Anda di halaman 1dari 21

DESKRIPSI KESUSASTRAAN BATAK

Dosen Pengampu: Prof. Bani Sudardi, M.Hum

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


“Naskah Nusantara”

Oleh:

1. Anisah Sholichah (C0209007)


2. Arintha Ayu W (C0209008)
3. Ayu Wulandari (C0209009)
4. Candra Rini (C0209011)
5. Christin Cahyoningrum (C0209012)

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010
BAB I

PENDAHULUAN

Sastra daerah baik lisan maupun tulisan merupakan kekayaan


budaya daerah yang kelestariannya ditentukan oleh pendukung budaya
daerah yang bersangkutan. Sastra daerah menyimpan nilai-nilai
kedaerahan dan akan memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi
perkembangan sastra di daerah dan Indonesia pada umumnya.

Salah satu sastra daerah yang berkembang di Indonesia adalah


sastra di daerah Sumatera Utara. Dilihat dari segi sosial budayanya,
daerah Sumatra Utara dibagi kedalam tiga kelompok etnis, yaitu : Batak,
Melayu dan Nias (walaupun sebagian ahli antropologi budaya
menemukan suku Nias itu kedalam etnis Batak).

Sastra yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sastra Batak.
Sastra Batak merupakan salah satu bentuk sastra yang tumbuh dan
berkembang di daerah Batak, Sumatera Utara. Yang termasuk kelompok
etnis Batak terdiri dari : TOBA (Tapanuli Utara), ANGKOLA-MANDAILING
(Tapanuli Selatan), KARO, SIMALUNGUN dan PAKPAK-DAIRI. Kelompok
etnis Melayu terdiri dari Melayu pantai Timur Sumatra Utara, meliputi
Langkat, Deli Serdang, Asahan dan Labuhanbatu.
BAB II

PEMBAHASAN

Sastra Batak merupakan hasil kebudayaan yang berkenaan


dengan cerita rakyatnya, namun dalam hal ini hanya khusus pada
kelompok etnis Batak saja yang terdiri dari: Batak Toba (Tapanuli Utara),
Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola/ Mandailing (Tapanuli
Selatan), dan Batak Pak-Pak/ Dairi. Cerita rakyat daerah Sumatera Utara
biasanya bertemakan tokoh Mitologis dan Legendaris yang mengandung
nilai-nilai sosial budaya yang sesuai dengan nilai Pancasila.

Selain sastra Batak adapula Surat Batak adalah nama aksara yang
digunakan untuk menuliskan bahasa Batak. Sastra Batak masih
berkerabat dengan aksara Nusantara lainnya. Aksara ini memiliki
beberapa varian bentuk, tergantung bahasa dan wilayah. Secara garis
besar, ada empat varian surat Batak di Sumatra, yaitu Karo, Toba, Dairi,
Simalungun, dan Mandailing. Aksara ini wajib diketahui oleh para datu,
yaitu orang yang dihormati oleh masyarakat Batak karena menguasai ilmu
sihir, ramal, dan penanggalan. Kini, aksara ini masih dapat ditemui dalam
berbagai pustaha, yaitu kitab tradisional masyarakat Batak.

Dalam sastra Batak, terdapat beberapa jenis karya sastra yang


berkembang. Secara garis besar, jenis sastra Batak ada 2, yakni:

1. Jenis sastra prosa

2. Jenis sastra puisi

1. Jenis Sastra Prosa


Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi
karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta
bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa
berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang". Jenis
tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta
atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar,
majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media
lainnya.prosa juga dibagi dalam dua bagian,yaitu prosa lama dan
prosa baru,prosa lama adalah prosa bahasa indonesia yang belum
terpengaruhi budaya barat,dan prosa baru ialah prosa yang dikarang
bebas tanpa aturan apa pun.

Prosa biasanya dibagi menjadi empat jenis: prosa naratif, prosa


deskriptif, prosa eksposisi, dan prosa argumentatif. Prosa kadangkala
juga disebut dengan istilah "gancaran".

