa yang tersebar di 6 Kecamatan. Yaitu di Kec. Sumbermanjing, Kec. Sumberpucung, Kec. Bantur, Kec. Pagak, Kec. Lawang dan Kec. Gedangan. Kasuskasus yang terjadi tidak pernah lepas dari tindak intimidasi yang dilakukan pihak militer.28 Untuk lebih jelasnya lihat tabel kasus konik tanah antara militer dan masyarakat di Malang di bawah ini. Beberapa Kasus Petani vs Militer di Malang
No 1 2 3 4 5 6 7 8 Kasus/Lokasi Desa Harjokuncaran,Kec. Malang. Sumermanjing,Kab. Luas (Ha) 666.05 97.5 700 800 76.3 4000 m2 Para Pihak Petani vs Kodam V Brawijaya Petani vs TNI AU Petani vs TNI AL Petani vs TNI AL Petani vs TNI AL Petani vs TNI AL Petani vs Kodam V Brawijaya Warga vs KKO/Marinir

Desa Senggreng, Kec. Sumbermanjing, Kab. Malang Desa Purboyo, Kec. Bantur, Kab. Malang Desa Karangsari, Kec. Pagak, Kab. Malang Desa Sempol, Kec. Pagak, Kab. Malang Desa Sumberkerto, Kec. Pagak, Kab. Malang Desa Wonorejo, Kec. Lawang, Kab. Malang Desa Gedangan, Kec. Gedangan, Kab. Malang

Sumber : LBH Pos Malang Tahun 2004

Ibid, hal 787. Ibid, makalah Ridho Saiful Ashadi 28 Ibid, makalah Ridho Saiful Ashadi
26 27

12

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Beberapa Keterangan Kasus Petani vs Militer di Malang


No Kasus/Lokasi Keterangan Bentuk Pelanggaran
- Kodam tidak Mempunyai HGU Desa Harjokuncaran Tanah Dikuasai oleh Kodam V Brawijaya, Sebagai ajang bisnis bagi para perwira tinggi, banyak tanah yang disewakan ke swasta - Penculikan 6 aktis Petani - Tanah Sengketa sebagai latihan Perang - Menurunkan intel-intel kemasyarakat untuk menghakangi aksi Reclaiming - Mengingkari janji ketika diajak ketemu menyelesaikan konik - Intimidasi terhadap aktis petani dan pendamping - Stigmatisasi PKI atau BTI - Pencabutan papan penggumuman oleh pasukan TNI AU - Masyarakat membuat format kemitraan dengan TNI AU yang kemudian diajukan pada bupati - Negosiasi kemitraan antara warga Senggreng dengan TNI AU perihal : Sengketa tanah antara warga dengan TNI AU sejak tahun 2000. Petani menyerah dengan menandatanganinya dan menerima pola kemitraan yang ditawarkan TNI AU dengan prosentase petani menggarap 25% dari lahan -Beberapa aktivis tani dituduh sebagai provokator -Tanah konik di jadikan latihan tempur sehingga banyak rakyat yang ketakutan Beberapa aktivis petani dan pendamping dituduh provokator Beberapa aktivis petani dan pendamping dituduh provokator Beberapa aktivis petani dan pendamping dituduh provokator -Petani akhirnya takut untuk menggarap Tanah yang sebelumnya adalah milik warga kemudian di kuasai oleh kodam V Brawijaya yang kemudian bekerja sama dengan investor PT Arjuna mulia lestari untuk didirikan peternakan ayam, dan juga berdiri diatas lahan peternakan patriot yang sampai saat ini tidak memiliki ijin -Petani harus bagi hasil dengan investor - Penggarapan dan pematokan sepihak yang dilakukan oleh warga petani dan warga Wonorejo yang bergabung dalam kelompok tani Rukun makmur - Pengajuan sertikasi tanah oleh kelompok tani Rukun makmur tgl 13 november 2001 yang ditandatangani pak Sadelan, ketua kelompok tani dan anggota 192 orang Intimidasi

Desa Senggreng

- Didalam Peta BPN Tidak disebutkan kalau tanah itu adalah tanahnya TNI AU, TNI AL menklaim kalau tanah itu adalah hasil rampasan dari Jepang, sedang masyarakat menganggap bahwa tanah itu adalah tanah dari nenek moyang mereka. TNI AU menawarkan kemitraan dengan prosentase 50% TNI AU, 25% Kas desa, 25% Penggarab, Warga menolak karena dianggap tidak adil. - Warga menawarkan 25% TNI AU, 25% kas desa, 50% warga dengan batasan waktu sampai 2003 dimana TNI AU harus mengembalikan lahan tersebut pada negara yang kemudian nantinya dapat dikelola rakyat sepenuhnya, dengan mengklaim bahwa tanah tersebut tanah negara yang digarap TNI AU

Desa Purboyo

4 5 6

Desa Karangsari Desa Sempol Desa Sumberkerto

Konik sejak tahun 1976, tuntutan tanah dikembalikan kepada rakyat yang dikuasai TNI AL, sebagai tempat pusat pelatihan tempur mariner Petani berjuang untuk mendapatkan hak atas kepemilikan tanah lagi yang dikuasai oleh TNI AL Petani berjuang untuk mendapatkan hak atas kepemilikan tanah lagi yang dikuasai oleh TNI AL Petani berjuang untuk mendapatkan hak atas kepemilikan tanah lagi yang dikuasai oleh TNI AL

Desa Wonorejo

Desa Gedangan

KKO mengklaim bahwa tanah itu dalam pengelolaan KKO / marinir. Warga punya bukti surat penagihan pajak terutang( SPPT)

Sumber : LBH Surabaya Pos Malang

POLITIK MILITER DALAM PENGUASAAN SEKTOR AGRARIA (TANAH)

13

2. Sumatera Barat: Perebutan Kuasa Tanah Hak Ulayat Masyarakat Adat29 Konik tanah di Sumatera Barat, umumnya adalah konik tanah ulayat, baik antara sesama komunitas masyarakat adat (konik internal-horizontal) maupun antara masyarakat adat dengan pihak ketiga (konik eksternal-vertikal), terutama dengan pemerintah, perusahaan badan hukum swasta dan militer. Konik tanah ini telah berlangsung lama, sejak pemerintahan penjajahan kolonial Belanda hingga pemerintahan SBY-JK. Setidaknya sebanyak 116 kasus konik tanah bersifat eksternal-vertikal dan bernuansa struktural telah terjadi Sumatera Barat, sejak tahun 2004-2008. Melibatkan banyak pihak salah satunya adalah militer, baik TNI-AD, TNI-AL maupun TNI-AU. Sekitar 35 kasus di antaranya terjadi pada sektor perkebunan, peternakan, pertambangan dan pariwisata dengan jumlah lahan sengketa diperkirakan mencapai 125.924 Ha + 14.748, 270 M2 dengan jumlah mencapai 27 nagari, 7 kaum, 44 KK, 25 orang.30 Beberapa Kasus Tanah Masyarakat dengan Militer di Sumatera Barat
No. 1. 2. Wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota Kabupaten Padang Pariaman Pihak yang Bersengketa Masyarakat Nagari Mungo Kabupaten Lima Puluh Kota dengan Denzipur II Padang Mangatas (TNI-AD Masyarakat Nagari Kapalo Hilalang Kabupaten Padang Pariaman dengan Korem 032 Wirabraja (TNI-AD) Warga RT 003/RW 001, RT 01 RW I Sungai Tarung Kelurahan Bungo Pasang dan warga RT. 01/RW 04, RT 01 RW 03 Kelurahan Dadok Tunggul Hitam Padang dengan Lanud Padang (TNI-AU) Tanah pusako tinggi Kaum Marah Alamsyah Datuak Magek Marajo Suku Tanjuang Balai Mansiang Bukit Peti-Peti Teluk Bayur Padang dengan Lantamal XI (TNI-AL) Luas Tanah Sengketa 175. 800 M2 800 Ha

3.

Kota Padang

59 Ha

4.

Kota Padang

5, 9 Ha

Sumber: DatabaseKasus Tanah Ulayat LBH Padang

Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya keterlibatan institusi militer dalam konik tanah maupun dalam SDA lainnya, tak terlepas dari kepentingan politik, arogansi kekuasaan dan ekonomi semata. Faktanya banyak tanah ulayat milik masyarakat secara sepihak diklaim dan dikuasai pada awalnya atas dasar tanah negara bekas erfpacht verponding atau atas dasar pengamanan, namun selanjutnya berubah menjadi ladang bisnis baru bagi institusi militer, seperti yang terjadi di Nagari Kapalo Hilalang Kabupaten Padang Pariaman. Penguasaan tanah milik masyarakat oleh negara termasuk institusi militer, seringkali mengabaikan faktor historis dan asal usul tanah tersebut sebagai tanah ulayat masyarakat. Justru hal ini menjadi pemicu utama terjadinya konik tanah masyarakat vs militer di wilayah
Tulisan pada bagian ini sebagian besar diambil dari tulisan Vino Oktavia, Advokat dan Koordinator Divisi Hak Asasi Manusia LBH Padang dari Makalah yang disampaikan dalam diskusi dalam rangka kampanye Riset Sengketa Tanah Masyarakat vs Militer, kerjasama Imparsial-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, 5 Agustus 2008, Hotel Pangeran Beach, Padang, Sumatera Barat. 30 Database kasus tanah ulayat LBH Padang tahun 2008.
29

14

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Sumatera Barat. Tanah ulayat Nagari Mungo dan Kapalo Hilalang misalnya, secara historis hak kepemilikannya jelas merupakan tanah ulayat nagari yang semasa pemerintahan kolonial Belanda disewakan atau dikontrakkan kepada Pemerintah Hindia Belanda atau swasta asing dengan surat perjanjian tertulis.5 Kondisi serupa juga terdapat pada tanah ulayat Nagari Kapalo Hilalang Kabupaten Padang Pariaman6 dan tanah warga Dadok Tunggul Hitam Padang. Warga Dadok Tunggul Hitam Padang telah memiliki bukti kuat secara yuridis atas tanahnya, yakni putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak).7 Namun faktanya tanah mereka tetap dirampas paksa dengan cara-cara represif mengunakan kekuatan militer pada 12-15 Juni 2004 dengan memindahkan pilar-pilar batas tanah, yang selanjutnya diklaim sebagai tanah erfpacht verponding No. 1648 dengan adanya sertikat HPL tahun 1971 dan 1972 yang diperbarui dengan sertikat HPL tahun 2007 oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Padang. Ironisnya tanah ulayat milik masyarakat, tidak saja dirampas paksa dan diklaim secara sepihak, bahkan juga dijadikan ladang bisnis militer, seperti terjadi di atas tanah ulayat Nagari Kapalo Hilalang. Di atas tanah ini didirikan PT. Purna Karya untuk mengelola perkebunan karet, sebagian dipindahtangankan hak kepemilikannya kepada pihak lain, di antaranya PT. ELBI, PT. SLING8 dan warga pendatang untuk membangun rumah tanpa sepengetahuan Ninik Mamak nagari Kapalo Hilalang.9 Dalam berbagai konik tanah masyarakat vs militer di Sumater Barat, tentu saja mengalami banyak problematika: korbannya selalu berada di pihak masyarakat sipil. Di samping itu, militer juga seringkali melakukan tindakan mengunakan kekuatan militer dengan cara-cara represif, seperti intimidasi, teror dan ancaman terhadap masyarakat dalam menguasai tanah-tanah milik masyarakat. Hal demikian pernah dialami warga Dadok Tunggul Hitam Padang. Di samping itu, tindakan militer juga seringkali mendapat dukungan dan legitimasi politik dan yuridis dari pemerintah terutama pemerintah daerah dan BPN. Fakta ini banyak ditemukan pada konik tanah Kapalo Hilalang dan Dadok Tunggul Hitam Padang. Pemerintah daerah mudah sekali mengeluarkan izin dan hak atas tanah, berupa izin usaha perusahaan dan hak guna usaha (HGU), termasuk BPN untuk melakukan pemetaan, pengukuran dan menerbitkan alas hak atas tanah, berupa peta tanah, sertikat hak pengelolaan (HPL), hak pakai dan hak milik di atas tanah masyarakat, sehingga proses-proses manipulatif dan pemalsuan seringkali terjadi.

Nagari Mungo dan nagari tetangga lainnya (Nagari Sei. Kamuyang, Balai Panjang, Bukit Sikumpar, Andaleh dan Batu Panjang) pada 6 November 1918 membuat perjanjian tertulis sewa menyewa tanah ulayat seluas seluas 1500 Bouw dengan Pemerintahan Hindia Belanda untuk pemeliharaan ternak dengan uang sewa sebesar f 700 (tujuh ratus Gulden) per tahun. 6 Tanah ulayat Nagari Kapalo Hilalang pada 1904 disewa selama 75 tahun oleh NV. Java Rubber Mijs dan pada 1923 oleh G.O.E Kreebs Hanover dengan uang sewa f1 (satu Gulden) per bouw (0,7 Ha). 7 Putusan Landraad Te Padang No. 90 tahun 1931 dan telah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Padang dengan Daftar Eksekusi No. 35 tahun 1982. Bahkan telah dikuatkan dengan Putusan Verstek PN. Padang tahun 1985. 8 PT. ELBI dan SLING merupakan dua perusahaan produksi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang berada di Nagari Kapalo Hilalang Kabupaten Padang Pariaman. 9 Zenwen Pador, Perjuangan Panjang Merebut Tanah Ulayat (kasus perampasan tanah ulayat nagari Kapalo Hilalang oleh Korem 032 Wirabraja).
5

POLITIK MILITER DALAM PENGUASAAN SEKTOR AGRARIA (TANAH)

15

Kondisi ironis ini, kadangkala kerap menyatu dengan sistem administrasi pemerintahan dan BPN yang masih buruk dan tidak transparan dalam masalah pertanahan. Bahkan kekuatan pimpinan daerah melalui (Musyawarah Pimpinan Daerah) Muspida atau Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) pun sering digunakan untuk melegalisasi tindakannya (saling memanfaatkan) dalam menguasai tanah-tanah milik masyarakat. Oleh karenanya sudah saatnya Keppres No. 10 Tahun 1986 tentang Kedudukan Muspida di daerah dicabut karena sudah tidak sesuai lagi dengan proses demokrasi dan otonomi daerah. Daripada ia tidak lebih dari sekedar menjadi alat legitimasi politik, kekuasaan dan alasan pembenar dari tindakannya. Selain problematika di atas, dalam sengketa tanah masyarakat vs milter juga terdapat problematika politik hukum dan substansi hukum dalam berbagai peraturan perundanganundangan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia. Terutama berkaitan dengan pengaturan penguasaan tanah-tanah negara dalam PP No. 8 Tahun 1953, nasionalisasi dalam UU No. 86 Tahun 1958, konversi hak-hak Perdata Barat, jenis hak atas tanah terutama HGU dalam UU No. 5 Tahun 1960 serta pengaturan pendaftaran tanah dalam UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 24 Tahun 1997, termasuk peraturan perundang-undangan agraria lainnya seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan di atas menisbikan keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya. Sekalipun diakui, masih bersifat mendua dan bersyarat. Akibatnya, penerapan peraturan agraria nasional di Sumatera Barat selama ini, telah menimbulkan benturan hebat (konik hukum) dengan ketentuan hukum adat yang berlaku atas tanah ulayat, bahkan menjadi sumber konik terbesar dalam terma konik tanah. Di Sumatera Barat, umumnya tanah ulayat yang berlaku adalah ketentuan hukum adat, hak kepemilikan atas tanah bersifat komunal, tidak mengenal adanya tanah negara serta tidak diperbolehkan berpindahtangan status kepemilikannya kepada pihak ketiga. Tak terhitung lagi luasnya jumlah tanah ulayat yang diklaim menjadi tanah negara dengan alas hak HGU, berpindahtangan kepada pihak ketiga dan berubah status menjadi tanah milik pribadi dengan alas hak sertikat hak milik. Anehnya, pemerintah daerah Sumatera Barat pun memiliki andil besar dan terlibat langsung dalam upaya menghabisi keberadaan tanah ulayat dan masyarakat adat di kampung halamannya sendiri. Terbukti dengan lahirnya Perda No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok Pemerintahan Nagari dan disahkannya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya menjadi Perda No. 16 Tahun 2008. Di mana secara substansi bukannya memperkuat keberadaan masyarakat adat dan melindungi hak ulayat milik masyarakat adat, melainkan sebaliknya semakin menegasikan keberadaan masyarakat adat, mengancam keberadaan hak ulayat dan kembali menyuburkan akar konik pertanahan di Sumatera Barat. Substansi pengaturannya lebih bersifat sentralistik, sektoral, diskriminatif, berwatak kapitalistik dan hanya menguntungkan pemilik modal, membunuh nilai-nilai demokrasi serta pengaturannya banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

