IMPLEMENTASI SENI PERANG SUN TZU DALAM MEMIMPIN ORGANISASI

IMPLEMENTASI SENI PERANG SUN TZU DALAM MEMIMPIN ORGANISASI

Mono zukuri wa hito zukuri artinya adalah kami tidak hanya membuat mobil tapi kami membangun orang. Inilah salah satu kebijakan Toyota yang menjadi kunci keberhasilan bisnis mereka. Para pemimpin Toyota menyadari bahwa “nasib” dan masa depan perusahaan sepenuhnya berada ditangan manusianya karena merekalah yang menjalankan seluruh operasi organisasi, mulai dari riset, desain produk hingga marketing.

KEPEMIMPINAN DALAM FILOSOFI SENI PERANG SUN TZU

Sun Tzu (544-496 SM) adalah seorang jenderal besar sekaligus ahli strategi militer dari China merupakan seseorang yang fenomenal yang mampu menjadi inspirasi bagi para pebisnis kelas dunia dalam menjalankan organisasinya. Tidak hanya bagi negara di kawasan Timur, negara-negara Barat juga telah banyak mengaplikasikan kebijakan dan filosofi militer Sun Tzu dalam manajemen bisnis modern. Sun Tzu mengawali kariernya di Negeri Wu semasa Dinasti Zhou. Dalam perjalanannya, Sun-Wu (nama aslinya Sun-Tzu) menuliskan pemikiran dan pengalamannya tentang perang dalam sebuah kitab. 

Seni perang Sun-Tzu adalah perpaduan antara filsafat kehidupan, seni sastra, ilmu alam, matematika, dan strategi militer itu sendiri. Seni perang adalah filsafat aplikatif yang ditujukan untuk mencapai keseimbangan dan harmoni di alam semesta. Kemenangan di medan perang adalah cerminan kebijaksanaan dalam berkehidupan sosial sehingga seorang pemimpin perang adalah sekaligus pemimpin sosial, politik, dan budaya. Keseimbangan dan harmoni menjadi fokus dalam segala aspek kehidupan karena berbagai hal negatif seperti bencana alam, kemiskinan, peperangan, dan pemberontakan merupakan akibat dari hilangnya keseimbangan dan harmoni di alam semesta. Oleh karena itu peperangan merupakan upaya untuk menciptakan format keseimbangan yang baru agar tercipta kembali suatu harmoni dan keseimbangan.

Karakter Dasar Dalam Kepemimpinan 

Untuk dapat memenangkan peperangan, seorang pemimpin harus mampu memenangkan hati dan pikiran seluruh bawahannya. Hati merujuk pada perasaan dan emosi yang terlibat. Dengan memenangkan hati bawahan, seorang pemimpin mendapatkan kesetiaan, kebanggaan, dan dukungan dari bawahan. Pikiran merujuk pada kepala dingin, obyektifitas, dan rasionalitas yang terlibat. Dalam membuat strategi dan rencana, pemimpin perlu menggunakan pikiran namun dalam mengimplementasikan rencana dan memotivasi bawahan, pemimpin harus mengedepankan hati. Perpaduan kedua hal ini akan menghasilkan pasukan yang tangguh, disiplin, tidak kenal takut, dan meyakini bahwa tujuan bertempur adalah demi keadilan dan kebenaran semata.

Sun-Tzu menyebutkan bahwa kualitas kepemimpinan seorang panglima mengacu pada 5 (lima) karakter dasar yang harus dimilikinya dalam mengendalikan pasukan, yaitu kebijaksanaan, ketulusan, kebaikan, keberanian, dan disiplin.

Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk mempertimbangkan segala sesuatu dari berbagai aspek dan sudut pandang yang berbeda untuk kemudian mengambil keputusan yang paling optimal dimana kehati-hatian merupakan langkah utama dalam mengambil suatu tindakan.

Ketulusan adalah niat baik yang murni apa adanya dari dalam diri seorang pemimpin kepada bawahannya dengan mengangggap bawahannya sebagai orang yang dikasihi sebagaimana anaknya sendiri. Hal ini akan menghasilkan bawahan yang mengasihinya dengan segenap hati dan pikiran.

Kebaikan adalah sikap mengayomi bawahan sehingga bawahan merasa bahwa apa yang diperjuangkan oleh sang pemimpin merupakan kepentingan bersama dan bukan semata-mata demi kepentingan pemimpin. Kebaikan dari seorang pemimpin paling terlihat tampak ketika dia memiliki kepedulian terhadap bawahan yang memiliki pada tingkatan yang paling bawah yang jauh lebih rendah daripada dirinya. Pemimpin yang memiliki kebaikan akan mengerti kebutuhan bawahannya dan senantiasa berusaha untuk memenuhinya demi mencapai tujuan organisasi.