Dalam sastra Batak, terdapat dua jenis sastra prosa :

a. Turi – turian (legenda)

b. Hikayat

a. Turi – turian (legenda)

Turi – turian atau legenda adalah cerita prosa rakyat yang


dianggap oleh yang empunya cerita sebagai sesuatu yang benar-
benar terjadi di daerah tersebut.

Beberapa judul dari turi- turian di antaranya:

1. Sampuraga

2. Batu Gantung-Parapat
3. Boru Saroding Pandiangan

4. Asal Mula Danau Si Losung dan Si Pinggan

5. Legenda Sipiso Somalim

b. Hikayat

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama


dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan
dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun
kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian
serta mukjizat tokoh utama. Sebuah hikayat dibacakan sebagai
hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang.
Salah satu judul hikayat Batak adalah hikayat Boru Napuan.

2. Jenis Sastra Puisi

Puisi adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk


kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya.

Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan


sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi
dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli
modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak
sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia,
yang menjadi sumber segala kreativitas.

Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar,


zigzag, dll). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk
menunjukkan pemikirannnya. Puisi kadang-kadang juga hanya berisi
satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal
tersebut mungkin membuat puisi tersebut menjadi tidak dimengerti.
Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang
diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan penulis dalam
menciptakan sebuah puisi. Ada beberapa perbedaan antara puisi
lama dan puisi baru.

3. Bentuk Sastra Batak

Kita mengenal berbagai bentuk sasra Batak kuno, antara lain


sebagai berikut:

1. Puisi
2. Perumpamaan
3. Pantun-pantun
4. Doa-doa
5. Dongeng
6. Peribahasa

Beberapa Judul Sastra Batak

Sastra Batak memiliki banyak karya sastra. Di antara karya sastra yang
dikenal umum adalah sebagai berikut:

I. Cerita Orang Dewasa

Cerita orang dewasa yang menampilkan tokoh Mitologis terdiri dari:

a. Si Raja Omas (Cerita Rakyat Simalungun)


b. Lingga dan Purba (Cerita Rakyat Tapanuli Utara)
c. Putri Berdarah Putih (Batak Toba)
d. Si Boru Dayang (Batak Karo)
e. Balige Raja (Batak Toba)
f. Putri Dewa Gunung Lumut (Pak-pak Dairi)
g. Raja Dangol Halungunan

Cerita rakyat yang menampilkan tokoh Legendaris terdiri dari:

a. Terjadinya Tinggi Raja (Cerita rakyat Simalungun)


b. Asal-usul Sidakalang (Cerita Rakyat Dairi)
c. Marga Purba (Cerita rakyat Karo)
d. Silahi Sabungan dan Siboru Batang Hari (Cerita rakyat Tapanuli
Utara)
e. Siboru Sanduduk (Cerita rakyat Tapanuli Utara)
f. Siboru Tumbaga ((Cerita rakyat Tapanuli Tengah)
g. Namora Pande Bosi Lubis (Cerita rakyat Tapanuli Selatan)
h. Baleo Mahato (Batak Angkola Mandailing)
i. Datu Kandibata/ Guru Kandibata (Batak Karo)
j. Si Boru Ginting Pase (Batak Karo)
k. Si Taganbulu (Batak Toba)
l. Keramat Kubah Pandan Perdagangan (Batak Simalungun)

II. Cerita anak-anak

a. Jonaha (Cerita rakyat Simalungun)


b. Carito Na Marudut (Cerita rakyat Tapanuli Selatan)
c. Si Betah-Betah (Batak Karo)
d. Asal-usul Padi Pulut (Pak-pak Dairi)
e. Anak yang Baik Hati (Batak Angkola Mandailing
f. Burung Beo (Pakpak Dairi)

4. Tokoh-tokoh Sastra Batak

a. Sanusi Pane (1905-1968)