16

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

3. Papua: Problematika Hak Tanah Ulayat30 Hampir sama dengan Sumatera Barat, konik yang terjadi di Papua juga memyangkut hak ulayat masyarakat adat. Salah satu penyebabnya adalah klaim yang dilakukan pemerintah terhadap tanah ulayat masyarakat adat dengan alasan hak menguasai negara sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. DPR Papua telah pula membentuk komisi khusus untuk menangani masalah-masalah tanah ulayat masyarakat adat Papua. Menurut Frans Apores dari Universitas Cendrawasih yang telah tiga tahun melakukan pengamatan terhadap kepemilikinan tanah di Papua bahwa berbagai usaha untuk menguasai tanah ulayat masyarakat ada Papua. Seperti di Waropen dimana tanah sudah di kapling termasuk pohin-pohon didalamnya juga telah diberikan keterangan soal hak kepemilikan yang asal tanah itu didapatkan dari menukar satu bungkus rokok. Padahal ini berbeda ketika papua masih dikuasai Belanda. Ketika itu menurut Frans, Belanda mendatangai para tetua adat untuk meminta izin penggunaan tanah ulayat mereka sehingga terjadi kepercayaan diantara kedua belah pihak. Sebenarnya ini juga telah terjadi di Arfak dimana tanah ulayat dipergunakan untuk pendirian kampus. Namun pendirian kampus tersebut diringi dengan persyaratan bahwa anak-naka masyarakat adat setempat diperbolehkan mengikuti perkuliahan di kampus tersebut hingga menjadi sarjana. Berbeda dengan daerah lainnya seperti di Kayu Batu dan Kayu Pulau yang karena tidak ada kepercayaan, mayarakat adat setempat melakukan pemalangan terhadap tanah ulayat mereka dengan alasan belum ada pembayaran dari pihak yang hendak menggunakannya. Masyarakat adat di Papua mengadapi problematika berkait dengan kampanye sertikasi tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional. Pelaksanaan sertikasi tersebut menurut Kepala Seksi Penyelesaian Perkara Pertanahan, Yohanis Tubawalaweny, S.H. merupakan bagian dari reforma agraria yang bertujuan membangkitakan ekonomi masyarakat adat dengan tanah ulayatnya. Pelaksanaan sertikasi tanah- tanah ulayat dilakukan di Jayapura namun dilakukan hanya pada tanah-tanah yang telah ditanami. Menurutnya, dengan melakukan sertikasi dapat dipergunakan bagi masyarakat adat jika akan mengakses bank guna mendapatkan kredit. Program ini juga berkait dengan diterbitkannya Keppres No. 34 Tahun 2004 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres ini memberikan kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk mengeluarkan kebijakan pertanahan di daerahnya sebagaimana diatur dalam Pasal 2(1) Keppres yaitu: a. b. c. d. e. pemberian ijin lokasi; penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; penyelesaian sengketa tanah garapan: penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee

30

Disarikan dari Notulensi Diskusi Publik Kampanye Riset konik Tanah Rakyat vs Militer, Kerjasama Foker LSM Papua Imparsial, 19 Agustus 2008, Jayapura, Papua.

POLITIK MILITER DALAM PENGUASAAN SEKTOR AGRARIA (TANAH)

17

penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; pemberian izin membuka tanah; perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota; Pengaturan kewenangan pemerintah kabupate/kota tersebut pada dasarnya harus diatur terlebih dahulu dengan peraturan tingkat provinsi. Frater Jhon Jonga mengungkapkan penggunaan dan pembagian tanah di Arso pada masa Soeharto ketika kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan Departemen Transmigrasi. Permasalahan kemudian muncul ketika tanah mereka berada dalam wilayah hutan dimana mereka menggarap hutan yang berujung pada penahanan oleh aparat kepolisian. Kepala Seksi Penyelesaian Perkara Pertanahan, Yohanis Tubawalaweny, S.H. menyatakan seharunsnya kewenangan tersebut tidak dimiliki kepolisian akan tetapi kepolisian kehutanan. Direktur Eksternal Imparsial, Poengky Indarti menekankan perlunya dasar sejarah dalam penanganan masalah tanah ulayat masyarakat adat. Bagaimanapun tanah tersebut telah dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat adat dan karenanya hal itu bisa menjadi dasar hak kepemilikan hak atas tanah masyarakat adat. Dengan demikian jika terjadi sengketa tanah masyarakat adat dengan pihak apaun terutama militer maka menurutnya kepentingan dan hak masyarakat adat lebih didahulukan untuk mendapat perlindungan. Sehingga jikalau muncul kebijakan relokasi, tentunya itu dilakukan terhadap falistas militernya dan bukan masyarakat adatnya disebabkan terdapat hubungan sosiologis dan budaya yang tidak terpisahkan antara tanah dengan masyarakat yang mendiaminya. Menurut Poengky, sertikat adalah hak namun patut menjadi catatan jika program sertikasi tersebut tidak dilakukan demi kepentingan modal akan tetapi merupakan bagian dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat adat oleh negara. Dengan demikian, sertikat yang diberikan negara merupakan jaminan hak terhadap hak ulayat masyarakat adat sehingga tidak akan terjadi sengketa dikemudian hari. Selain itu Poengky mengungkapkan fenomena yang menarik perihal kepemilikan tanah di Papua dimana selain masyarakat adat, dikenal ada 4 marga baru pemilik tanah yaitu TNI AD, TNI AL, TNI AU dan POLRI. Ini karena tanah-tanah tersebut dipatok dan diberi tulisan, misalnya TANAH INI MILIK TNI AD. Selain itu, kasus-kasus yang sering terjadi di Papua adalah pengambilalihan tanah rakyat secara sepihak dan tanah tersebut ternyata disewakan pada pihak ketiga untuk pembuatan ruko. Di daerah-daerah pemekaran juga terjadi pengambilalihan tanah masyarakat adat oleh aparat dengan alasan untuk pembangunan markas baru. Tanah tersebut tidak diganti dengan layak. Termasuk ada yang hanya diberi ganti rugi Rp 50,-/m2. Yang sudah marak dilakukan, terkait dengan isu pengamanan NKRI, tentara masuk ke kampung-kampung dan memaksa warga untuk menyerahkan tanah untuk pembangunan pos-pos TNI di kampung-kampung. Ketika warga menolak, seperti kasus Pater John Djonga dari Keerom, aparat akan menuduh masyarakat sebagai OPM. Poengky juga memaparkan kasus seperti di Merauke dimana Bupati memfasilitasi pengambil-alihan tanah-tanah adat tersebut kepada aparat, dengan cara membeli tanah adat di bawah harga standar dengan dana APBD, dan menyerahkan tanah tersebut pada aparat. Label separatis ini merupakan cara ampuh bagi tentara untuk menyita tanah rakyat. Hal ini juga dilakukan dengan menggunakan label komunis bagi rakyat di Pulau Jawa.

f. g. h. i.

18

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

BAB III SEJARAH PUSLATPUR TNI AL DAN KONDISI WILAYAH KONFLIK DI PASURUAN

anah bagi petani merupakan harta yang tak ternilai harganya. Mereka berhasil menjalankan roda kehidupan dengan berbasiskan usaha yang tergantung dengan tanah. Mulai dari bercocok tanam hingga memelihara ternak yang membutuhkan pangan dari tanaman. Konik tanah yang terjadi di Kecamatan Lekok, Nguling dan Grati, merupakan salah satu dari banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia. Kasus penembakan di desa Alas Tlogo dari kecamatan tersebut juga merupakan salah satu peristiwa kekerasan terbesar terhadap petani saat ini. Desa-desa di Kecamatan tersebut sudah berdiri sejak lama, bahkan ditemukan juga rumah yang berdiri sejak tahun 1914, jauh sebelum TNI AL menguasai tanah tersebut. Surat bukti kepemilikan tanah yang dimiliki oleh masyarakat berupa Buku Leter C dan Petok D masih tetap dimiliki oleh warga setempat. Bukti kepemilikan ini dikeluarkan sejak sebelum tahun 1935 oleh Mantri Cellasir atau pegawai pertanahan yang dikenal dengan nama Gogol atau Papil.31 Tanah di wilayah ini pernah berada di bawah penguasaan tentara Jepang pada masa penjajahan. Warga-warga desa di sekitar lokasi banyak yang ikut terlibat dalam romusha
31

Dokumen riwayat Desa Sumberanyar Kecamatan Nguling Kbupaten Pasuruan Jawa Timur. Dokumen ini disusun oleh Forum Komunikasi Tani Sumberanyar (FKTS).

SEJARAH PUSLATPUR TNI AL DAN KONDISI WILAYAH KONFLIK DI PASURUAN

19

(kerja paksa) untuk membuat jalan dan gua-gua tempat perlindungan tentara Jepang. Kerja paksa ini berakhir pada tahun 1944.32 Konik tanah ini dimulai sejak tahun 1960 saat TNI AL (KKO saat itu) mengambil secara paksa tanah warga untuk dijadikan lokasi latihan tempur. Tanah seluas 3.569.205 Ha yang di-claim sebagai milik TNI AL tersebut didiami penduduk yang terbagi dalam 11 desa. Sejak itulah proses pembelian berlangsung secara paksa dan banyak dilakukan penipuan seperti pemalsuan tanda tangan atau cap jempol.33 Semenjak itulah warga mengalami kewajiban menanam wijen dan jarak di sebagian lahannya dan diberlakukan wajib membayar sewa lahan kepada KKO (Kodamar Grati) dengan harga yang bervariasi sesuai luas tanahnya. Bahkan bila petani tidak dapat menyerahkan hasil tanaman wijen dan jarak sesuai dengan keinginan pihak KKO, maka ia akan mendapat sanksi berupa penahanan dan dipekerjakan secara paksa.34 Tahun 1961 terbit Laporan Tahunan TNI AL tentang LAPORAN URUSAN DAERAH TAHUN 1962 sebagai petunjuk bahwa lokasi tersebut tidak memenuhi syarat untuk dijadikan lokasi latihan tempur. KKO juga mengundurkan diri dan membatalkan proses pembebasan tanah selanjutnya terhadap masyarakat desa setempat.35 Sehingga memberikan kesempatan bagi warga untuk melanjutkan kegiatan bercocok tanam, walaupun ada juga kegiatan tanam paksa yang dilakukan oleh KKO terhadap warga dalam mengambil keuntungan hasil bumi. Sejak tahun 1970 warga sudah mulai tidak dapat menanami tanahnya sendiri dan sering mengalami tindak kekerasan dari aparat TNI AL. Bahkan banyak warga yang mengalami pemindahan paksa karena lokasi tempat tinggalnya akan dijadikan lokasi perkebunan. Pihak TNI AL bekerja sama dengan sekelompok pengusaha menggarap tanah tersebut untuk perkebunan kapas dan ketela pohon. Kemudian pada 1984, Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca) mulai memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan penduduk setempat sebagai pekerja.36 PT Kebun Grati Agung (KGA) sebagai anak perusahaan Yasbhum mengelola tanah tersebut menjadi perkebunan tebu. Kemudian pada tahun 1994 PT KGA di kelola oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).. Sejak beroperasinya PT KGA tersebut, banyak warga di beberapa desa yang mengalami pengusiran dan pemindahan secara paksa dari tempat tinggalnya. Masyarakat yang awalnya bertempat tinggal secara terpisah, dikumpulkan di satu wilayah tempat tinggal. Bahkan ada sebagian yang mengungsi keluar desa atau keluar kota. Perusahaan tersebut juga menggusur tanaman warga berupa pohon mangga, ketela pohon, pohon asam dan sebagainya Tanggal 8 Juli 1992, terbit Surat Keputusan Kepala Kantor Badan Pertanahan Negara Propinsi Jawa Timur yang merencanakan Program Pemukiman Angkatan Laut (Prokimal) di wilayah sengketa tersebut. Namun program tersebut belum berjalan sesuai rencana hingga saat ini.

. Wawancara dengan warga Desa Pasinan, tanggal 23 Juni 2007 34 Laporan Kronologis Permasalahan Tanah Desa Alas Tlogo, Drs. Imam Supnadi, SWH. 35 Memori banding Perkara No. 21/PDT.G/2006, antara warga desa Alastlogo melawan Danlantamal III Surabaya, Pengadilan Negeri Bangil Kabupaten Pasuruan. 36 Surya, Kasus Sengketa Tanah di Pasuruan Dari Alas Telogo Hingga Raci, 31Mei 2007
32 Ibid 33

20

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Pada tahun 1992 ini juga dimulai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Grati di desa Wates, kecamatan Lekok, tepat berada di wilayah tanah sengketa tersebut. Pembangunan PLTGU ini selesai tahun 1996 menempati lahan seluas 70 hektar terdiri dari 35 hektar lahan pantai dan 35 hektar lahan reklamasi.

PLTGU di Desa Wates Kecamatan Lekok, Pasuruan. PLTGU yang menyediakan listrik untuk pulau Jawa dan Bali ini berada di dalam lingkungan Puslatpur TNI AL (foto doc. Walhi Jatim)

Setelah memasuki alam reformasi tahun 1998, warga di beberapa desa mulai melakukan pengambilalihan hak atas tanah di tempat tinggal mereka masing-masing. Bukti kepemilikan berupa Letter C dan Petok D yang dimiliki warga menunjukkan bahwa mereka sebagai pemilik sah tanah di lokasi TNI AL ini. Maraknya kegiatan reclaiming37 yang dilakukan oleh warga desa di wilayah tersebut, maka pada tanggal 16 Mei 2001, TNI AL memutuskan menjadikan wilayah Grati sebagai Pusat Latihan Tempur Marinir.38 Dibangunnya markas beratap biru muda tersebut menimbulkan masalah baru bagi masyarakat desa sekitarnya. Intensitas kekerasan juga semakin meningkat semenjak makin seringnya penggunahan lahan sebagai tempat latihan tempur dan hukuman bagi para warga yang melintasi lokasi tersebut. Mulai dari Pekebunan, Prokimal, hingga Puslatpur, merupakan institusi atau lembaga metamorfosis TNI AL yang digunakan sebagai alat untuk klaim hak-hak tanah atau aset militer.39 Penguasaan tanah tersebut dipertahankan dengan munculnya kebijakan-kebijakan secara legal oleh pemerintah setempat, seperti berupa sertikat hak pakai, bahkan dengan
Reclaiming adalah sebuah tindakan perlawanan, yang dilakukan oleh rakyat tertindas untuk memperoleh kembali hakhaknya seperti tanah, air dan sumber daya alam lainnya, serta alat-alat produksi lainnya secara adil, demi terciptanya kemakmuran rakyat semesta. Gerakan ini menjadi massive paska 1998 ketika mulai banyak para petani memberanikan diri untuk mengambil hak kepemilikan atas tanahnya. Gerakan tersebut merupakan gerakan moral dan anti kekerasan, sehingga dianggap menjadi sebuah gerakan sah, bahkan luhur dan mulia, di mata para petani tertindas. Gerakan reclaiming dilakukan dengan beberapa cara : 1. Melakukan negosiasi dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. 2. Menduduki objek reklaiming. 3. Memberi tanda batas pada objek tanah yang bersengketa. 4. Memelihara objek tanah yang bersengketa. 5. Penyebarluasan (diseminasi) informasi aksi dan negosiasi yang berhubungan dengan objek tanah yang bersengketa, yang sering disebut juga Serangan Langit. (Boedhi Widardjo dan Herlambang Perdana, Reklaiming dan kedaulatan Rakyat, YLBHI dan Raca Institute 2001, hal. 80 129). 38 Wawasan, Tanah di atas segala-galanya, 5 Juni 2007. 39 R. Herlambang Perdana Wiratman, Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat : Studi Konik Penguasaan Tanah Oleh Militer & Kekerasan terhadap Petani di Jawa Timur.
37