Keberanian adalah kemampuan untuk memperhitungkan resiko yang ada dan mengambil tindakan yang diperlukan tanpa ragu-ragu jika dibutuhkan. Keberanian tercermin dari teladan yang diberikan sang pemimpin dalam menghadapi kondisi kritis sekalipun pilihan tindakan tersebut bisa membahayakan kepentingan pribadinya. Dalam konteks lain, keberanian juga berarti sikap sportif untuk mengakui kekalahan dan bertanggung jawab penuh ketika seorang pemimpin keliru dalam mengambil keputusan tanpa harus mencari kambing hitam.

Disiplin adalah konsekuen terhadap kebijakan dan aturan yang sudah dibuat dan disepakati baik untuk dirinya sendiri maupun orang-orang yang didekatnya. Bawahan umumnya tidak melihat perkataan sang pemimpin namun melihat contoh yang diberikan dalam menegakkan aturan main ketika menimpa orang-orang terdekatnya. Disiplin juga dapat diartikan kesetaraan perlakuan dalam memberikan reward dan punishment. Sebuah sanksi yang diberikan mereka yang melanggar aturan main dapat memberikan sebuah pesan yang jelas kepada setiap orang bahwa tidak ada seorangpun yang boleh berada di luar aturan main dalam organisasi.

Kelima karakter dasar tersebut berpotensi dipahami secara keliru yang bisa mengarahkannya pada pengambilan tindakan yang keliru juga. Oleh karena itu Sun-Tzu mengambil lima karakter yang sangat berbeda secara nyata sebagai perbandingan terhadap kelima karakter dasar tersebut. Lima karakter yang berbeda nyata tersebut disebut sebagai lima atribut negatif yang harus dihindari oleh pemimpin, yaitu sembrono, pengecut, mudah marah, gila hormat, dan mudah jatuh hati. Pesan yang disampaikan menjadi jelas, bahwa kebijaksanaan tidak identik dengan pengecut, ketulusan dan kebaikan tidak identik dengan mudah jatuh hati, keberanian tidak identik dengan sembrono, dan disiplin tidak identik gila hormat dan mudah marah.

Tao Dalam Kepemimpinan

Dalam filsafat China, alam semesta diatur menurut apa yang disebut Tao. Tao meliputi pola yang terjadi berulang-ulang namun dalam berbagai variasi yang teramat kaya tercermin dalam apa yang dialami dan dirasakan langsung oleh manusia dan kejadian-kejadian di alam semesta di luar pengamatan manusia. Tao adalah semesta itu sendiri sekaligus bagaimana semesta itu berjalan.

Manusia sebagai mahluk yang otonom memiliki kemampuan untuk memahami dan memanfaatkan Tao. Tao bukanlah takdir dimana manusia hanya menerima saja tanpa sanggup memanfaatkannya tetapi manusia harus memiliki kemampuan untuk menemukan dan memahami Tao untuk kemudian memanfaatkannya untuk kemaslahatan umat manusia. 

Wong dan kawan-kawan (1998) mengulas tentang pemikiran Sun-Tzu dan konsep Tao dalam bisnis internasional. Dalam bisnis internasional, Tao adalah “cara” untuk meningkatkan keberhasilan organisasi dalam menjalin hubungan dengan organisasi lain secara konstruktif. Wong dan kawan-kawan menekankan bahwa pemahaman dan pemanfaatan Tao dalam organisasi harus berawal dari pimpinan tertinggi yang kemudian mengalir turun sampai kepada tingkatan yang paling bawah.

Dalam konteks manajemen organisasi, Tao didefinisikan sebagai kekuatan, kebaikan, filosofi, dan prinsip moral yang dapat menciptakan kesepakatan antara pimpinan, manajer, dan bawahan untuk bertindak secara bersama-sama mencapai tujuan organisasi. Tao memungkinkan dinamika organisasi dapat dioptimalkan dan konflik organisasi dapat diselesaikan atau diarahkan menjadi sesuatu hal yang produktif. 

Konflik yang berlarut-larut akan menguras sumberdaya ke arah hal-hal yang tidak produktif dan mengakibatkan hilangnya daya saing dalam menghadapi persaingan. Konflik kepentingan akan selalu muncul di lapangan dan bermanifestasi dalam berbagai bentuk secara dinamis. Hal yang paling penting dalam pengelolaan organisasi bukan berarti harus menghilangkan konflik sama sekali namun bagaimana menyelaraskan berbagai kepentingan sehingga dalam setiap konflik yang muncul dapat dicarikan kesepakatan diantara berbagai pihak sehingga mampu menghasilkan output positif bagi organisasi. Keselarasan kepentingan disini berarti terciptanya harmoni antara kepentingan individual setiap anggota organisasi dan kepentingan organisasi dalam sebuah kesatuan. 