Sanusi Pane, sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Pria
kelahiran Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, ini juga
berprofesi sebagai guru dan redaktur majalah dan surat kabar. Ia juga
aktif dalam dunia pergerakan politik, seorang nasionalis yang ikut
menggagas berdirinya “Jong Bataks Bond.” Karya-karyanya banyak
diterbitkan pada 1920 -1940-an. Meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968.
Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang
guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing
Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya terdidik dengan baik
oleh orang tuanya. Di antara saudaranya yang juga menjadi tokoh
nasional,adalah Armijn Pane (sastrawan), dan Lafran Pane salah
(seorang pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam).
Sanusi Pane menempuh pendidikan formal HIS dan ElS di Padang
Sidempuan, Tanjungbalai, dan Sibolga, Sumatera Utara. Lalu melanjut
ke MULO di Padang dan Jakarta, tamat 1922. Kemudian tamat dari
Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sahari, Jakarta, tahun 1925.
Setelah tamat, ia diminta mengajar di sekolah itu juga sebelum
dipindahkan ke Lembang dan jadi HIK. Setelah itu, ia mendapat
kesempatan melanjut kuliah Othnologi di Rechtshogeschool. Setelah
itu, pada 1929-1930, ia mengunjungi India. Kunjungan ke India ini
sangat mewarnai pandangan kesusasteraannya. Sepulang dari India,
selain aktif sebagai guru, ia juga aktif jadi redaksi majalah TIMBUL
(berbahasa Belanda, lalu punya lampiran bahasa Indonesia). Ia banyak
menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik.

b. Amir Hamzah, Tengku (1911-1946)

Amir Hamzah lahir sebagai seorang manusia penyair pada 28


Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Ia seorang
sastrawan Pujangga Baru. Pemerintah menganugerahinya Pahlawan
Nasional. Anggota keluarga kesultanan Langkat bernama lengkap
Tengku Amir Hamzah Indera Putera, ini wafat di Kuala Begumit, 20
Maret 1946 akibat revolusi sosial di Sumatera Timur. Sebagai seorang
keluarga istana (bangsawan), ia memiliki tradisi sastra yang kuat.
Menitis dari ayahnya, Tengku Muhammad Adil, seorang pangeran di
Langkat, yang sangat mencintai sejarah dan sastra Melayu. Sang Ayah
(saudara Sultan Machmud), yang menjadi wakil sultan untuk Luhak
Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur,
memberi namanya Amir Hamzah adalah karena sangat mengagumi
Hikayat Amir Hamzah. Sejak masa kecil, Amir Hamzah sudah hidup
dalam suasana lingkungan yang menggemari sastra dan sejarah. Ia
bersekolah di Langkatsche School (HIS), sekolah dengan tenaga
pengajar orang-orang Belanda. Lalu sore hari, ia belajar mengaji di
Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di
belakang Masjid Azizi Langkat. Setamat HIS, Amir melanjutkan studi ke
MULO di Medan, tapi tidak sampai selesai. Ia pindah ke MULO di
Jakarta. Di Jawa perkembangan kepenyairannya makin terbentuk.
Apalagi sejak sekolah di Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan
Sastra Timur di Solo, Amir menulis sebagian besar sajak-sajak
pertamanya. Di sini ia memperkaya diri dengan kebudayaan modern,
kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia lainnya.

c. Henry Guntur Tarigan

Henry Guntur Tarigan dilahirkan tanggal 23 September 1933, di


Linggajulu, Kabanjahe, Sumatra Utara. la menyelesaikan pendidikan di
Fakultas Keguruan dan llmu pendidikan Universitas Padjadjaran
Bandung (1962); mengikuti Studi Pascasarjana Lingustik di
Rijksuniversiteit Leiden, Belanda (1971—1973); meraih gelar doktor
dalam bidang iinguistik dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia
(1975) dengan disertasi berjudul "Morfologi Bahasa Simalungun".
Karya-karyanya antara lain adalah Struktur Sosial Masyarakat
Simalungun, Morfologi Bahasa Simalungun, Prinsip-Prinsip Dasar Puisi,
Prinsip-Prinsip Dasar Fiksi, Prinsip-Prinsip Dasar Drama, Prinsip-
Prinsip Dasar Kritik Sastra, Pengantar Sintaksis, Bahasa Karo, Sastra
Lisan Karo, Percikan Budaya Karo, Psikolinguistik, Tata
BahasaTagmemik, Linguinstik Konstratif, Menyimak (Sebagai Suatu
Keterampilan Berbahasa), Berbicara (Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa), Membaca (Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa).