SEJARAH PUSLATPUR TNI AL DAN KONDISI WILAYAH KONFLIK DI PASURUAN

21

menggunakan cara-cara kekerasan terhadap masyarakat yang menempati wilayah tersebut. Untuk memahami lebih jauh konik di wilayah Puslatpur TNI AL Pasuruan adalah penting kiranya untuk memahami kondisi wilayah setempat dan keberadaan puslatpur. A. Kondisi Wilayah Sebagai gambaran awal, kendati TNI AL masuk ke Kecamatan Lekok dan Nguling, Kabupaten Pasuruan, sudah sejak 1960-an, namun markas Puslatpur TNI AL itu sendiri justru baru dibentuk belum lama ini yakni tepat pada 2003.40 Lokasi markas Puslatpur TNI AL tersebut tepat berada di tengah area pertanahan seluas 3.569.205 hektar yang diklaim sepenuhnya milik TNI AL. Sebenarnya, tanah yang digunakan oleh TNI AL untuk Puslatpur tersebut sampai saat ini masih dalam status konik dengan warga. Warga menuntut dikembalikannya tanah mereka yang telah dirampas oleh TNI AL. Lebih lanjut, setiap harinya markas Puslatpur TNI AL tersebut dijaga oleh prajurit TNI AL di pos-pos penjagaan yang sudah dibangun di sejumlah ruas jalan yang menghubungkan ke arah markas. Upaya penjagaan tersebut misalnya terlihat di dua pos penjagaan utama, yakni pos penjagaan di ujung jalan pertama menuju markas, dan pos penjagaan satu tepat berada di depan markas. Di luar dua pos penjagaan utama tersebut, sebenarnya masih ada pos-pos penjagaan kecil lainnya yang sebelumnya dibangun oleh PLTGU yang di atasnya bertuliskan Indonesia Power, kendati pos penjagaan tersebut tidak dijaga setiap hari. Sebelum markas Puslatpur TNI AL dibentuk, jalan-jalan di atas area pertanahan itu sebetulnya merupakan jalan umum. Jalan menuju PLTGU dan menghubungkan antara satu desa dengan desa lainnya tersebut dibangun oleh PLTGU. Warga juga biasa menggunakan jalan tersebut. Namun demikian, setelah markas Puslatpur TNI AL dan pos-pos penjagaan dibangun, jalan-jalan tersebut seakan menjadi kawasan tertutup karena dijaga secara ketat oleh prajurit TNI AL. Terlebih lagi, TNI AL menerapkan aturan tersendiri bagi setiap orang yang melalui atau melewati sekitar pos-pos penjagaan.41 Secara lebih jauh, di atas area pertanahan tersebut sebenarnya tidak hanya berdiri markas Puslatpur TNI AL dan pos-pos yang menjaganya, namun juga banyak perumahan warga sipil, serta berbagai fasilitas umum yang tersebar di berbagai sisi yang biasa digunakan oleh warga. Sebab, klaim kepemilikan tanah seluas 3.569.205 oleh TNI AL sebagai area Puslatpur tersebut juga menyangkut tanah-tanah yang kini ditempati oleh berbagai desa yang ada di atasnya. Mengenai persebaran perumahan dan fasilitas umum ini dapat dilihat pada paparan tulisan di bawah ini. B. Pemukiman Desa Di atas tanah seluas 3.569, 205 hektar yang sekarang ini diklaim sebagai milik TNI AL dan diproyeksikan sebagai Pusat Lahitan Tempur (Puslatpur) TNI AL, terdapat sekitar 11 desa yang tersebar di beberapa titik. Dengan kata lain, area pertanahan tersebut bukan lahan

40 41

Hasil wawancara dengan warga Desa Sumberanyar, tanggal 22 Juni 2007 Hasil wawancara dengan warga Desa Alastlogo, tanggal 23 Juni 2007

22

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

kosong. Kesebelas desa tersebut antara lain: Alastlogo, Wates, Semedusari, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Branang, Gejugjati, dan Tampung di Kec. Lekok, serta Sumberanyar di Kec. Nguling dan Sumberagung di Kec. Grati. Di dalam desa-desa tersebut tinggal sebanyak 5000 keluarga, atau kurang lebih sekitar 36.000 jiwa.42 Tabel 1 Persebaran Penduduk/KK di Desa-desa
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Nama Desa Desa Alastlogo Desa Wates Desa Semedusari Desa Jatirejo Desa Pasinan Desa Balunganyar Desa Branang Desa Gedugjati Desa Tampung Desa Sumberanyar Desa Sumberagung Kecamatan Kecamatan Lekok Kecamatan Lekok Kecamatan Lekok Kecamatan Lekok Kecamatan Lekok Kecamatan Lekok Kecamatan Lekok Kecamatan Lekok Kecamatan Lekok Kecamatan Nguling Kecamatan Grati Jumlah KK/Jiwa 1.585 KK 1.810 KK 2.449 Jiwa 2.646 KK 1000 KK 1.448 KK 11 KK 34 KK 774 KK 1.253 KK -

Dikumpulkan dari berbagai sumber

Desa-desa tersebut sesungguhnya sudah ada sejak lama, bahkan jauh sebelum TNI AL masuk ke wilayah tersebut. Titik awal mulai adanya desa itu dan legalitasnya setidaknya dapat ditelusuri sejak tahun 1902. Di mana pada saat itu di Desa Sumberanyar Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan (yang saat ini berbatasan desa Alas Tlogo), terbentuk struktur pemerintahan tingkat desa. Dalam perkembangannya, pembentukan tersebut kemudian juga diikuti oleh desa-desa lainnya yang ada di wilayah itu. Tentu saja, struktur pemerintahan tingkat desa tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu dapat dilihat pada pengeluaran bukti kepemilikan rumah, tanah, ladang dan sawah milik warga di Kecamatan Nguling dan Lekok. Di mana bukti-bukti tersebut dikeluarkan oleh mantri Cellasir, sebutan pegawai pertanahan yang populer disebut gogol/pipil pada waktu itu. Adapun gaji para perangkat desa/pamong desa di Kecamatan Nguling, Lekok, dan Grati pada waktu itu dibayar oleh penduduk dengan cara masing-masing keluarga diharuskan memberi dua bendel jagung, dengan setiap bendel terdiri dari 40 butir jagung. Sedangkan pembayaran dengan padi sebanyak satu bendel, dengan satu bendelnya terdiri dari 14 untingan padi (10-11 batang padi).43

42 43

Sinar Harapan, Warga Miskin itu Merasa Ditipu, 31 Mei 2007. Lihat catatan tentang riwayat Desa Sumberanyar, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan, yang dikeluarkan oleh Forum Kerukunan Tani Sumberanyar (FKTS)

SEJARAH PUSLATPUR TNI AL DAN KONDISI WILAYAH KONFLIK DI PASURUAN

23

Lebih lanjut, berbagai bukti-bukti lainnya juga bertebaran yang dapat menjadi dasar bahwa warga sudah tinggal dan menetap sejak lama di wilayah tersebut. Misalnya adalah melihat bukti penanggalan bangunan rumah milik beberapa warga di Alastlogo, atau juga di Sumberanyar.44 Penanggalan di beberapa rumah warga misalnya, ada yang menunjukkan kalau pembangunan rumahnya itu tahun 1911, 1913 dan 1914. Penanggalan tersebut terlihat di tembok dinding atas bagian depan rumah warga beberapa warga.

Tahun pembangunan rumah yang biasanya dicetak pada bagian atas rumah pada saat rumah tersebut dibangun. (doc. Imparsial)

Bagi orang tua dulu, upaya penanggalan bangunan rumah ini merupakan suatu hal yang lazim dilakukan untuk mengingatkan kapan rumah mereka pertama kali dibangun. Lebih lanjut, di luar itu tentu masih banyak lagi bukti-bukti lainnya yang membuktikan bahwa warga sudah tinggal dan menetap di wilayah itu. Misalnya adalah keberadaan pemakaman tua di desa-desa, atau beberapa sumur tua. Namun demikian, kehidupan warga di desa-desa itu mulai terusik ketika TNI AL masuk awal tahun 1960-an. Dengan alasan membangun pusat latihan tempur, TNI AL berupaya menguasai tanah-tanah milik warga. Situasinya menjadi semakin parah ketika markas Puslatpur TNI AL didirikan TNI pada 2003, serta semakin meningkatnya latihan perang yang dilakukan oleh TNI AL. Sudah kehilangan tanah yang tempati dan menjadi sumber kehidupan mereka selama ini karena diklaim milik TNI AL, warga juga kerap menerima berbagai gangguan, ancaman, serta teror dari prajurit TNI AL. C. Fasilitas-Fasilitas Umum Fakta bahwa di atas area pertanahan yang diklaim milik TNI AL dan kini sudah berdiri Puslatpur TNI AL juga terdapat banyak fasilitas umum di desa-desa yang setiap harinya
44

Hasil wawancara dengan warga Desa Alastlogo, tanggal 23 Juni 2007.

24

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

selalu digunakan oleh warga. Keberadaan fasilitas-fasilitas umum tersebut sudah barang tentu sangat penting bagi warga desa, karena menjadi sarana bagi terpenuhinya semua kebutuhan dan kepentingan mereka. Fasilitas-fasilitas umum yang ada sangat beragam. Mulai dari fasilitas umum untuk pendidikan, kesehatan, ibadah, serta kantor pemerintahan desa. Berdasarkan data yang ada, hampir semua desa yang kini bersengketa dengan TNI AL memiliki semua kategori fasilitas umum tersebut. Untuk fasilitas pendidikan misalnya, hampir semua desa memiliki lembaga pendidikan atau sekolahan. Misalnya adalah lembaga pendidikan tingkat dasar sampai menengah seperti Taman Kanak-Kanak (TK), Madrasah Ibtidaiyyah dan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), sampai lembaga pendidikan Pondok Pesantren. Kendati memang tidak semua desa itu memiliki hampir semua tingkat pendidikan tersebut. Dari semua desa, yang memiliki pendidikan untuk tingkat TK misalnya, adalah hanya desa Alastlogo. Sementara Pondok Pesantren adalah Pasinan. Sebab, adanya aturan yang melarang warga untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang diklaim milik TNI AL tersebut, tentunya turut menyulitkan warga untuk dapat membangun lembaga pendidikan di daerahnya. Adanya kesulitan ini misalnya diakui oleh Bapak H. Shodiq, Kepala Desa Pasinan, yang mengatakan bahwa ketika itu pernah mengajukan permohonan izin ke Lantamal untuk membangun SMP. Surat yang diajukan itu memang diterima, namun tidak ada balasan sama sekali. Dengan kata lain, permohonan pendirian lembaga pendidikan tersebut ditolak oleh AL.45 Lebih jauh, di tengah itu maka keberadaan lembaga pendidikan yang sudah ada di desadesa sekarang ini menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. Karena itu, hampir semua warga desa, atau anak-anak di semua desa memanfaatkan fasilitas pendidikan yang di desa-desa mereka. Tabel 2 Sebaran Sarana Pendidikan di Areal yang diklaim sebagai Puslatpur TNI AL
Desa Alas Tlogo Pasinan Semedu Sari Sumber Anyar Kecamatan Lekok Lekok Lekok Nguling TK 2 SD 3 3 2 4 MI 3 6 2 SMP 1 MTs SMA 1 Aliyah Pesantren 4 -

Dikumpulkan dari berbagai sumber

Sementara itu, hampir di semua desa juga terdapat fasilitas untuk pelayanan kesehatan, yakni Poliklinik Desa (Polindes). Keberadaan Polindes itu bagi warga tentu itu sangat penting, karena menjadi sarana layanan kesehatan yang dapat dengan mudah untuk diakses setiap hari. Lebih daripada itu, lokasi Polindes-polindes juga sangat dekat dengan semua warga karena bertempat di dalam desa itu sendiri. Selain itu, semua desa pasti memiliki fasilitas umum untuk sarana peribadatan. Misalnya adalah keberadaan masjid dan musholla. Sarana-

45

Hasil wawancara warga Desa Pasinan, tanggal 10 Agustus 2007.

SEJARAH PUSLATPUR TNI AL DAN KONDISI WILAYAH KONFLIK DI PASURUAN

25

sarana ibadah tersebut tentu saja setiap harinya digunakan oleh warga untuk menjalankan ibadah. Di luar itu, sebenarnya juga masih banyak fasilitas-fasilitas umum lainnya yang tersebar di hampir semua desa. Misalnya adalah sarana layanan untuk air bersih, atau satu tempat untuk penampungan susu yang bisa memuat 4000 liter susu setiap harinya. Tabel 3 Sebaran Fasilitas Kesehatan dan Ibadah di Areal yang diklaim sebagai Puslatpur TNI AL
Desa Alas Tlogo Balung Anyar Gejug Jati Branang Tampung Pasinan Semedu Sari Wates Jatirejo Sumber Anyar Sumber Agung Kecamatan Lekok Lekok Lekok Lekok Lekok Lekok Lekok Lekok Lekok Nguling Grati Mushola 35 30 34 Dikumpulkan dari berbagai sumber Masjid 2 2 1 1 3 2 2 2 4 Polindes (Poliklinik Desa) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

26

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Bab IV KOMERSIALIASI ASET UNTUK KEPENTINGAN BISNIS

idak dijadikannya keseluruhan lahan menjadi kawasan instalasi militer membuat warga merasa terusik dan kecewa. Bagaimana tidak, tanah yang dahulu mereka jual untuk kepentingan pertahanan negara, nyatanya oleh TNI AL disewakan ke perusahaan perkebunan swasta. Wajar saja, bila kemudian warga mengungkit kepemilikan tanah tersebut. Praktek penyewaan lahan yang dilakukan TNI AL ke perusahaan swasta seperti yang terjadi di Pasuruan merupakan modus di balik alasan minimnya anggaran negara untuk memenuhi kebutuhan pertahanan, termasuk membiayai latihan tempur pasukan. Proses komersialisasi sebagian aset militer di Alastlogo yang bermetamorfosa menjadi perusahaan perkebunan dimulai antara 1966-1984. Kurun waktu itu, lahan tersebut dikelola Puskopal, yang ditanami pohon jarak dan palawija. Kemudian pada 1984 keluar SK KSAL No. Skep/675/984 tanggal 28 Maret 1984 yang menunjuk Puskopal, dalam hal ini Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca) untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai perkebunan produktif dengan mempekerjakan penduduk setempat. Bahkan, tahun 1986 Lantamal III Surabaya mengupayakan sertikasi terhadap tanah warga yang diklaim sebagai milik TNI AL, termasuk di dalamnya desa Alastlogo.46

46

Sinar Harapan, Kasus Grati, Pasuruan : Warga Miskin Itu Merasa Ditipu, 31 Mei 2007

KOMERSIALIASI ASET UNTUK KEPENTINGAN BISNIS

27

Selain menjadi ladang militer, relokasi warga juga menjadi awal pengelolaan tanah Alastlogo sebagai lokasi perkebunan. Sejak 1980an, tanah bekas rumah dan lahan warga mulai digarap PT Kebon Grati Agung (KGA). PT KGA adalah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan hortikultura47 yang merupakan salah satu perusahaan di bawah Yayasan Sosial Bhumyamca milik TNI AL dan mendapatkan hak untuk mengelola lahan seluas 3.677 hektare yang meliputi kecamatan Grati, Nguling dan Lekok. Tapi, yang digarap hanya 500 hektare. Dari 500 hektare ini, 350 hektare di Alostlogo. Namun, kehadiran perusahaan perkebunan ini diwarnai protes warga karena lahan-lahan pertanian mereka dibongkar dengan mesin-mesin milik rekanan TNI AL. Tapi, lagi-lagi protes itu tak membuahkan hasil. Warga tak berani memberi perlawanan karena selama menggarap lahan, PT KGA selalu didampingi pasukan TNI AL. Untuk meredam konik, PT KGA juga merekrut beberapa orang yang dianggap berpengaruh di kalangan warga dan memilih berkantor di markas Puslatpur. Ini agar perusahaan tersebut lebih aman dari jangkauan kemarahan warga.48 Tahun 1994 PT KGA dikelola oleh PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), dengan pembagian saham 80 % dimiliki oleh RNI dan 20 % dimiliki Primkopal. Perpindahan status PT KGA dari Yayasan Sosial Bhumyamca menjadi salah satu anak perusahaan PT RNI, tidak membuat TNI AL berhenti melakukan komersialisasi atas asetnya di wilayah Pasuruan. TNI AL kemudian memberikan sertikat hak pakai hingga 2018 seluas 2.600 hektare (73 % lahan) kepada PT. Kebun Grati Agung.49 PT RNI pada awalnya merupakan perusahaan keluarga yang didirikan pada 12 Oktober 1964 oleh Oei Tiong Ham Concern, perusahaan konglomerat pertama di Indonesia. Kemudian pemerintah mengambilalih perusahaan ini menjadi perusahaan negara (BUMN). PT. RNI adalah investment holding dari berbagai sektor usaha dengan bidang usaha utamanya agro industri, farmasi & alat kesehatan, dan perdagangan. Produk yang dihasilkan antara lain: kelapa sawit, gula, teh, farmasi dan alkes, perdagangan, properti, kulit (sarung tangan golf). Hingga saat ini PT. RNI memiliki 15 anak dan 3 cucu perusahaan dan mengoperasikan 35 kantor cabang, 10 pabrik gula, 2 pabrik alkohol, 1 pabrik obat, 2 pabrik alat kesehatan, 1 perkebunan sawit, dan 1 perkebunan teh.50 Di jajaran manajemen, PT RNI dipimpin oleh seorang Komisaris Utama dari perwira tinggi militer aktif, yakni Letjend. Muhammad Yasin dengan SK Pengangkatan Nomor: Kep88/MBU/2006.51 Dalam melaksanakan bisnisnya, sebagai BUMN, PT RNI juga ditopang oleh biaya penyertaan negara melalui alokasi biaya dari APBN yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. A. Bisnis TNI AL : Dari Perkebunan Hingga Pertambangan Tanah yang direncanakan sebagai milik Puslatpur (Pusat Latihan Tempur) TNI AL, telah disalahgunakan oleh pihak TNI AL untuk kepentingan bisnis institusinya. Dari pengalaman historis warga yang tinggal di lokasi itu tercatat sejak tahun 1970 TNI AL menggunakan

Lihat http://www.lpp.ac.id/ptpn.php?id=277. Indopos, Alastlogo, Desa yang Puluhan Tahun Akrabi Kemiskinan dan Sengketa Tanah, 11 Juni 2007. 49 Andi Widjajanto, Doktrin Perang Adil dan Penembakan Warga, Media Indonesia, 4 Juni 2007. 50 Lihat prol PT. Rajawali Nusantara Indonesia (PT. RNI) di http://www.rni.co.id/prole.asp?h=1. 51 Letjend Muhammad Yasin memulai jabatannya sebagai Komisaris Utama sejak 11 Agutus 2006. Lihat http://members. bumn-ri.com/nusindo/the_management.html dan http://www.rni.co.id/prole.asp?h=4.
47 48

28

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

tanah tersebut untuk usaha perkebunan. Usaha ini kemudian dikelola oleh Yayasan Sosial Bhumyamca (Yayasan milik TNI AL) yang membawahi perusahaan perkebunan, PT Kebun Grati Agung (KGA). Kemudian pengelolaan dialihkan dari PT KGA ke PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Selain perusahaan perkebunan, terdapat juga PT Indonesia Power -anak perusahaan PLN (Perusahaan Listrik Negara)- beroperasi di wilayah Puslatpur ini. PT Indonesia Power ini mengoperasikan PLTGU Grati yang mengaliri listrik untuk Pulau Jawa dan Bali. Melihat lokasi PLTGU Grati yang berada di wilayah Puslatpur, dapat diduga kuat adanya keuntungan yang diterima oleh TNI AL dari pemberian konsesi berdirinya pembangkit listrik di wilayahnya. Bisnis prajurit lainnya diluar pengelolaan Yayasan adalah pelayanan jasa keamanan, yang kemudian biasa disebut bisnis centeng. Para prajurit menjalankan bisnis ini untuk PT RNI yang menjalankan usaha perkebunan tebu dan PT Indonesia Power yang menjalankan PLTGU Grati.

