Pemerintah Zimbabwe terakhir kali mencetak uang kertas senilai Z$100 miliar. Namun,
uang sebesar itu tidak bisa membeli tiket bus. Pemerintah Zimbabwe memutuskan untuk
menonaktifkan mata uang lokal dan pada saat bersamaan meresmikan sistem penggunan mata
uang asing selama periode hyperinflasi. Mulai Senin (15/06) mendatang warga Zimbabwe
bisa
menukarkan
uang
tunai
hingga
175
kuadriliun
dollar
Zimbabwe
(Z$175.000.000.000.000.000) untuk US$5. Saldo yang lebih tinggi akan ditukar pada kurs
Z$35 kuadriliun untuk US$1.
Langkah ini telah "tertunda untuk waktu yang sangat lama," kata Gubernur Bank
Sentral John Mangudya, seperti dikutip Bloomberg. Kami tidak bisa memiliki dua sistem
mata uang yang berbeda. Oleh karena itu kita harus menjaga integritas sistem penggunaan
mata uang berbeda-beda atau dolarisasi di Zimbabwe."
Melalui sistem ini, warga Zimbabwe memiliki waktu sampai akhir September untuk
menukarkan mata uang dollar lokal ke dollar Amerika Serikat atau mata uang Afrika Selatan,
Rand. Ketika hyperinflasi terjadi enam tahun yang lalu, mata uang asing seperti dollar AS dan
Rand mulai dipakai.
Hyperinflasi di Zimbabwe menyebabkan kelangkaan barang-barang pokok, toko-toko
harus mengubah harga barang mereka beberapa kali sehari, dan warga Zimbabwe harus
mengangkut uang dengan gerobak. Uang kertas terakhir yang dicetak oleh Zimbabwe bernilai
Z$100 miliar, yang masih belum cukup untuk membeli tiket bus. Ekonomi Zimbabwe
mengalami kesulitan sejak kebijakan pemerintah merebut lahan milik warga berkulit putih
pada 2000, yang menyebabkan jatuhnya ekspor negara tersebut.
Setelah inflasi menjadi tidak terkendali, butuh waktu untuk memulihkan perekonomian
Zimbabwe. Contoh tersebut juga ditakutkan oleh Federal Reserve serta alasan bahwa Bank of
Japan tidak memulai kebijakan yang lebih agresif mengenai pelonggaran awal resesi ekonomi
mereka. Inflasi dapat menjadi hal yang baik, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu yang
pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi lebih bergairah.