d. Mula Harahap

Mula Harahap: Dari ‘Si Kuntjung’ ke Gunung Mulia Perawakannya


khas. Tinggi dan berambut gondrong sebahu. Melihat penampilannya,
orang tak akan menduga, jika dunia Mula Harahap adalah buku. Sejak
kecil, sosok ini sudah mencintai buku dan berharap suatu saat nanti
semua orang akan mudah mengakses buku di mana saja dan
terjangkau masyarakat luas. Mula Harahap memulai karir dengan
menulis cerita untuk anak-anak takala penulis Julius R Sjiranamual dan
Asmara Nababan menggembalakan majalah anak-anak “Kawanku.”
Kemudian dia selama bertahun-tahun menjadi editor penerbit buku BPK
Gunung Mulia, sebelum akhirnya mendirikan penerbit buku sendiri yaitu
“Komindo Mitra Utama,” sekaligus aktif menjadi Sekertaris IKAPI
(Ikatan Penerbit Indonesia) sejak tahun 1988 sampai 2006. Meskipun
tidak lagi menjabat sebagai Sekertaris IKAPI, aktivitas Mula Harahap
bukannya surut, dia tetap memberi waktu dan perhatiannya pada
IKAPI, lewat Yayasan Adi Karya, sebuah yayasan di bawah naungan
IKAPI yang memberikan award untuk buku-buku terbaik setiap tahun.
Kesibukannya yang lain sebagai care taker YOKOMA (Yayasan
Komunikasi Massa), sebuah organisasi di bawah naungan Persatuan
Gereja Indonesia (PGI), yang di masa lalu sempat jadi tempat mangkal
seniman-seniman yang cukup punya nama, seperti Teguh Karya,
Enteng Tanamal, Julius R Sjiranamual, Franky Rorimpande dan banyak
lagi lainnya. Menjadi penerbit bukanlah pekerjaan sesederhana yang
dianggap banyak orang. Tidak semudah menjadi calon anggota
legislatif (caleg). Maka, tak heran begitu kecilnya minat orang untuk
menjadi penerbit. Cintanya pada buku membuat Mula tak terpisahkan
dari penerbitan, meskipun secara finansial dia lebih banyak menghitung
kerugian daripada laba. Mula Harahap beranggapan penerbit buku itu
satu keharusan. “Entah bagaimana pun caranya, penerbit buku ‘Mitra
Utama’ harus tetap jalan terus,” kata pria yang lahir di Palangkaraya
tahun 1953 ini. Pemikirannya selama aktif menjadi Sekertaris IKAPI
selalu mendapat respon dari para penerbit dan pemerhati buku. Antara
lain, kritiknya terhadap Undang-Undang Perbukuan, yang ditulisnya
secara komperhensif dan dengan sikap yang membela kepentingan
penerbit.

Menurutnya Undang Undang Perbukuan justru ikut membuat lesu


dunia penerbitan buku itu sendiri. Para penerbit buku jadi kehilangan
motivasi, karena sudah terbiasa dapat proyek dan menyerahkan segala
kebijakan pada pemerintah. Dalam hal ini, Mula merujuk pada
pemerintahan Orde Baru yang disebutnya Otoritarianisme ala Suharto.
Dampak lain dari undang-undang perbukuan itu, adalah bubarnya
PMGM (Pehimpunan Masyarakat Gemar Membaca). Pada waktu
PMGM itu dibentuk, IKAPI sebagai lembaga yang memayungi berbagai
penerbit buku, ikut masuk dalam lingkaran PMGM, karena arah angin
politik waktu itu memang ke sana, ditambah lagi keyakinan bahwa
PMGM akan dapat menyelesaikan masalah dan menyamakan persepsi
antar penerbitan buku. Namun, dalam perjalanannya, perhimpunan itu
merasa tidak nyaman lagi. Karena ada usaha dari struktur organisasi
PMGM untuk menggolkan Undang-Undang Perbukuan itu di parlemen.