Pos PT Indonesia Power di dalam lingkungan Puslatpur. (doc. Imparsial)

Bisnis di wilayah Puslatpur ini juga akan merambah ke bidang eksplorasi gas bumi. Sebuah perusahaan telah melakukan uji sumber daya migas di beberapa titik lokasi, bahkan perusahaan eksplorasi besar, yaitu Santos Ltd, berencana melakukan eksplorasi gas bumi di tempat itu. Di desa Alas Tlogo terdapat tiga titik dan telah ditemukan adanya sumber gas bumi yang terkandung di dalamnya.52 Dengan terbukti kayanya kandungan hasil bumi di wilayah ini, diduga TNI AL berharap besar akan mendapatkan keuntungan besar dari pemberian konsesi pertambangan yang akan dibangun. Apalagi PLTGU Grati membutuhkan gas alam sebagai bahan pembangkit listrik untuk beroperasi maksimal. B. Pelanggaran Terhadap Sejumlah Undang-Undang Selama ini TNI AL selalu menyatakan pihak warga sebagai pihak yang melanggar hukum dalam sengketa kedua belah pihak. Walaupun sebenarnya sejak 7 Juni 1993, TNI AL memiliki bukti material atas lahan konik itu. Jika warga memegang petok D yang diterbitkan pada kurun waktu 1949-1955, TNI AL memiliki sertikat yang diterbitkan Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pasuruan dan berhak mengelola tanah tersebut dengan

52

Wawancara dengan warga Alastlogo, 28 Juni 2007.

KOMERSIALIASI ASET UNTUK KEPENTINGAN BISNIS

29

status hak pakai untuk proyek permukiman. Juga disebutkan, TNI menguasai 3.569.205 Ha tanah di kecamatan Lekok dan Nguling yang mencakup sepuluh desa.53 Ironinya, Mabes TNI juga membantah adanya praktek bisnis militer di wilayah tersebut.54 Di sisi lain, Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto mengatakan hingga saat ini masih banyak kontrak kerjasama antara TNI dan pihak swasta yang belum habis masa kontraknya.55 Sebaliknya, pasca tragedi berdarah 31 Mei 2007 di Alastlogo, ia justru menyatakan kontrak kerjasama antara TNI AL dengan PT Rajawali Nusantara Indonesia dibatalkan.56 Praktek komersialisasi aset yang dilakukan TNI AL merupakan metamorfosa praktek bisnis yang dikelola oleh militer di tengah ketidakmampuan membiayai anggaran pertahanan (militer). Bila dilihat dari aspek legal formal, praktek bisnis militer ini jelas bertentangan dan melanggar sejumlah ketentuan dalam peraturan perundang-udangan. Pertama, Pasal 10 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan; Kedua, Pasal 39 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI di mana prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis (poin 3). Ketentuan yang lebih tegas lagi terdapat dalam Pasal 76 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, ayat (1): Dalam jangka waktu lima (5) tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Pemerintah harus mengambilalih seluruh aktitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung, ayat (2): Tata cara dan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1) diatur dengan keputusan Presiden. Ketiga, bila komersialiasi aset TNI AL dengan modus penyewaan lahan kepada pihak swasta diperuntukkan bagi pembiayaan latihan TNI AL seperti di Pasuruan, hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 25 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang berbunyi: (1) Pertahanan negara dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara; (2) Pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan Tentara Nasional Indonesia serta komponen pertahanan lainnya. Lima hal mendasar berikut juga ikut mempengaruhi praktek bisnis militer di Pasuruan. Pertama, untuk memuluskan langkah bisnis, dalam jajaran manajemen diangkat perwira tinggi militer aktif sebagai Komisaris Utama; Kedua, menunjukkan bahwa pendekatan keamanan telah digunakan kembali dalam penangangan konik agraria. Ketiga, keterbatasan ruang lingkup bisnis militer yang diverikasi oleh Pemerintah melalui Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI (TSTB). Ada sekitar 1.500 unit bisnis yang sebagaian besar dikelola oleh yayasanyayasan resmi milik TNI, baik matra/angkatan dan komando-komando satuan. Sementara bisnis-bisnis yang tidak diverikasi tetap dipandang legal; Keempat, ketidakjelasan pengertian Bisnis Langsung dan Tidak Langsung sebagaimana dimaksud Pasal 76 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI; Kelima, ketidakjelasan sebagaimana dimaksud pada poin keempat, bisa saja berakibat belum ditebitkannya Keppres mengenai proses pengambilalihan bisnis TNI. Belum diterbitkannya Keppres ini menjadi bukti terbaru bahwa proses pembebasan militer dalam self nancing ternyata mengalami stagnasi.

Op Cit. Indopos, Alastlogo ... , 11 Juni 2007. Koran Tempo, Aset TNI Tak Boleh Dikomersialkan, 4 Juni 2007. 55 Kompas, Komisi I Nilai Terjadi Pelanggaran Hukum, 14 Juni 2007. 56 Ibid.
53 54

30

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Akibat dari ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus tanah di Pasuruan, dan ketidakjelasan pengertian bisnis langsung dan tidak langsung serta berlarut-larutnya penerbitan Keppres pengambilalihan bisnis TNI, memperlihatkan menurunnya legitimasi terhadap pemerintahanan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dan karena itu, ia pun harus mempertanggungjawabkannya secara hukum.

KOMERSIALIASI ASET UNTUK KEPENTINGAN BISNIS

31

32

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Bab V DAMPAK PUSLATPUR TNI AL TERHADAP WARGA

idak dapat disangkal lagi bahwa kehadiran TNI AL di Kecamatan Lekok dan Nguling, telah menimbulkan dampak negatif bagi warga di sekitarnya. Sebab, seiring dengan hadirnya TNI AL, kehidupan warga semakin terganggu. Bukan hanya karena latihan perang yang sering digelar, tetapi warga juga kerap menerima berbagai tindakan teror dan kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI AL. Lebih daripada itu, kondisi ekonomi warga juga terancam. Selain karena tanah yang menjadi sumber penghidupan sudah sejak lama dirampas, aktivitas ekonomi lainnya juga terganggu. Dalam situasi seperti ini, dapat dikatakan bahwa saat ini tidak ada lagi ruang yang memungkinkan warga yang tinggal di desa sekitar Puslatpur TNI AL dapat hidup dengan bebas, tenang, aman, dan sejahtera kendati tinggal di atas tanah mereka sendiri yang kini diklaim sebagai milik TNI AL. Kehadiran TNI AL tidak lebih hanya melahirkan ancaman dan gangguan bagi kehidupan warga. Jika ditelusuri, penderitaan yang dialami oleh warga ini mulai terjadi ketika TNI AL menguasai tanah mereka sejak awal tahun 1960-an. Warga kehilangan tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka. Lebih lanjut, berdirinya markas Puslatpur TNI AL yang direalisasikan pada 2003 menjadikan kondisi kehidupan warga semakin parah saja. Sebab, sejak saat itu, aksi-aksi kekerasan dan teror terhadap warga yang dilakukan oleh prajurit TNI AL menjadi meningkat. Dalam kaitan itu, kasus penembakan warga Desa Alsatlogo yang terjadi beberapa waktu yang lalu, tentunya bukanlah peristiwa brutalitas satu-satunya kepada warga yang

DAMPAK PUSLATPUR TNI AL TERHADAP WARGA

33

dilakukan oleh prajurit TNI AL. Di mana jauh sebelum itu, sebenarnya juga banyak tindakantindakan seperti teror dan kekerasan lainnya yang dialami oleh warga, tidak hanya Alastlogo tetapi juga dirasakan oleh warga di 10 desa lain. Namun demikian, tindakan-tindakan tersebut nampaknya tidak banyak terpublikasi secara luas dan terbuka sebagaimana kasus Alastlogo. Bagi warga yang tingga di sebelas desa, tindakan kekerasan, perampasan, dan aksi teror yang dilakukan oleh prajurit TNI AL sudah menjadi hal yang biasa terjadi dan dialami. Bayangan TNI AL selalu menghantui kehidupan mereka. Bahkan, pasca kejadian di Alastlogo, prajurit TNI AL masih melakukan aksi-aksi tersebut. Hal itu diketahui dari kesaksian seorang Kepala Desa saat Focus Group Discussion (FGD) tentang kasus tanah di wilayah itu sedang dilangsungkan, di mana ia mengatakan bahwa saat FGD ini dilakukan, prajurit TNI AL sedang mengangkut kayu-kayu milik warga dengan menggunakan truk-truk TNI.57 Lebih lanjut, tulisan berikut di bawah ini akan memaparkan mengenai apa saja tindakan-tindakan yang dilakukan oleh prajurit TNI AL terhadap warga desa yang terjadi selama ini. Terutamanya adalah kasus-kasus yang terjadi sebelum meletusnya peristiwa penembakan warga di Desa Alastlogo. Selain itu, di paparan berikutnya juga akan mengulas dampak di bidang ekonomi yang dialami warga selama ini terkait dengan keberadaan TNI AL di wilayah itu. Fakta-fakta di bawah akan membuktikan betapa keberadaan TNI AL di situ sangat mengganggu dan meresahkan warga. A. Peristiwa Alas Tlogo Peristiwa Penembakan di desa Alastlogo pada 30 Mei 2007 merupakan tragedi hitam bagi para petani yang memperjuangkan hak kepemilikan atas tanah dan penghidupan yang layak. Peristiwa tersebut dipicu oleh adanya penggarapan tanah sengketa antara masyarakat desa Alas Tlogo dengan TNI AL- oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sebagai perusahaan rekanan TNI AL, dengan dikawal aparat TNI AL. Sebelum terjadinya penembakan di Alastlogo, pada 26 Mei 2007 pihak PT RNI dengan dikawal beberapa prajurit Marinir, telah melakukan penggarapan di dusun Karangteger desa Sumberanyar. Namun warga desa tidak terpancing emosinya setelah Kepala Desa Sumberanyar melakukan negosisasi dengan para anggota Marinir di lokasi tersebut dan pihak PT RNI, sehingga tidak melewati wilayah yang digarap oleh masyarakat desa. Namun tiba-tiba pada 29 Mei 2007, pihak PT RNI dan anggota marinir tersebut mengubah arah penggarapan menuju desa Alastlogo. Mereka merusak tanaman milik warga desa sehingga menimbulkan protes beberapa warga Alastlogo. Para anggota marinir yang berjaga-jaga melecehkan protes yang diajukan warga. Penggarapan oleh PT RNI berlanjut hingga tanggal 30 Mei 2007. Adanya aktivitas yang mengancam sumber penghidupan warga desa itu kemudian memicu aksi protes semakin besar dari warga desa Alastlogo. Para anggota Marinir yang berjaga menembak warga yang protes. Karena panik melihat besarnya protes warga desa, aparat TNI AL yang mengawal

57

Kesakian warga Desa Pasinan, pada saat Focus Group Discussion (FGD) di Desa Sumberanyar, tanggal 08 Agustus 2007.

34

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

PT RNI, menembaki dan menangkap beberapa warga yang protes. Tindakan aparat tersebut mengakibatkan 12 orang terluka dan empat (4) diantaranya meninggal dunia. Tabel Korban*
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Nama Sutam bin Saruyam Mistin binti Samat Dewi Chotijah Rohman bin Saumar Erwanto Nasum Rohman Misdi Choirul Agung Satiran Samat Asmad *Dikumpulkan dari berbagai sumber Usia 45 21 21 17 17 27 29 40 4 45 49 Meninggal Meninggal Meninggal Meninggal Luka tembak Luka tembak Luka tembak Luka tembak Luka tembak Luka tembak Luka memar akibat popor, pukulan dan tendangan Luka tembak Keterangan

Akibat peristiwa ini, 13 orang prajurit TNI AL dijadikan tersangka oleh POM AL berkaitan dengan penembakan di Alas Tlogo. Ketigabelas prajurit tersebut ditahan di POM AL Lantamal V Surabaya. Pada 14 Agustus 2008 lalu, Mejelis Hakim Pengadilan Militer III Surabaya yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Letkol (CHK) Yan Ahmad Mulyana, telah memutuskan 13 prajurit TNI AL bersalah melakukan penyerangan dan penembakan kepada warga Desa Alastlogo. Para terdakwa hanya dituntut dakwaan primer, yakni Pasal 170 (penganiayaan) ayat 1 dan 2 KUHP. Kemudian juga dituntut Pasal 338 (pembunuhan) juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP sebagai dakwaan alternatif. Khusus terhadap Lettu Budi Santoso didakwakan Pasal 103 ayat 1 KUHP Militer sebagai dakwaan alternatif kedua.

DAMPAK PUSLATPUR TNI AL TERHADAP WARGA

35

Tabel Terdakwa
No 1 Nama Lettu Budi Santoso komandan tim patroli Vonis Hukuman hukuman penjara selama 3 tahun dan dipecat dari militer. dihukum 2 tahun penjara dan dipecat dari kesatuannya. Alasan tak mampu mengendalikan anak buahnya sehingga tak layak dipertahankan dalam militer. dianggap menyalahi prosedur baku serta tidak mematuhi perintah atasan karena langsung menggunakan peluru tajam dan dimasukkan prajurit tak layak. serpihan proyektil terdakwa ditemukan di dalam tubuh korban Khoirul Anwar yang saat itu dalam gendongan ibunya, Mistin (yang juga korban meninggal). Serta menunjukkan perbuatannya tidak patut ditiru karena dari hasil uji rekoset terdakwa menembakkan secara brutal meski dipantulkan ke arah tanah dan dilakukan tanpa sengaja.

Kopka (Mar) M Suratno

Pratu Suyatno

dihukum 2 tahun 6 bulan penjara dan dipecat dari kesatuannya.