5. Bentuk Penyajian Karya Sastra Batak

Bentuk penyajian karya sastra Batak biasanya berbentuk prosa dan


puisi. Adapun bentuk penyajiannya sebagai berikut:
1. Bentuk penyajian Prosa

Berikut ini merupakan salah satu contoh karya sastra yang


berbentuk legenda yang berjudul “Asal Mula Danau Si Losung dan
Si Pinggan”. Legenda ini berasal dari daerah Silahan, Kecamatan
Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.

Asal Mula Danau Si Losung dan Si Pinggan

Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli


Utara, hiduplah sepasang suami-istri yang memiliki dua orang anak
laki-laki. Yang sulung bernama Datu Dalu, sedangkan yang bungsu
bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli
pengobatan dan jago silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu
mewarisi keahlian yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia sangat tekun
mengajari mereka cara meramu obat dan bermain silat sejak masih
kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pemuda yang gagah
dan pandai mengobati berbagai macam penyakit.

Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk
mencari tumbuhan obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah
menjelang sore, sepasang suami-istri itu belum juga kembali.
Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk mencari
kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka
menemukan kedua orang tua mereka telah tewas diterkam
harimau.

Dengan sekuat tenaga, kedua abang-adik itu membopong


orang tua mereka pulang ke rumah. Usai acara penguburan, ketika
hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua
mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak
memiliki harta benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat
yang berlaku di daerah itu, apabila orang tua meninggal, maka
tombak pusaka jatuh kepada anak sulung. Sesuai hukum adat
tersebut, tombak pusaka itu diberikan kepada Datu Dalu, sebagai
anak sulung.

Pada suatu hari, Sangmaima ingin meminjam tombak


pusaka itu untuk berburu babi di hutan. Ia pun meminta ijin kepada
abangnya.

“Bang, bolehkah aku pinjam tombak pusaka itu?”

“Untuk keperluan apa, Dik?”

“Aku ingin berburu babi hutan.”

“Aku bersedia meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup


menjaganya jangan sampai hilang.”

“Baiklah, Bang! Aku akan merawat dan menjaganya dengan baik.”

Setelah itu, berangkatlah Sangmaima ke hutan.


Sesampainya di hutan, ia pun melihat seekor babi hutan yang
sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir panjang,
dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu.
“Duggg…!!!” Tombak pusaka itu tepat mengenai lambungnya.
Sangmaima pun sangat senang, karena dikiranya babi hutan itu
sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata babi hutan itu
melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.

“Wah, celaka! Tombak itu terbawa lari, aku harus mengambilnya


kembali,” gumam Sangmaima dengan perasaan cemas.

Ia pun segera mengejar babi hutan itu, namun


pengejarannya sia-sia. Ia hanya menemukan gagang tombaknya di
semak-semak. Sementara mata tombaknya masih melekat pada
lambung babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai
panik.

“Waduh, gawat! Abangku pasti akan marah kepadaku jika


mengetahui hal ini,” gumam Sangmaima.

Namun, babi hutan itu sudah melarikan diri masuk ke dalam


hutan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan
memberitahukan hal itu kepada Abangnya.

“Maaf, Bang! Aku tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik


Abang. Tombak itu terbawa lari oleh babi hutan,” lapor Sangmaima.

“Aku tidak mau tahu itu! Yang jelas kamu harus mengembalikan
tombok itu, apa pun caranya,” kata Datu Dalu kepada adiknya
dengan nada kesal.”