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Serka (Mar) Wahyudi Serka (Mar) Abdurrahman, Kopka (Mar) Lihari Kopka (Mar) Totok Luki Bimantoro Kopda (Mar) Warsim Kopda (Mar) Helmi Widiantoro, Kopda (Mar) Slamet Sayudi Praka (Mar) Agus Riayadi Praka (Mar) Mukhamad Yunus, Praka (Mar) Saliman

Dihukum 1 tahun 6 bulan Dihukum 1 tahun 6 bulan Dihukum 1 tahun 6 bulan Dihukum 1 tahun 6 bulan Dihukum 1 tahun 6 bulan Dihukum 1 tahun 6 bulan Dihukum 1 tahun 6 bulan Dihukum 1 tahun 6 bulan Dihukum 1 tahun 6 bulan Dihukum 1 tahun 6 bulan

Peristiwa penembakan ini merupakan salah satu peritiwa kekerasan yang terjadi di desadesa dalam wilayah Puslatpur TNI AL. Berbagai tindak kekerasan lain berupa penyiksaan, pengusiran paksa, pembakaran dan perampasan barang milik warga dan sebagainya, sering dialami oleh warga di wilayah tersebut. Bahkan intensitas kekerasan semakin meningkat semenjak markas Puslatpur berdiri pada tahun 2002.58 Tanah warga yang bersengketa dengan TNI AL menjadi akar permasalahan konik dan kekerasan yang terjadi. Penyerobotan tanah yang dilakukan oleh TNI AL pada tahun 1960 dan berkuasanya rezim militeristik pada masa Orde Baru membuat para petani kehilangan
58

Lihat Notulensi Rembug Tani Kondisi HAM dan Sengketa Tanah yang diadakan oleh Imparsial dan Forum Komunikasi Tani Sumberanyar (FKTS) di Desa Sumberanyar, Kec.Nguling Pasuruan, 8 Agustus 2007

36

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

tanahnya. Paska jatuhnya Orde Baru 1998, para petani mulai berani merebut kembali tanahnya. B. Pengusiran Penduduk Secara Paksa Jika melihat persebaran rumah-rumah penduduk di desa-desa, maka kita akan melihat adanya konsentrasi rumah-rumah penduduk di beberapa titik lokasi. Padahal rumah-rumah itu masih berada dalam satu desa. Dengan kata lain, rumah warga antar satu dengan lainnya sebelumnya posisinya tidak berjarak dan berpencar-pencar seperti sekarang sebelum TNI AL melakukan tindakan pengosongan lahan di sejumlah desa. Bahkan, bisa dikatakan kalau apa yang dilakukan oleh TNI AL sebagai bentuk tindakan pengusiran secara paksa. Gambaran konsentrasi rumah-rumah penduduk itu dapat dilihat di beberapa desa. Misalnya di Pasinan dan Sumberanyar. Untuk di desa Sumberanyar misalnya, dapat dilihat pada perbandingan peta situasi desa No. 22/1987 yang dikeluarkan Lantamal Surabaya dan peta situasi tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Topdam IV/Brawijaya. Dari Peta situasi desa tersebut secara jelas menggambarkan adanya pergerakan rumah-rumah penduduk di Sumberanyar dari yang sebelumnya terjadi persebaran namun kini terkonsentrasi di beberapa titik. (lihat lampiran). Lebih lanjut, upaya pengusiran paksa oleh TNI AL yang dibantu oleh aparat desa yang diduga telah dibayar terhadap penduduk itu dapat ditelusuri mulai dari pertengahan 1980an. Menurut kesaksian seorang warga Desa Pasinan, tindakan pengusiran paksa tersebut dilakukan malam hari. Bukan hanya terjadi di Desa Pasinan saja, tetapi juga semua desa lainnya. Di mana warga pada saat itu juga harus meninggalkan rumah mereka tanpa diberitahu alasan yang melatarinya. Beberapa warga yang diusir oleh TNI AL di antaranya ada yang pindah ke Banyuwangi, tetapi ada juga yang masih menetap wilayah itu namun bergeser ke sisi area lainnya.59 Tindakan serupa yang dilakukan oleh TNI AL di Desa lainnya, dapat dilihat pada kasus pada rentan tahun 1993-1994 di Desa Wates. Pada saat itu TNI AL melakukan upaya pengsongan lahan secara paksa yang ditempat oleh rumah-rumah penduduk. Lebih parahnya lagi adalah tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan alat berat seperti buldozer dengan cara menabrakannya ke rumah-rumah penduduk.60 Tentu, apa yang dilakukan oleh TNI AL tersebut memiliki maksud dan tujuan, yakni sebagai upaya untuk mengosongkan lahan yang akan digunakan oleh TNI AL. Hal ini sepertinya berhubungan dengan kebijakan TNI AL dalam penggunaan lahan di wilayah tersebut yang baru diketahui belakangan ini. Di mana TNI AL berupaya mengosongkan bagian tengah area pertanahan yang diklaim milik TNI AL dengan menggeser rumah-rumah penduduk ke pinggiran lahan.61

Hasil wawancara warga Desa Pasinan, tanggal 23 Juni 2007. Kesaksian Warga Desa Wates, pada saat Focus Group Discussion (FGD) di Desa Sumberanyar, tanggal 08 Agustus 2007. 61 Investor Daily, Diklat TNI AL Tetap Dibangun di Pasuruan, 04 Juni 2007.
59 60

DAMPAK PUSLATPUR TNI AL TERHADAP WARGA

37

C. Latihan Perang di Dalam Perkampungan Seringkali prajurit TNI AL menggelar latihan tempur di dalam perkampungan warga sekitar Puslatpur TNI AL. Latihan perang itu dilakukan tepat di depan rumah-rumah penduduk dan di jalan-jalan perkampungan. Mulai dari latihan baris-berbaris, lari-lari, dan bahkan kesaksian warga juga menyebutkan bahwa latihan tersebut juga disertai dengan tembakmenembak.62 Kendati tidak sampai menimbulkan korban warga dalam latihan perang itu, kecuali hanya rumah yang rusak terkena tembakan,63 namun kegiatan tersebut tetap saja menimbulkan efek psikologis berupa ketakutan di kalangan warga desa. Lebih daripada itu, kegiatan seperti melakukan patroli di perkampungan juga dkerap dilakukan oleh TNI AL. Dengan berseragam dan senjata lengkap, prajurit TNI AL memasuki perkampungan, terutama adalah desa Sumberanyar dan Alastlogo yang terus memperjuangkan tanah mereka. Dalam kaitan itu, tidak jarang TNI AL juga mengerahkan tank tempur. Pada 06 Juli 2006 misalnya, dua (2) tank lewat di jalan kampung Monokaton, Desa Sumberanyar, sehingga mengakibatkan jalannya tersebut rusak. Menurut warga, apa yang dilakukan oleh TNI AL tersebut tidak lebih hanya sebagai upaya untuk menakut-nakuti.64 Upaya pengerahan tentara dan tank ke perkampungan ini hampir dilakukan setiap bulan. Terlebih lagi jika ada moment yang berkaitan dengan masalah tanah. Saat proses persidangan gugatan tanah oleh warga Alastlogo yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri misalnya, pengerahan prajurit dan tank ke desa secara rutin dilakukan oleh TNI AL.65 Kasus lainnya terjadi pada 14 Desember 2006, ketika TNI AL akan mematok batas tanah untuk pemukiman, juga terjadi mengerahkan prajurit lengkap dengan senjata dan dua (2) tank didepan balai desa Sumberanyar.66 D. Penembakkan Mortir di Pemukiman Penduduk Seringkali TNI AL juga menggelar latihan perang pada malam hari ketika warga sedang tidur lelap. Lebih parahnya lagi, latihan perang tersebut disertai dengan latihan menembakkan mortir. Dengan lokasi yang berdekatan dengan pemukiman warga yang mengelilinginya, tentu bunyi tembakan saat latihan dan terutamanya adalah suara tembakan dan ledakan mortir itu terdengar dan memekakkan telinga warga di perkampungan. Misalnya adalah kasus yang terjadi pada awal 2007, di mana warga yang pada saat itu tengah terlelap tidur, tiba-tiba dikagetkan oleh suara tembakan mortir dari Puslatpur TNI AL yang menggelar latihan perang tepat pukul 03.30 pagi.67 Bagi warga, gelar latihan perang dan menembakan mortir pada malam hari tersebut sudah tentu mengganggu ketenangan mereka. Sebab, jarak antara tempat latihan dengan pemukiman warga itu tidak terlalu jauh. Di antara desa yang paling merasakan dampak

Hasil wawancara dengan warga desa Alastlogo, pada 23 Juni 2007 Salah satu rumah yang rusak akibat tembakan TNI AL tersebut adalah rumah Kepala Desa Alastlogo, Bapak Imam Supnadi. Kejadiannya terjadi pada 2005, dimana rumahnya itu ditembaki oleh TNI AL ketika masuk ke desa itu. Akibatnya, genteng rumahnya pada rusak, bolong-bolong dan berjatuhan. 64 Hasil wawancara dengan warga Desa Sumberanyar, pada 22 Juni 2007 65 Hasil wawancara dengan warga Desa Alastlogo, pada 23 Juni 2007 66 Hasil wawancara dengan warga Desa Sumberanyar, pada 22 Juni 2007. 67 Ibid
62 63

38

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

dari latihan tersebut adalah desa yang ada di sebelah utara markas Puslatpur TNI AL, yakni desa Pasinan. Sebab, biasanya tembakan mortir saat digelarnya latihan perang itu selalu diarahkan ke sebelah utara Puslatpur. Lebih lanjut, ada satu kasus di mana latihan menembakkan mortir yang dilakukan TNI AL mengakibatkan jatuhnya korban satu orang warga karena terkena pecahan mortir. Kasus tersebut terjadi pada 2006, yakni menimpa seorang warga desa Pasinan, di mana ia terkena pecahan ledakan mortir yang ditembakkan saat digelarnya latihan di Puslatpur TNI AL pada sore hari. Mortir yang ditembakkan dari Puslatpur tersebut jatuh tepat sekitar 25 meter di sebelah kanan rumah korban yang pada saat itu sedang duduk depan pintu rumahnya bersama dengan beberapa orang lainnya.68 E. Perusakan Bangunan dan Tanaman Milik Warga Tindakan lainnya yang dilakukan oleh prajurit TNI AL terhadap warga sekitar adalah dengan merusak tanaman dan bangunan milik warga desa. Tidak jarang, upaya perusakan tersebut dilakukan oleh prajurit TNI AL tersebut dengan menggunakan alat-alat berat seperti kendaraan tank. Pada awal 2006 misalnya, dua (2) tank masuk ke Desa Sumbernyar dan Alastlogo. Di Alastlogo, dengan menggunakan dua (2) tank prajurit TNI AL merusak salah satu toko milik warga. Menurut kesaksian korban, secara bergiliran kedua tank yang diperkirakan berisikan 13 orang tersebut menabrak tokonya yang baru selesai dibangun dan belum digunakan. Selama ini ada kebijakan yang diberlakukan oleh TNI AL selama ini yang melarang semua warga untuk membangun di atas area pertanahan tersebut tanpa seizin dari TNI AL.69

Bangunan warga yang dirusak oleh marinir dengan menggunakan tank (doc. Imparsial)

Lain halnya di Sumberanyar, tank-tank yang digunakan oleh prajurit TNI AL tersebut melindasi tanaman dan sekitar 10 ribu batu-bata milik warga desa.70

Kasusnya terjadi pada 24 Desember 2006, ketika pada sore hari TNI AL menggelar latihan perang di Puslatpur. Korban itu kemudian dibawa ke RS AL Surabaya sebanyak dua kali untuk menjalani operasi pengambilan pecahan mortir dalam tubuhnya. Hasil wawancara dengan warga desa Pasinan yang menjadi korban ledakan mortir, pada 09 Agustus 2007. 69 Hasil wawancara dengan korban yang tokonya dirusak TNI AL, warga Desa Alastlogo. 70 Hasil wawancara dengan warga Desa Sumberanyar, pada 22 Juni 2007.
68

DAMPAK PUSLATPUR TNI AL TERHADAP WARGA

39

Lebih lanjut, upaya pengrusakan tanaman milik warga desa tersebut masih berlanjut hingga awal 2007. Misalnya adalah kasus pengrusakan tanaman milik warga desa pada 10 Januari 2007. Kejadian itu bermula ketika satu peleton prajurit TNI AL memasuki perkampungan dan langsung mencabuti tanaman milik warga yang saat itu sedang bagusbagusnya. Perusakan tanaman oleh TNI AL ini kontan menimbulkan reaksi warga, yakni dengan cara menutup jalan. Sebab, warga pada umumnya tidak berani untuk berhadapan langsung dengan TNI AL yang bersenjata.71 F. Perampasan Alat-Alat, Barang, dan Pembakaran Gubuk Milik Warga

Prajurit TNI AL juga kerap merampas alat-alat menanam milik warga desa. Misalnya adalah kasus yang terjadi pada 10 Maret 2006, di mana prajurit TNI AL merampas alatalat menanam milik warga Dusun Gunung Pukur, Desa Sumberanyar. Tindakan perampasan alat-alat tersebut kemudian diulang lagi pada 06 Juli 2006 dan berlanjut lagi pada 05 Maret 2007. Namun, dalam kasus terakhir tersebut, TNI AL tidak hanya melakukan perampasan terhadap alat-alatnya, melainkan juga diserta dengan aksi pembakaran terhadap 12 gubuk milik warga.72 Lebih jauh, aksi perampasan oleh prajurit TNI AL tidak hanya dilakukan di ladang, tetapi juga dilakukan di pos penjagaan Puslatpur. Banyak kasus perampasan barang-barang milik warga ketika melintasi pos penjagaan Puslatpur TNI AL. Beberapa barang yang dirampas tersebut kemudian dibawa oleh prajurit TNI ke dalam markas Puslatpur, yang mana beberapa di antaranya tidak dikembalikan lagi kepada warga. Misalnya adalah aksi perampasan terhadap barang bangunan milik warga yang tidak dikembalikan lagi73. Selain itu, juga terjadi perampasan terhadap Beras Fakir Miskin (Raskin) yang menjadi program pemerintah, tetapi kemudian dikembalikan lagi.74 Selain itu, prajurit TNI AL kerap menangkap kendaraan sepeda motor dan mobil yang melewati pos penjagaan Puslatpur. Misalnya adalah kasus perampasan STNK milik seorang warga, yakni menimpa H. Kosim dari Probolinggo yang sedang mencari kayu (perlu dijelaskan kayu apa ini? Kayu bakar atau apa? Kalau dianggap illegal logging, repot). Selain itu, prajurit TNI AL yang menjaga pos penjagaan Puslatpur tersebut juga kerap merampas makanan ternak yang dibawa warga. Sebab, prajurit TNI juga ikut memelihara sapi..75 G. Praktik Kekerasan di Pos Penjagaan Puslatpur TNI AL Warga yang melewati pos penjagaan Puslatpur juga banyak yang mengalami kekerasan yang dilakukan. Pada 24 November 2006 misalnya, terjadi sebuah kasus di mana salah seorang warga yang mengambil pohon untuk kayu bakar kemudian dibawa ke kantor Puslatpur TNI AL dan di sana ia mengalami pemukulan. Setelah itu ia kemudian dibebaskan.76
Ibid. Ibid. 73 Ada sebuah rumah milik anak yatim yang roboh di Desa Wates. Akhirnya masyarakat mengupayakan sumbangan agar bisa membangunnya lagi. Namun demikian, hasil sumbangan masyarakat yang kemudian dibelikan kayu itu justru dirampas ketika melewati pos penjagaan Puslatpur. Sampai sekarang barang-barang itu belum kembali. Hasil wawancara dengan warga Desa Pasinan, pada 10 Agustus 2007 74 Hasil wawancara dengan warga Desa Alastlogo, pada 23 Juni 2007. 75 Kesaksian wargaa Desa Pasinan, pada saat Focus Group Discussion (FGD) di Desa Sumberanyar, tanggal 08 Agustus 2007 76 Hasil wawancara dengan warga Desa Alastlogo, pada 23 Juni 2007.
71 72

40

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Gerbang Puslatpur TNI AL. Di tempat ini sering terjadi penyiksaan dan perampasan (dengan alasan sanksi) terhadap warga yang melewati pos penjagaan. (doc. Imparsial)

Lebih lanjut, TNI AL juga nampaknya membuat aturan hukum sendiri yang diberlakukan di sekitar Pos penjagaan Puslatpur. Aturan itu berlaku untuk setiap warga yang melintasi pos-pos penjagaan Puslatpur. Misalnya adalah aturan bagi setiap pengendara sepeda motor yang melewati pos harus mematikan mesin kendaraannya 20 meter sebelum pos, tidak boleh menaikinya sambil membuka helm. Baru setelah melewati 20 meter dari pos penjagaan, sepeda motor tersebut bisa dikendarai lagi.77 Dalam kaitan itu, setiap terjadi kekeliruan yang dilakukan oleh warga saat melewati pos-pos penjagaan tersebut selalu berujung dengan tindakan kekerasan oleh prajurit TNI AL penjaga pos. Bentuknya beragam, mulai hukuman berupa push up sampai penamparan dan pemukulan terhadap warga yang dianggap melanggar aturan tersebut di pos penjagaan tersebut.78 H. Dampak Terhadap Ekonomi Warga Memang sumber penghidupan warga di sebelas desa sangat beragam. Tidak semua warga desa melandaskan pada tanah dengan bertanam guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Misalnya adalah Desa Semedusari dan Wates, yang letaknya persis dekat pantai. Pada umumnya mereka menjadi nelayan sebagai sumber penghidupannya. Sementara itu, berbeda dengan warga Alastlogo, Sumberanyar, atau Pasinan, di mana warganya di antaranya ada yang menjadi petani, atau menjalankan usaha ternak sapi. Terlepas dari berbagai bentuk usaha yang dilakukan oleh warga, ada satu hal yang pasti bahwa kehadiran TNI AL di wilayah tersebut telah menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap keberlanjutan sumber penghidupan warga desa. Memang bentuknya sangat beragam, yakni dampak yang dialami secara langsung dan tidak langsung. Bagi warga yang hidupnya bergantung pada tanah, maka adanya penguasaan tanah oleh TNI AL selama

77 78

Ibid. Ibid.

DAMPAK PUSLATPUR TNI AL TERHADAP WARGA

41

puluhan tahun tentu sangat dirasakan betul dampaknya. Mereka tidak bisa lagi menggarap tanahnya karena dikuasai oleh TNI AL. Padahal tanah itu satu-satunya sumber penghidupan bagi mereka. Kasus penembakan warga di Alastlogo, yang diawali upaya pembajakan tanah oleh PT. Rajawali Nusantara (RNI) yang dikawal TNI AL yang kemudian menuai protes dari warga Alastlogo dan berujung pada penembakan terhadap warga oleh TNI AL, sesungguhnya hal itu menunjukkan betapa tanah adalah jantung kehidupan bagi warga desa. Pasalnya, upaya perluasan pembajakan tanah yang akan ditanami oleh PT. RNI itu menyentuh dan melewati tapal batas sampai ke tanah yang digarap oleh warga. Padahal, dapat dikatakan bahwa hampir semua tanah-tanah di wilayah tersebut masih dalam status konik dan menunggu putusan pengadilan. Aksi sepihak perusahaan yang didukung oleh TNI AL tersebut, kontan saja memancing amarah warga Alastlogo karena tanah mereka ikut dibajak kendati sebelumnya sudah diperingatikan untuk tidak menyentuh lahan warga. Lebih daripada itu, selain kasus tersebut, tentu banyak warga di 11 desa lainnya yang telah kehilangan tanah mereka karena diklaim dan dikuasai TNI AL. Lebih lanjut, kehadiran TNI AL dengan Puslatpurnya itu sudah barang tentu juga dialami oleh warga yang bergerak di sektor usaha yang tidak melandaskan pada tanah. Misalnya adalah dampak yang dialami oleh warga yang memiliki ternah sapi peras karena kesulitan untuk menyediakan rumput bagi ternaknya. Menurut kesaksian sejumlah warga, kalau sebelum 2002 warga sudah kesusahan mencari rumput, maka setelah 2003 situasi semakin parah karena tambah sulit.79 Problem yang dihadapi warga dalam upaya pengadaan rumput atau pakan ternak lainnya karena sering menerima kekerasan dan terjadi perampasan barang oleh TNI AL.80 Beberapa kasus lainnya misalnya, ada petani yang disuruh untuk menanam kapas dan tidak diperbolehkan untuk menanam lainnya. Memang masyarakat boleh untuk menanam jagung di sela-sela pohon kapas itu, tetapi kalau para petani tidak bisa menanggulangi ulat maka mereka akan disiksa atau ditindak oleh prajurit TNI AL. Selain itu, masyarakat yang menjadi buruh juga banyak yang disiksa.81 Berdasarkan kesaksian warga lainnya, ada juga kasus lain yang terjadi yakni menimpa salah seorang warga ketika melewati pos penjagaan Puslatpur setelah memotong rumput dan membawa sebanyak tiga karung rumput untuk ternaknya dengan menggunakan sepeda motor. Ketika melewati pos penjagaan, warga tersebut diminta turun oleh TNI AL yang menjaga pos, dan melarang untuk menaikinya. Lebih lanjut, sepeda motor yang membawa rumput tersebut harus dituntun meski berat dan sulit untuk didorong.82 Di luar kasus-kasus yang dipaparkan di atas itu, tentu masih banyak kasus-kasus lainnya. Namun, secara lebih jauh adanya fakta banyaknya ganguan terhadap aktivitas

Kesaksian warga Alastlogo, pada saat Focus Group Discussion (FGD) di desa Sumberanyar, tanggal 08 Agustus 2007. Ada sebuah kasus ketika salah seorang warga melewati Pos Puslatpur dan memuat makanan tambahan ternak, seperti gamblong, di mana sebagian diambil oleh prajurit TNI AL. Sebab, di Puslatpur itu mereka juga merawat sapi. Bagi warga, tentu itu sangat merugikan. Hasil wawancara dengan warga Desa Pasinan, pada 10 Agustus 2007. 81 Kesaksian warga Desa Pasinan, pada saat Focus Group Discussion (FGD) di desa Sumberanyar, tanggal 08 Agustus 2007. 82 Hasil wawancara dengan warga Desa Pasinan, pada 23 Juni 2007
79 80

42

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

warga di semua desa itu menunjukkan bahwa keberadaan TNI AL di wilayah itu turut mempengaruhi kegiatan ekonomi warga. Sebab, mata pencaharian mereka menjadi hilang atau terganggu oleh aktivitas prajurit TNI AL di situ. Karena itu, fakta saat ini munculnya banyak pengangguran.83

83

Kesaksian warga Semedusari, pada saat Focus Group Discussio (FGD), di desa Sumberanyar, tanggal 08 Agustus 2007.

DAMPAK PUSLATPUR TNI AL TERHADAP WARGA

43

44

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

BAB VI TINJAUAN MENGENAI DAMPAK HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA

A. Hukum Humaniter dan HAM Sebagai Pedoman dalam Konik Bersenjata dan Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Dalam perang atau konik bersenjata, para pihak yang bertikai dibatasi oleh ramburamabu hukum internasional. Indonesia sendiri harus tunduk dengan seabrek ketentuan dalam hukum internasional yang terdiri dari instrumen hukum Internasional yang telah diratikasi oleh Indonesia terdiri hukum kebiasaan internasional (customary international law); instrumen hukum Humaniter; instrumen hukum HAM internasional serta instrumen hukum Nasional. (a) Instrumen Hukum Internasional yang telah diratikasi oleh Indonesia dan hukum Kebiasaan Internasional. Berbagai instrumen Hukum Internasional yang telah diratikasi : 1. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia. 2. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. 3. Konvensi tentang Anti Penganiayaan. 4. Konvensi tentang Hak-hak Anak.

TINJAUAN MENGENAI DAMPAK HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA

45

5. Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial. 6. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.84 7. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.85 Berbagai instrumen Hukum Internasional yang belum diratikasi dan Hukum Kebiasaan Internasional : 1. Protokol Optional Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik. 2. Konvensi tentang Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar. 3. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. 4. Statuta Mahkamah Pidana Internasional1998 atau dikenal sebagai Statuta Roma. (b). Instrumen hukum Humaniter Berbagai instrumen hukum Humaniter : 1. Konvens-konvensi Jenewa 194986 2. Protokol-Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 (1977)87 (c). Instrumen hukum Nasional Berbagai instrumen hukum Nasional : 1. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 2. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) B. Problematika Jarak Humaniter: Upaya Melindungi Penduduk Sipil Penembakan warga sipil oleh satu regu pasukan marinir yang menjaga fasilitas Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) di Alas Tlogo pada 30 Mei 2007 menyisakan pertanyaan seputar mekanisme pengaturan fasilitas dan markas militer di lingkungan penduduk sipil. Bila ditelisik lebih jauh, hampir seluruh fasilitas dan markas militer di Indonesia berada tidak jauh dari pemukiman penduduk sipil. Sehingga permasalahan yang kemudian muncul adalah selain persoalan sengketa kepemilikan lahan fasilitas militer itu juga berimbas pelaksanaan hukum humaniter. Selain itu hal penting lainnya yang mengemuka dalam kasus tersebut adalah soal jarak humaniter antara non-kombatan (kelompok orang yang tidak terlibat dalam

Indonesia meratikasi ICESCR dengan menerbitkan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan ICCPR dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights. 85 Ibid. 86 Konvensi-konvesi Jenewa 1949 terdiri dari empat konvensi yaitu Geneva Convention for the Amelioration of the Convention of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, adopted 12 Aug. 1949, entered into force 21 Oct. 1950, 75 UNTS 31; Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, adopted 12 Aug. 1949, entered into force 21 Oct. 1950, 75 UNTS 85; Geneva Conventions Relative to the Treatment of Prisoners of War, adopted 12 Aug. 1949, entered into force 21 Oct. 1950, 75 UNTS 135; Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, adopted 12 Aug. 1949, entered into force 21 Oct. 1950, 75 UNTS 287. 87 Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 diadopsi pada tahun 1997 guna melengkapi Konvensi-konvensi Jenewa 1949, terdiri dari Protocol Additional to the Geneva Conventions of August 12, 1949, and relating to the Protection of victims of International Armed Conict (Protocol I) dan Protocol Additional to the Geneva Conventions of August 12, 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conicts (Protocol II), adopted 8 June 1977, entered into force 7 Dec. 1978, UN Doc. A/32/144 Annex II, 1125 UNTS no.17513.
84

46

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

perang) dengan kombatan. Pada dasarnya hukum humaniter tidak secara khusus mengatur berapa jarak humaniter (humanitarian distance) antara fasilitas dan markas militer dengan pemukiman penduduk sipil. Hukum humaniter yang terdiri dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (the Geneva Conventions 1949) dan Protokol Tambahan (Additional Protocols) I dan II 1977 terhadap Konvensi-konvensi 1949 secara tegas hukum humaniter menitikberatkan perlindungan terhadap penduduk sipil yang kemudian melahirkan dengan apa yang disebut sebagai prinsip pembedaan (distinction principle).88 Prinsip pembedaan merupakan landasan utama yang membagi penduduk (warga negara) dalam dua kelompok ketika terjadi konk bersenjata. Kelompok pertama adalah kombatan (combatant) yaitu kelompok yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities) sedangkan kelompok yang lain adalah penduduk sipil.89 Indonesia sendiri telah lama menjadi pihak dalam Konvensi Jenewa 1949 sejak diterbitkannya UU No. 59 Tahun 1958 pada 30 September 1958. Hingga kini Indonesia belum menjadi pihak dalam dua Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 (1977). Sungguhpun demikian, dalam praktiknya masyarakat internasional telah banyak meratikasi kedua Protokol tersebut serta dipakai dalam setiap kali konik bersenjata terjadi, baik internasional maupun non-internasional. Indonesia tidak dapat melepaskan diri untuk tetap memperhatikannya karena kedua Protokol tersebut memiliki status sebagai hukum kebiasaan internasional (customary international law). Setumpuk ketentuan ini seharusnya mereduksi jumlah korban nyawa manusia yang jatuh dalam konik bersenjata. Namun jauh-jauh hari, pemerintah Indonesia menolak bila apa yang dilakukannya sebagai sebuah perang. Hal ini disebabkan menurut mereka perang hanya dilakukan antara negara dengan negara dan bukan negara dengan separatis. Apapun itu namanya tidak menjadikan perang mengabaikan etika yang telah digariskan oleh instrumen hukum internasional. Prinsip ius ad bellum memaksa negara untuk menjadikan perang sebagai bagian resolusi konik dengan memperhatikan prinsip diskriminasi dimana perang hanya berlaku bagi para pihak yang bertikai (kombatan). Selain itu adanya prinsip proporsionalitas yang menitikberatkan pada bagaimana perancang perang dapat mengkalkulasikan biaya dan kerusakan yang timbul akibat perang. Kesemuanya itulah yang saat ini disebut sebagai just war doctrine (doktrin perang adil). Dalam pelaksanaan doktrin perang adil yang berlandaskan pada prinsip pembedaan dalam hal pengaturan obyek sipil dan obyek militer. Dengan kata lain, doktrin ini melarang kegiatan pertempuran atau instalasi militer berada dekat dengan pemukiman penduduk sipil atau obyek sipil lain. Hal ini penting mengingat hukum humaniter mengatur obyek militer yang sah untuk dijadikan sasaran dalam konik bersenjata. Adapun obyek militer yang sah tersebut adalah:90

Jean-Marie Henckaerts and Louise Doswald-Beck, Customary International Humanitarian Law, Volume I Rules, (International Committee of the Red Cross, 2005). Hal. 3-24. 89 KGPH Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter. (Jakarta: RajaGrando Persada, 2005), hal. 73. 90 Dieter Fleck, The Handbook of Humanitarian Law in Armed Conicts, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 158.
88

TINJAUAN MENGENAI DAMPAK HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA

47

1. Angkatan bersenjata (armed forces); 2. Pesawat militer dan kapal-kapal perang (military aircraft and war ships); 3. Gedung-gedung serta obyek-obyek yang mendukung pertempuran (buildings and objects for combat support); dan 4. Obyek-obyek komersial yang memiliki kontribusi efektif pada aksi militer seperti fasilitas transportasi, pusat industri dan lain sebagainya (commercial objectives which make an effective contribution to military action such as transport facilities, industrial plant, etc). Secara nature karakter dari obyek militer adalah memberikan keuntungan secara efektif dalam mendukung pertempuran apapun bentuknya. Meski Konvensi Jenewa 1949 ataupun protokol tambahan tidak memberikan secara spesik mengenai bentuk atau rupa dari obyek militer akan tetapi dapat digambarkan sebagai:91 1. Kubu pertahanan tetap militer (xed military fortications), pangkalan-pangkalan, barak-barak, instalasi-instalasi dan tempat kedudukan meriam (instalations and emplacements) termasuk didalamnya fasilitas-fasilitas pelatihan tempur (training and war-gaming facilities); 2. Kamp-kamp militer sementara, parit-parit pertahanan (entrencments), daerah persiapan militer (staging area), posisi penyebaran pasukan dan titik-titik keberangkatan pasukan (deployment positions and embarkation points); 3. Unit-unit militer dan individu anggota anggakan bersenjata baik itu berada di pangkalan maupun bergerak (stationed and mobile). 4. Sistem persenjataan, peralatan militer dan perlengkapan perang lainnya (military equipment and ordnance), kendaraan lapis baja dan arteleri (armor and artellery) serta kendaraan-kendaran militer dengan berbagai tipe; 5. Pesawat-pesawat militer serta peluru kendali dengan berbagai tipe; 6. Pangkalan-pangkan udara militer serta tempat peluncuran peluru kendali; 7. Kapal perang baik yang berada dipermukaan laut maupun kapal selam dengan bebragai tipe; 8. Pelabuhan-pelabuhan militer dan galangan-galangan militer (military ports and docks); Depot-depot militer, gundang-gudang senjata, gudang-gudang untuk tempat penyimpanan dan suplai senjata (termasuk bahan-bahan mentah seperti minyak); 9. Pusat-pusat industri (termasuk yang telah menjadi milik swasta/pribadi) yang terlibat dalam produksi persenjataan, amunisi, suplai militer, bagian-bagian utama dari kendaraan militer dan pesawat; 10. Laboratorium-laboratorium atau fasilitas-fasilitas lainya yang digunakan bagi penelitian dan pengembangan senjata-senjata baru dan peralatan-peralatan militer (military devices); 11. Fasilitas-fasilitas bengkel militer; 12. Pusat-pusat pembangkit tenaga listrik, hidroelektrik dan lain sebagainya yang melayani kebutuhan militer.

91

Yoram Disntein, The Conduct of Hostilities under the Law of International Armed Conict, (Cambridge:, Cambridge University Press, 2004), hal. 88.