Baiklah, Bang! Hari ini juga aku akan mencarinya,” jawab


Sangmaima.

“Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!” perintah Datu


Dalu.

Saat itu pula Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari


babi hutan itu. Pencariannya kali ini ia lakukan dengan sangat hati-
hati. Ia menelesuri jejak kaki babi hutan itu hingga ke tengah hutan.
Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah lubang besar
yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi lubang itu
sampai ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di
dalam lubang itu ia menemukan sebuah istana yang sangat megah.

“Aduhai, indah sekali tempat ini,” ucap Sangmaima dengan takjub.

“Tapi, siapa pula pemilik istana ini?” tanyanya dalam hati.


Oleh karena penasaran, ia pun memberanikan diri masuk
lebih dalam lagi. Tak jauh di depannya, terlihat seorang wanita
cantik sedang tergeletak merintih kesakitan di atas
pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah
sebuah mata tombak menempel di perut wanita cantik itu.
“Sepertinya mata tombak itu milik Abangku,” kata Sangmaima
dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik itu.

“Hai, gadis cantik! Siapa kamu?” tanya Sangmaima.

“Aku seorang putri raja yang berkuasa di istana ini.”

“Kenapa mata tombak itu berada di perutmu?”

“Sebenarnya babi hutan yang kamu tombak itu adalah


penjelmaanku.”

“Maafkan aku, Putri! Sungguh aku tidak tahu hal itu.”

“Tidak apalah, Tuan! Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya


berharap Tuan bisa menyembuhkan lukaku.”

Berbekal ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya


ketika masih hidup, Sangmaima mampu mengobati luka wanita itu
dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari sakitnya, ia pun
berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada
abangnya.

Abangnya sangat gembira, karena tombak pusaka


kesayangannya telah kembali ke tangannya. Untuk mewujudkan
kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat
secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang
adiknya, Sangmaima, dalam pesta tersebut. Hal itu membuat
adiknya merasa tersinggung, sehingga adiknya memutuskan untuk
mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang
bersamaan. Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan
pertunjukan dengan mendatangkan seorang wanita yang dihiasi
dengan berbagai bulu burung, sehingga menyerupai seekor burung
Ernga. Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang yang datang
untuk melihat pertunjukkan itu.

Sementara itu, pesta yang dilangsungkan di rumah Datu


Dalu sangat sepi oleh pengunjung. Setelah mengetahui adiknya
juga melaksanakan pesta dan sangat ramai pengunjungnya, ia pun
bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para tamu
agar mau datang ke pestanya.

“Adikku! Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu itu?”

“Aku tidak keberatan meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang


bisa menjaga wanita burung Ernga ini jangan sampai hilang.”

“Baiklah, Adikku! Aku akan menjaganya dengan baik.”

Setelah pestanya selesai, Sangmaima segera mengantar


wanita burung Ernga Itu ke rumah abangnya, lalu berpamitan
pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan
menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia
bermaksud menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-
sembunyi pada saat pesta abangnya selesai.

Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada malam harinya,


Sangmaima berhasil menemui wanita itu dan berkata:

“Hai, Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi
dari sini tanpa sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu
hilang.”
“Baiklah, Tuan!” jawab wanita itu.

Keesokan harinya, Datu Dalu sangat terkejut.

Wanita burung Ernga sudah tidak di kamarnya. Ia pun mulai


cemas, karena tidak berhasil menjaga wanita burung Ernga itu.
“Aduh, Gawat! Adikku pasti akan marah jika mengetahui hal ini,”
gumam Datu Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba adiknya
sudah berada di depan rumahnya.

“Bang! Aku datang ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu.

Di mana dia?” tanya Sangmaima pura-pura tidak tahu.

“Maaf Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba saja
dia menghilang dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.

“Abang harus menemukan burung itu,” seru Sangmaima.

“Dik! Bagaimana jika aku ganti dengan uang?” Datu Dalu


menawarkan.

Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi dengan


bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran pun terjadi, dan perkelahian
antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi. Keduanya pun
saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama,
sehingga perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah
dan menang.

Datu Dalu kemudian mengambil lesung lalu dilemparkan ke


arah adiknya. Namun sang Adik berhasil menghindar, sehingga
lesung itu melayang tinggi dan jatuh di kampung Sangmaima.
Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah menjadi
sebuah danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi
nama Danau Si Losung.
Sementara itu, Sangmaima ingin membalas serangan
abangnya. Ia pun mengambil piring lalu dilemparkan ke arah
abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan
adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada
akhirnya juga menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau
Si Pinggan.

2. Bentuk penyajian Puisi

Berikut ini merupakan salah satu bentuk penyajian puisi Batak


karangan Paulus Simangunsong. Puisi berjudul Poda (nasehat)
berkisah tentang seorang anak yg yakin merantau setelah mendapat
nasehat dari orangtua. "Hati-hati melangkah dan renungkan yg
sudah berlalu!" kata orangtuanya. Nasehat orangtua jadi pegangan
ketika jalan licin, cahaya pada gelap.Dan keriangan kala hening.

Poda
Onma pardalanan nahuparsitta
Borhat mardongan poda
Nauli mangerbang
Posma nang di roha

Manat ahu mardalan


Manaili tu halausan
Asa ture di parjalangan

Podami amang inang


Manggohi roha mengihot hosa
Lamture lamtuhotna
Podami amang inang
Tokkot molo landit
Palito molo holom
Hariburon molo hohom

BAB III

PENUTUP

Sastra Batak merupakan hasil kebudayaan yang berkenaan


dengan cerita rakyatnya, namun dalam hal ini hanya khusus pada
kelompok etnis Batak saja yang terdiri dari: Batak Toba (Tapanuli Utara),
Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola/ Mandailing (Tapanuli
Selatan), dan Batak Pak-Pak/ Dairi. Cerita rakyat daerah Sumatera Utara
biasanya bertemakan tokoh Mitologis dan Legendaris yang mengandung
nilai-nilai sosial budaya yang sesuai dengan nilai Pancasila.

Berdasarkan makalah yang telah dibahas di atas, dapat


disimpulkan bahwa sastra Batak pada dasarnya mempunyai dua jenis,
yaitu jenis prosa dan puisi. Adapun jenis-jenis prosa yang berkembang
dapat lagi digolongkan menjadi dua bagian, yakni hikayat dan turi-turian.
Sedangkan untuk jenis puisi, kebanyakan puisi Batak mberisi tentang
nasehat hidup kepada seseorang.
DAFTAR PUSTAKA

Bani Sudardi. 2010. Sastra Nusantara : Deskripsi Aneka Kekayaan Sastra


Nusantara. Surakarta : Badan Penerbit sastra Indonesia.
Jacob Umar, dkk. 1982. Cerita Rakyat Daerah Sumatra Utara. Medan :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kozok, Uli. 2009. Surat Batak. Jakarta : KPG.
Sinuratni dan A.N Parda Sibarani. 1983. Barita Ni Japangko Na Togu Na
Gabe Raja. Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah.
Tarigan, Henry Guntur dan Mista Ulung Sipayung. 1980. Cerita Rakyat
Simalungun : Cerita Si Marsingkam. Jakarta : Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Yayasan Harapan Kita. 1997. Aksara. Jakarta : Perum Percetakan RI.
“Jong Bataks Bond” dan Nasionalisme Sanusi Pane, dalam
http://jejakpengelana.blogspot.com/2008/03/jong-bataks-bond-dan-
nasionalisme_15.html
Sanusi Pane, TIM (www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/sanusi.html )
Abrar Yusra (ed), 1996. Amir Hamzah--1911-1946: Sebagai Manusia dan
Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, dalam
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/hamzah.html
Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman oleh: Sutan Takdir
Alisjahbana, dalam http://id.shvoong.com/social-sciences/1686930-
amir-hamzah/
http://www.wikipedia.com

Anda mungkin juga menyukai