48

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

13. Jalan raya yang memiliki nilai penting dan strategis, jalur-jalur kereta api, jalurm perairan sungai dan kanal-kanal (termasuk terowongan-terowongan, jembatanjembatan kereta api serta jalur-jalur barang (trunk road); 14. Kementerian Pertahanan serta pusat-pusat komando pengendalian operasional, koordinasi, kontrol serta komunikasi baik nasional, regional ataupun lokalyang terkait dengan jalannya peperangan (termasuk pusat-pusat komputer, kantor-kantor telefon dan telegraf yang dipergunakan oleh militer); 15. Pusat-pusat data intelijen yang berhubungan dengan upaya peperangan (meski tidak dijalankan oleh kekuasaan militer). Ke-16 obyek militer ini adalah sasaran yang sah (legitimate target) untuk diserang dan dihancurkan bila terjadi konik bersenjata oleh pihak yang bertikai guna mencapai keuntungan militer dalam hal ini penyelesaian peperangan sesegera mungkin. Bila ditelisik secara jauh terhadap keberadaan Puslatpur TNI-AL Pasuruan di tengahtengah pemukiman penduduk sipil telah menyimpang dari hukum humaniter. Bila terjadi konik bersenjata sangat dimungkinkan bahwa tempat itu akan menjadi sasaran serangan serta jatuhnya korban dari penduduk sipil tidak dapat dihindari. Bahkan untuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit hukum humaniter dalam hal ini Konvensi Jenewa didalam obyek militer atau daerah aman dimana daerah tersebut tidak dapat digunakan untuk kepentingan maupun pertahanan militer. Selain dapat menimbulkan jatuhnya korban dari penduduk sipil, Pemerintah dalam hal ini Departemen Pertahanan dan TNI-AL selaku pembuat kebijakan yang menempatkan Puslatpur di Pasuruan dapat dikesankan bahwa penduduk sipil dijadikan perisai hidup oleh militer. Pasal 28 Konvensi Jenewa Ke-IV tentang Perlindungan terhadap Orang-orang Sipil di Masa Perang serta Pasal 51 paragraf 7 Protokol Tambahan I (1977) tentang Perlindungan terhadap Korban Konik Bersenjata Internasional menegaskan tidak satupun pihak dapat menggunakan orang-orang sipil sebagai perisai untuk memperoleh daerah-daerah yang kebal dari operasi militer. Protokol Tambahan I membedakannya dalam dua situasi, pertama, obyek tersebut yang merupakan obyek militer yang seharusnya tidak boleh ditempatkan dalam daerah penduduk sipil guna memberikan keuntungan perlindungan terhadap instalasi militer tersebut karena larangan serangan terhadap penduduk sipil.92 Kedua, dimana penduduk sipil mungkin tidak sengaja digunakan sebagai perisai bagi obyek militer tersebut misalnya, pengerahan pasukan dalam melindungi pengungsi.93 C. Kondisi HAM Sebagai Tinjauan Kelayakan Terhadap Instalasi Militer Guna melihat pelanggaran HAM yang terjadi di Pasuruan terlebih dahulu hak-hak asasi manusia terbagi dalam dua rumpun, yakni hak-hak positif (positive rights) dan hak-hak negatif (negative rights). Yang dimaksud dengan hak-hak positif adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pengakuan internasional atas hak-hak ini diabadikan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on

92 93

Dieter Fleck, Op.Cit, hal. 218. Ibid. hal. 218.

TINJAUAN MENGENAI DAMPAK HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA

49

Economic, Social and Cultural Rights) yang telah diratikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005. Sebagai perwujudan hak positif itu, negara harus berperan aktif untuk menjalankan tugasnya dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bagi individu-individu. Jika negara tidak berperan, maka hak-hak ini terabaikan, perlunya intervensi negara, karena dalam pemenuhan kebutuhan hidup, sumber-sumber material itu bersifat terbatas. Disinilah peranan aktif negara diperlukan agar kebutuhan-kebutuhan setiap individu dapat terpenuhi. Sedangkan hak-hak yang negatif adalah hak-hak sipil dan politik. Pengakuan internasional atas hak-hak ini diabadikan oleh PBB dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang juga telah diratikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Berbeda dengan hak positif, hak-hak jenis ini akan terselenggara apabila keterlibatan negara dibatasi. Keterlibatan negara ke dalam wilayah hak-hak dan kebebasan individual itu akan berarti bahwa hak-hak tersebut dilanggar. Semakin minimalnya keterlibatan atau campur tangan negara dalam wilayah hak-hak sipil dan politik, semakin terpenuhinya hak-hak dan kebebasan ini bagi setiap individu. Meski terbagi dalam dua rumpun besar bukan berarti hak yang satu memiliki kelebihan dengan yang lain atau prioritas. Dalam kajian HAM, kedua rumpun hak tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Atau dengan kata lain tidak terbagi (indivisible). Sehingga bila terjadi peristiwa pelanggaran HAM maka secara inheren kedua rumpun hak tersebut akan berkait satu dengan yang lain. Dalam melihat konik masyarakat versus Puslatpur TNI-AL tidak hanya berkait dengan pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya dimana terjadi perebutan kuasa tanah namun meningkat pada pelanggaran HAM yang masuk dalam ranah hak-hak sipil dan politik. Kekerasan yang dialami penduduk sekitar Puslatpur diantaranya penganiayaan, penembakan, terkena pecahan mortar, perampasan, pembakaran barang milik warga, perusakan hasil bumi, perusakan rumah. Bahkan tidak hanya itu, seringkali warga juga dikejutkan dengan kehadiran tank-tank di areal pekarangan tempat tinggal mereka seiring dengan kegiatan latihan tempur yang dilakukan TNI-AL. Pelanggaran hak-hak sipil dan politik yang dilakukan oleh aparat TNI-AL merupakan hak yang masuk dalam rumpun non-derogable rights atau hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.94 Adalah kewajiban Pemerintah Indonesia untuk melindungi warga negaranya dari usaha penyiksaan yang dilakukan oleh aparat atau suatu kelompok yang terorganisir. Indonesia telah meratikasi Konvensi Anti Penyiksaan dengan diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1998 yang berarti Pemerintah Indonesia telah bersedia untuk terikat (consent to be bound) dengan konvensi ini dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional. Larangan penyiksaan bersifat mutlak dan tanpa kecuali serta tiada suatu keadaan yang menjadikan penyiksaan sebagai tindakan sah.

94

Pengakuan terhadap non-derogable rights dalam konstitusi ditabalkan dalam Pasal 28I (1) Amandemen Kedua UUD 1945. Pasal 28I(1): Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

50

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Pelanggaran HAM yang terjadi juga memiliki hubungan erat dengan pelanggaran hukum humaniter. Penembakan, pembakaran benda-benda milik warga serta penggunaan senjata berat dalam melakukan teror secara otomatis melanggar HAM dimana negara yang seharusnya memberikan perlindungan (protection) justeru mengancam HAM warga negaranya. Dalam kaitannya dengan hak ekonomi, sosial dan budaya, selain persoalan tanah yang menjadi akar konik namun terjadi pelanggaran berkait dengan hak untuk mendapatkan hidup yang layak, perumahan yang layak serta kondisi pekerjaan yang aman dan terjamin. Kasus Alas Tlogo merupakan cerminan dari ketidakhadiran pemerintah dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah dalam unit-unit pelayanannya seperti aparat pemerintah daerah khususnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak berusaha memberikan penyelesaian sengketa perebutan kuasa tanah antara masyarakat dengan TNI-AL. Hal lain yang lebih penting yang patut disorot adalah ketiadaan aparat keamanan dalam hal ini kepolisian untuk mencegah konik ini. Hal ini tidak lazim di negara-negara demokrasi dimana bila terjadi konik khususnya konik agraria dimana polisi hadir guna mencegah terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan para pihak yang bersengketa. Pada kasus Pasuruan ini, terkesan sangat kuat bila TNI-AL diberikan kesempatan untuk menyelesaiakan konik agraria ini sendirian tanpa keterlibatan pihak lain terutama Deaprtemen Pertahanan yang dapat dipastikan penyelesaiannya digunakan dengan cara-cara militer yaitu penggunaan senjata. Penggunaan senjata dalam militer bertujuan untuk mematikan lawan sebagaimana losonya yaitu kill or be killed. Alhasil dapat diduga konik ini berujung pada pelanggaran HAM dari para penduduk di wilayah Puslatpur. Penembakan oleh aparat Marinir TNI-AL tidak memiliki dasar hukum dalam penggunaan kekerasan dan senjata. Kepolisian sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki dasar hukum untuk menghentikan terjadinya tindak kekerasan dengan menggunakan kekerasan dan senjata. Khusus tentang penggunaan kekerasan dan pengunaan senjata, PBB juga telah mengadopsi UN Basic Principles on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Ofcials.95 Prinsip ini dibagi dalam enam bagian yaitu, pertama, General Provisions (Ketentuan Umum); Kedua, Special Provisions (Ketentuan Khusus); Ketiga, Policing Unlawful Assemblies (Penertiban Pertemuan yang Tidak Sah); Keempat, Policing Persons in Custody or Detention (Pengamanan Orang dalam Pengawasan dan Penahanan); Kelima, Qualications, Training and Counselling ( Kualikasi, Pelatihan dan Konseling) dan Keenam, Reporting and Review Procedures (Pelaporan dan Evaluasi Prosedur).96 Dengan demikian mau tidak mau, sejak awal kepolisian harus lebih proaktif untuk terlibat untuk mencegah meningkatnya skala konik. Terlepas TNI-AL sebagai salah satu pihak dalam sengketa ini namun kepolisian memiliki tugas pokok untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 yaitu, Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.

Adopted by the Eight United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Havana, Cuba, 27 August to 7 September 1990. Pembahasan secara lebih lengkap mengenai penggunaan kekerasan dan senjata oleh aparat penegak hukum lihat pula Tim Imparsial, Praktik Brutalitas Polisi di Masa Transisi, (Jakarta: IMPARSIAL, 2006), hal. 16. 96 Ibid. hal. 16.
95

TINJAUAN MENGENAI DAMPAK HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA

51

52

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

BAB VII POLEMIK RELOKASI DAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PUSLATPUR TNI AL

A. Polemik Relokasi Meski mendapat banyak sorotan berbagai kalangan, namun TNI AL tetap bersikukuh untuk mempertahankan keberadaan Puslatpur TNI AL di atas tanah yang menjadi sengketa dengan warga. Sikap TNI AL terkait masalah tersebut dapat dilihat dari beberapa pernyataan petinggi-nya, mulai Panglima Armada Timur (Pangarmatim) sampai dari Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL). Salah satu upaya TNI AL untuk mempertahankan Puslatpur adalah dengan melakukan relokasi warga desa dari lokasinya saat ini. Rencana relokasi warga tersebut misalnya, ditegaskan oleh Panglima Armada Timur (Pangarmatim), Laksamana Muda Muchlas Sidiq. Menurutnya, warga akan direlokasi ke sekitar pinggiran lahan, sehingga bagian tengah lahan kosong. Selain itu, dalam proses relokasi tersebut setiap keluarga akan diberikan kompensasi uang sekitar Rp. 10 juta serta luas tanah sebanyak 500 persegi. Rencana anggaran relokasi tersebut akan diusulkan ke negara, melalui pimpinan masing-masing, yakni TNI AL dengan Pemkab Pasuruan.97 Lebih lanjut, terkait pembagian tanah ini, Pangarmatim juga mengatakan, bahwa jika saat ini ada sekitar 7.000 rumah yang terdaftar, maka ada 350 hektare tanah yang akan dilepas

97 http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&le=print&sid=7802, Ketua DPRD Pasuruan Minta Warga dan TNI AL Menahan Diri.

POLEMIK RELOKASI DAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PUSLATPUR TNI AL

53

kepada warga, ditambah 20% untuk fasilitas umum atau sekitar 70 hektare seperti bangunan sekolah, madrasah, dan sisanya untuk kepantingan desa. Total tanah yang dilepas kepada warga seluas 420 hektar.98 Jumlah tersebut tentunya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan total jumlah tanah warga yang diambil TNI AL yakni sebanyak 3.562 hektar. Selain itu, dia mengatakan bahwa relokasi rumah warga dilakukan secara bertahap. Warga yang paling mendesak direlokasi, seperti warga kurang mampu, atau rumah yang posisinya berada di tengah, maka relokasi akan segera didahulukan. TNI AL mengupayakan penempatan rumah baru bagi warga berada di pinggir lahan Puslatpur, sehingga keselamatan warga juga tetap terjaga pada saat prajurit TNI AL mengadakan latihan perang.99 Sikap kukuh TNI AL untuk mempertahankan Puslatpur juga ditunjukkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), dengan alasan sukarnya memindahkan dan memilih tempat latihan yang baru. Sebab katanya, hal itu harus melalui studi panjang dengan melihat dari segala aspek. Manurutnya, akan sangat sulit memindahkan bila belum melihat lokasi itu sendiri. Baginya akan sangat nantinya.100 Lebih lanjut, dia juga menambahkan bahwa wilayah itu sudah sangat ideal bagi Puslatpur karena memenuhi kebutuhan latihan tempur untuk tiga media; darat, laut dan udara. Kebutuhan tiga latihan media itu harus terintegrasi sehingga hasil didikan pasukan yang dihasilkan bisa maksimal.101 Sikap senada dari jajaran AL di bawahanya juga tidak jauh berbeda. Misalnya adalah pernyataan yang ditegaskan oleh Dankormar Mayjen (Mar) Nono Sampono, yang akan tetap melanjutkan keputusan KSAL dan melanjutkan kebijakan Dankormar sebelumnya tentang pengolahan lahan tersebut.102 Terlepas dari sikap TNI AL yang tetap ingin mempertahankan keberadaan Puslatpurnya di Pasuruan, alangkah baiknya bilamana kerangka solusi yang akan diambil tidak boleh dilepaskan dari analisa kondisi kewilayahan dan kependudukan serta prinsip supremasi sipil sebagai landasan penyelesaian yang demokratis. Kerangka ini harus menjadi acuan termasuk bagi Pemerintah sendiri dalam menentukan siapa pihak yang sebenarnya harus direlokasi. Dalam kaitan itu, jika melihat kondisi di lapangan dan fakta-fakta yang terjadi selama ini, sikap TNI AL tersebut sebenarnya dapat dipertanyakan. Memang tidak dipungkiri bahwa TNI AL sebagai aktor pertahanan negara memiliki kebutuhan pengadaan sebuah tempat yang dapat digunakan sebagai area latihan bagi prajuritnya agar mereka lebih terlatih dalam berperang. Namun, kebutuhan akan hal itu seharusnya didasarkan pada pilihan lokasi yang tepat, sehingga gelar latihan militer menjadi efektif tetapi juga tidak membawa akibat kerugian pada lingkungan dan warga yang ada di sekitarnya. Argumentasi KSAL di atas tentang sangat idealnya wilayah tersebut untuk dijadikan latihan perang di tiga media, darat, laut dan udara,103 sejak jauh-jauh hari sebenarnya sudah

Investor Daily, Diklat TNI AL Tetap Dibangun di Pasuruan, 04 Juni 2007 http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&le=print&sid=7802, Ketua DPRD Pasuruan Minta Warga dan TNI AL Menahan Diri. 100 Harian Waspada, TNI AL Tetap Bangun Puslatpur, Tolak Panggilan Komnas HAM, 07 Juni 2007. 101 Media Indonesia Online, TNI AL Sulit Pindahkan Puslatpur Marinir dari Grati, 14 Juni 2007. 102 Harian Waspada, TNI AL Tetap Bangun Puslatpur, Tolak Panggilan Komnas HAM, 07 Juni 2007 103 ibid
98 99

54

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

terbantahkan dengan sendirinya. Misalnya adalah keluarnya surat ketidaklayakan area perairan atau laut di wilayah tersebut untuk dilakukan pendaratan karena tidak memenuhi syarat sebagai tempat latihan.104 Belum lagi ditambah dengan adanya PLTGU terlepas bagaimana PLTGU itu masuk dan apakah memberikan manfaat bagi warga sekitar- yang secara jelas itu akan menyulitkan dilakukannya pendaratan di perairan wilayah tersebut. Ini menjadi bukti bahwa keinginan untuk mengintegralkan gelar latihan di tiga media sebagaimana ditegaskan KSAL sama sekali tidak bisa dilakukan. Selain itu, aktivitas gelar latihan oleh TNI AL tidak bisa dilakukan secara efektif karena berdekatan dengan wilayah pemukiman warga. Sebaliknya, keberadaan TNI AL dan aktivitasnya itu justru menimbukan berbagai gangguan dan kerugian bagi warga seiring dengan banyaknya kasus-kasus perampasan barang dan kekerasan prajurit TNI AL terhadap warga sekitar, serta merusak mata pencaharian warga. Untuk warga desa Semedusari dan Wates yang pada umumnya melandaskan sumber penghidupannya dengan menjadi nelayan, upaya relokasi tersebut tentu saja akan sangat merugikan mereka, yakni berdampak pada kehidupan ekonomi para warga desa. Sebab, relokasi ke wilayah lain tersebut akan mendorong mereka untuk merubah fokus kegiatan ekonominya, dari yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan akan bealih profesi ke yang lainnya seperti bertani atau bedagang. Sementara menjalani profesi sebagai nelayan adalah keahlian satu-satunya bagi mereka. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa rencana TNI AL yang akan merelokasi warga dari atas tanah yang diklaim milik TNI AL tersebut, merupakan langkah yang melampaui kewenangannya dalam kerangka supremasi sipil mengngat hal ini merupakan porsi Departemen Pertahanan. Sehingga tidak ada alasan lain bagi Puslatpur TNI-AL sebagai pihak yang harus direlokasi mengingat wargalah yang berada dalam posisi kuat baik dalam klaim legal maupun sejarah dalam kepemilikan tanah itu B. Implementasi Prinsip Supremasi Sipil Prinsip supremasi sipil mengandung makna adanya kekuasaan sipil dalam mengendalikan militer melalui pejabat-pejabat sipil yang dipilih oleh rakyat. Pengendalian oleh pejabat sipil memungkinkan suatu bangsa mengembangkan nilai-nilai, lembaga-lembaga, dan praktekpraktek berdasarkan kehendak rakyat banyak dan bukan atas keinginan para pemimpin militer.105 Konsep supremasi sipil bukanlah sekedar supremasi orang-orang sipil terhadap personil-personil militer karena prinsip ini menjunjung tinggi keputusan-keputusan politik dari the elected politicians sebagai pelaksana dari asas kedaulatan rakyat.106 Pengertian lain tentang supremasi sipil berarti antitesis dari dominasi militer melalui doktrin dwifungsi ABRI.107

Lihat surat Laporan Urusan Daerah Tahun 1962 TNI AL. Samuel P. Huntington, Mereformasi Hubungan Sipil Militer dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner (ed.), Hubungan Sipil-Militer & Konsolidasi Demokrasi, Judul Asli: Civil-Military Relations and Democracy, Penerjemah: Tri Wibowi Budi Santoso, (Jakarta: PT Raja Grando, 2000). 106 Lihat Salim Said, Militer dan Politik, Dulu, Kini dan Kelak, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal. 302. 107 M. Fajrul Falaakh, Persepsi Militer atas Supremasi Politik Sipil di Indonesia di Tengah Transisi Menuju Demokrasi, dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (eds.), Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: CSIS, 1999), hal. 60.
104 105

POLEMIK RELOKASI DAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PUSLATPUR TNI AL

55

Dalam membangun hubungan sipil-militer, Huntington108 misalnya memperkenalkan dua bentuk kontrol sipil atas militer. Pertama, kontrol sipil subyektif (subjective civilian control) yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini bisa diartikan sebagai upaya meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok-kelompok sipil. Kedua, kontrol sipil obyektif (objective civilian control) yakni memaksimalkan profesionalisme militer. Model ini menunjukkan adanya pembagian kekuasaan yang kondusif antara kelompok militer dan kelompok sipil menuju perilaku profesional militer. Bagi Huntington, penegakan paradigma supremasi sipil identik dengan adanya kontrol efektif dari sipil terhadap militer. Inti dari kontrol sipil obyektif adalah pengakuan akan militer profesional sedangkan kontrol sipil subyektif adalah pengingkaran sebuah independensi militer. Kontrol sipil obyektif akan melahirkan hubungan sipil-militer yang sehat dan lebih berpeluang menciptakan prinsip supremasi sipil (civilian supremacy). Sebaliknya, kontrol sipil subyektif akan membuat hubungan sipil-militer menjadi tidak sehat. Bagi Indonesia, prinsip supremasi sipil merupakan keniscayaan demokrasi yang harus diterima, dijalankan dan diimplementasikan dalam rangka merumuskan kebijakan pertahanan negara dan mencerminkan kedudukan TNI di dalam sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. Dalam pengembangan sistem pertahanan negara, supremasi sipil merupakan prinsip normatif utama yang harus ditegakkan agar angkatan bersenjata Indonesia dapat dikembangkan menjadi kekuatan militer yang profesional dan tangguh. Derivasi dari prinsip ini mengharuskan kelompok sipil untuk mengembangkan suatu sistem ketatanegaraan yang mengatur tataran kewenangan TNI. Prinsip supremasi sipil menyaratkan agar TNI tunduk dan patuh terhadap otoritas sipil. Berdasarkan prinsip ini, segala tindakan TNI yang berkaitan dengan tugasnya harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari otoritas sipil yang terpilih melalui proses yang demokratis (Pemilu).109 Idealnya, prinsip supremasi sipil justru menuntut peran aktif kelompok sipil untuk menetapkan secara rinci kedudukan TNI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.110 Penetapannya meliputi hubungan kelembagaan TNI dengan empat institusi sipil lainnya, yakni Presiden, Menteri Pertahanan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mahkamah Agung (MA)111, dan aktor tunggal tidak diperkenankan mengambil inisiatif penggunaan instrumen kekerasan bersenjata dalam pengambilan kebijakan mengenai sistem pertahanan negara. Presiden merupakan institusi sipil utama yang bertugas merumuskan strategi pertahanan nasional dan bersama parlemen memiliki wewenang untuk menggerakkan pasukan TNI. Walaupun presiden memiliki wewenang penuh untuk mengerahkan TNI, wewenang tersebut hanya bisa dijalankan melalui suatu prosedur baku yang memungkinkan presiden untuk menggali alternatif-alternatif solusi non-militer. Menteri Pertahanan berperan sebagai pembantu Presiden dalam bidang pertahanan. Menteri Pertahanan bertugas untuk mengembangkan kebijakan dan strategi pertahanan serta menyiapkan kebutuhan-kebutuhan

Samuel P. Huntington, Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Sipil-Militer, Judul Asli: The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, Penerjemah: Deasy Sinaga, (Jakarta, PT Grasindo, 2003), hal. 87-93. 109 Rusdi Marpaung, dkk (eds.), Menuju TNI Profesional: Tidak Berbisnis dan Tidak Berpolitik [Perjalanan Advokasi RUU TNI], Jakarta, Imparsial, 2005, hal. 8. 110 Indonesia Working Group on Security Sector Reform, Naskah Akademik Rancangan Uundang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia, (Jakarta: Propatria, 3-4 Maret 2003), hal. 6. 111 Andi Widjajanto (ed.), Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, (Jakarta: Propatria, 2004), hal. 7.
108

56

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

masing-masing angkatan (matra) untuk menyelenggarakan pembinaan postur pertahanan. Penjabaran strategi pertahanan nasional yang dirumuskan presiden dan penyelenggaraan pembinaan postur pertahanan secara berkala dilaporkan Menteri Pertahanan kepada DPR karena DPR memiliki pengaruh tidak langsung yang cukup kuat terhadap TNI melalui wewenang untuk menetapkan APBN.112 Mengacu kepada beberapa komponen sipil di atas, dalam tragedi Alastlogo 31 Mei 2007, kaitannya dengan keberadaan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNI AL, keterlibatan tiga institusi sipil (Presiden, Menteri Pertahanan dan DPR serta badan lain yang terkait dengan penataan pertanahan) termasuk masyarakat sipil yang terkait sangat diperlukan, agar aktor militer tidak lagi memiliki wewenang untuk menentukan wilayah yang akan digunakan sebagai sarana dan prasarana militer. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, operasionalisasi prinsip supremasi sipil melalui tiga komponen dasar, (1) Presiden sebagai pemegang otoritas politik tertinggi di bidang pertahanan negara; (2) Menteri Pertahanan yang memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan pertahanan negara; dan (3) Panglima TNI sebagai pelaksana kebijakan pertahanan negara, harus dijadikan dasar dalam merumuskan agenda-agenda kebijakan dalam rangka penegakan prinsip supremasi sipil di Indonesia. Jamak diketahui, tidak diacunya prinsip negara demokratis, supremasi sipil, hukum humaniter, dan HAM dalam perumusan dan penetapan suatu wilayah sebagai instalasi militer dalam strategi kebijakan pertahanan negara mengakibatkan terjadinya peristiwa bentrokan berdarah, seperti di Alastlogo, Pasuruan.. Dalam hal ini, TNI nampaknya telah menjadi subyek yang otonom dalam menentukan kebijakan pertanahannya. Padahal, dalam implementasi konsep supremasi sipil dalam situasi negara yang demokratis, penetapan kebijakan pertahanan ataupun kebijakan pertanahan terkait dengan pengaturan sarana dan prasarana untuk militer, merupakan kewenangan institusi sipil. Karenanya, untuk tujuan demikian, keberadaan Puslatpur Pasuruan dalam konteks reformasi sektor keamanan, formulasi kebijakannya harus disingkronkan dengan berbagai reformasi kebijakan di sektor/sistem keamanan lainnya--yang mencakup aktor-aktor inti keamanan, manajemen keamanan dan aktor pelaku kontrol (oversight), lembaga-lembaga penegakan hukum dan peradilan, untuk membangun sebuah tatanan penyelenggaraan perlindungan bagi negara dan masyarakat di dalamnya berdasarkan prinsip good governance serta mencerminkan prinsip-prinsip democratic control by political authority, public accountability, popular participation, transparancy serta rule of law dan respect for human rights. Berangkat dari kerangka tujuan utama reformasi sektor keamanan di atas, penetapan sebuah wilayah di Indonesia untuk dijadikan sebagai instalasi tempur bagi militer seperti di Pasuruan tidak serta merta hanya mengacu kepada kebutuhan dasar militer itu sendiri (latihan perang) atau didasarkan kepada keputusan di lingkungan internal militer (Mabes TNI).. Penentuan lokasi, pengusahaan lokasi serta kepemilikannya merupakan wewenang dari Departemen Pertahanan sebagai reeksi dari supremasi sipil serta tugasnya dalam

112

Ibid.

POLEMIK RELOKASI DAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PUSLATPUR TNI AL

57

menyusun kerangka umum pertahanan di Indonesia. Namun demikian, Dephan bukanlah aktor tunggal yang memiliki kewenangan untuk menentukan lahan bagi militer. Disini Dephan perlu berkoordinasi dengan lembaga lain yang berwenang dalam penataan pertanahan seperti Pemda dan BPN. Lebih dari itu, kebutuhan untuk pengadaan tanah bagi militer juga harus terlebih dahulu melibatkan dan mendapatkan persetujuan dari masyarakat yang terkait. Penentuan dan Penyelesaian yang dilakukan oleh Mabes TNI serta Mabes masing-masing angkatan jelas menyalahi prinsip supremasi sipil yang telah menjadi bagian dari prinsip demokrasi di Indonesia. Penyelesaian sengketa tanah khususnya yang melibatkan militer dengan masyarakat, pemerintah harus membentuk tim gabungan yang melibatkan beberapa elemen, antara lain: Departemen Pertahanan (Dephan), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Komnas HAM, Pakar hukum agraria, Organisasi Petani serta Organisasi non-Pemerintah (Ornop) dan masyarakat yang terkait. Tim ini secara khusus memiliki mandat menyelesaikan kasus-kasus tanah sengketa yang melibatkan militer dan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Dalam penyelesaiannya, tim gabungan ini harus melandaskan pada dua aspek sebagai ukuran, pertama, analisa dampak lingkungan (Amdal); kedua, analisa dampak hak asasi manusia (Amdah). Dengan diterapkannya mekanisme supremasi sipil melalui kontrol sipil obyektif seperti di atas dengan melibatkan Badan Pertahanan Nasional (BPN), pemerintah daerah dan masyarakat sipil yang berkait dalam penyelesaian sengketa tanah di sekitar Puslatpur TNI AL di Pasuruan, sepenuhnya ditujukan untuk membangun kekuatan TNI yang profesional dan modern yang tunduk dan patuh kepada otoritas politik, hukum dan HAM dan tata nilai demokrasi.

58

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

asus sengketa penguasaan tanah di Pasuruan antara masyarakat dengan TNI AL terkait tanah yang kini digunakan sebagai Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNI AL, dapat dikatakan sebagai miniatur konik penguasaan tanah antara masyarakat dengan militer di Indonesia. Dalam banyak kasus, sebagaimana juga terjadi di Pasuruan, sengketa ini kerap dipenuhi oleh berbagai tindak kekerasan atau aksi penembakan aparat militer terhadap masyarakat. Nuansa terjadinya praktik bisnis militer baik berupa komersialisasi aset negara serta pemberian jasa pengamanan atau penjagaan kepada pihak swasta sangat terasa dalam kasus ini. Padahal kesemua itu adalah bagian dari daftar bisnis yang harus dihapuskan berdasarkan Pasal 76 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Penembakan yang dilakukan anggota Marinir pada 30 Mei 2007 mengakibatkan 4 orang warga Alastlogo meninggal dunia. Vonis terhadap 13 anggota Marinir yang menjadi tersangka penembakan sudah diputuskan pada 14 Agustus 2008. Namun, putusan itu meniadakan adanya pertanggungjawaban komando dimana pertanggungjawaban komando semestinya menjadi tanggung jawab Komandan Pusat Latihan tempur Marinir Grati, Mayor Husni Sukarwo dan Komandan Korps Marinir Mayjen Safzen Noerdin. Mayor Husni hanya dibebastugaskan dari jabatan tanpa menjalani proses pemeriksaan di pengadilan, sementara Mayjen Safzen digantikan oleh Mayjen Nono Sampono. Melihat kondisi demikian, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan berdasarkan hasil kajian tim Imparsial, antara lain :

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

59

1. Perlunya tindakan tegas terhadap para anggota Marinir TNI-AL pelaku penembakan warga sipil dengan membawa mereka ke Pengadilan HAM, dimana para penanggung jawab komando masih bebas. Hal ini penting mengingat pelanggaran yang mereka lakukan termasuk kategori pelanggaran berat HAM. Untuk itu, sesuai dengan UU No. 39 Tahun 1999 jo. Pasal 18-20 UU No. 26 Tahun 2000, Komnas HAM dalam kapasitasnya selaku penyelidik harus secepatnya memulai penyelidikan kembali terhadap kasus ini. Membiarkan kasus ini masuk dalam mekanisme Peradilan Militer akan berujung pada impunitas mengingat sangat kentalnya dukungan serta simpati yang diberikan para petinggi TNI terhadap para pelaku dan masih bebasnya para penanggung jawab komando atas Puslatpur TNI AL Pasuruan. 2. Imparsial mendesak agar dalam penyelesaian sengketa tanah khususnya yang melibatkan militer dengan masyarakat, pemerintah harus membentuk tim gabungan yang melibatkan beberapa elemen, antara lain: Departemen Pertahanan (Dephan), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Komnas HAM, Pakar hukum agraria, Organisasi Petani serta Organisasi non-Pemerintah (Ornop). Tim ini secara khusus memiliki mandat menyelesaikan kasuskasus tanah sengketa yang melibatkan militer dan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Dalam penyelesaiannya, tim gabungan ini harus melandaskan pada dua aspek sebagai ukuran, pertama, analisa dampak lingkungan (Amdal); kedua, analisa dampak hak asasi manusia (Amdah). 3. Imparsial mendesak Departemen Pertahanan untuk segera menjalankan kewajibannya dalam menentukan instalasi dan infrastruktur militer, sehingga dapat mencegah keberlanjutan permasalahan sengketa tanah tersebut. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, menugaskan Departemen Pertahanan sebagai wakil pemerintah dalam hal pertahanan untuk menentukan wilayah instalasi militer dengan memenuhi hak-hak masyarakat (Pasal 22 ayat 1) dan menetapkan wilayah instalasi militer dengan Peraturan Pemerintah (pasal 22 ayat 2) setelah memenuhi hak-hak masyarakat. Dengan demikiran, maka penentuan wilayah menjadi instalasi militer secara mandiri oleh TNI, merupakan bentuk pengabaian terhadap UU tersebut. 4. Selain memperhatikan kedua aspek itu, dalam penentuan penempatan instalasi dan infrastuktur militer, TNI tidak dapat dibiarkan secara langsung dan mandiri menentukan lokasi. Penentuan lokasi, pengusahaan lokasi serta kepemilikannya merupakan wewenang dari Departemen Pertahanan sebagai reeksi dari supremasi sipil serta tugasnya dalam menyusun kerangka umum pertahanan di Indonesia. Penyelesaian yang dilakukan oleh Mabes TNI serta Mabes masing-masing angkatan jelas menyalahi prinsip supremasi sipil yang telah menjadi bagian dari prinsip demokrasi di Indonesia. 5. Dengan banyaknya instalasi militer yang berada di daerah tidak tepat secara lokasi, sudah seharusnya pemerintah secara serius melakukan penataan ulang bagi seluruh instalasi dan infrastruktur militer, khususnya yang berada dalam wilayah padat penduduk sipil. Adanya keharusan penataan ulang ini dilandaskan pada keberadaan instalasi militer yang banyak menyalahi ketentuan Hukum Humaniter Internasional. Salah satu prinsip yang harus ditaati dalam penataan ini adalah adanya keharusan untuk memperhatikan jarak humaniter sebagai implementasi Doktrin Perang Adil (Just War Doctrine) dimana terdapat jarak antara instalasi militer dengan area pemukiman warga sipil. Keberadaan Puslatpur TNI AL di Pasuruan adalah salah satu contoh di mana lokasinya tepat berada di area pemukiman warga sipil yang seharusnya direlokasi dari pemukiman penduduk.

60

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

6. Polri selaku institusi penegak hukum harus secara proaktif terlibat dalam upayanya untuk mencegah terjadinya kekerasan yang dilakukan militer dalam sengketa tanah dengan masyarakat. Tidak ada alasan bagi Polri untuk tidak terlibat didalamnya mengingat fungsi penegakan hukum serta keamanan berada di pundak Polri sebagai amanat UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

61

62

SENGKETA KASUS TANAH MASYARAKAT VERSUS MILITER

Anda mungkin juga menyukai