Dapat disimpulkan bahwa tugas seorang pemimpin adalah untuk menemukan, mengenali, dan memahami Tao di dalam organisasinya, menjadi teladan dalam pemikiran-sikap-tindakan, serta memastikan agar setiap anggota di dalam organisasinya memiliki dan menjalankan peranan sesuai dengan Tao tersebut. Harmoni dengan Tao berarti adanya kesatuan hati dan pikiran setiap individu sehingga memunculkan rasa turut memiliki organisasi, komitmen untuk memberikan yang terbaik, dan keyakinan bahwa apa yang dikerjakan adalah sebuah hal yang baik dan dapat dibanggakan.

KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI

Chowdhury (2003) mendefinsikan bahwa organisasi adalah kesatuan dari orang-orang yang bertalenta dan dilengkapi dengan sumberdaya yang memadai untuk menghasilkan output yang lebih baik dan cepat. Agar dapat beroperasi secara efektif, sebuah organisasi membutuhkan orang-orang yang cemerlang serta memiliki kompetensi yang beragam untuk dapat bertahan, berinovasi, dan berkembang dalam lingkungan yang turbulen di masa depan. Untuk dapat mengendalikan dan mengarahkan mereka yang dari berbagai talenta, memiliki aspirasi yang beragam dan keunikan perilakunya masing-masing dibutuhkan figur seorang pemimpin yang memiliki keahlian dalam membangun sistem pengendalian manajemen yang efektif. 

Peranan Pemimpin Dalam Organisasi  

Pemimpin adalah orang yang memiliki pengaruh terbesar dalam menggerakkan anggotanya untuk tetap fokus pada visi yang sama. Seorang manager di dalam suatu perusahaan belum tentu seorang pemimpin yang baik. Jiwa kepemimpinan dapat muncul dan dimiliki oleh siapa saja yang mau mengembangkan potensi kepemimpinan dalam dirinya. Tidaklah mengherankan jika seorang pemimpin yang baik memiliki sentuhan ajaib yang mampu merangkul, menggerakkan, dan mengarahkan seluruh elemen organisasi pada satu visi yang sama. Sheth (2008) melakukan penelitian dan membuktikan bahwa kehancuran bisnis pada perusahaan-perusahaan kelas dunia semuanya berawal dari KEPEMIMPINAN YANG BURUK. 

Pemimpin adalah orang yang memegang peran terbesar dalam menciptakan pola kerja. Kondisi kerja suatu organisasi merupakan cermin dari model kepemimpinan yang ada didalamnya. Pemimpin yang baik akan selalu mengkombinasikan keteladanan diri sebagai panutan bawahan, penciptaan budaya organisasi yang baik, serta menyiapkan alat-alat birokrasi formal yang tepat guna. Kualitas kepemimpinan tertinggi terjadi ketika orang-orang yang dipimpin tidak menyadari bahwa mereka sedang dikendalikan. Dalam hal ini, nilai-nilai, sikap, perilaku, dan kebiasaan organisasional yang baik sudah menjadi bagian integral dalam diri setiap bawahan sehingga mereka sanggup menjalankan tugas dan kewajiban on the right track tanpa harus diperintah lagi. 

Untuk mencapai keberhasilan, seorang pemimpin tidak cukup hanya memiliki karakter yang baik. Pemimpin harus menyeimbangkan diri dengan memiliki bekal pengetahuan yang dibutuhkan secara memadai. Yukl (2005) memaparkan bahwa pemimpin adalah orang yang mampu meningkatkan efektifitas organisasi melalui pengelolaan faktor penentu kinerja sebagai strategi untuk mempertahankan kesejahteraan dalam jangka panjang. Tujuan ini dapat diperoleh melalui pengembangan program kerja, sistem manajemen, dan struktur organisasi yang berorientasi pada efisiensi, proses bisnis yang handal, fungsi pengelolaan sumberdaya manusia, inovasi, dan kemampuan adaptasi. 

Pemimpin sebuah organisasi bisnis atau perusahaan wajib memiliki pengetahuan bisnis yang memadai. Artinya bahwa selain memahami faktor internal organisasinya (kekuatan dan kelemahan sumberdaya yang dimiliki), seorang pemimpin juga perlu memiliki kemampuan untuk membaca serta mempengaruhi lingkungan eksternalnya dalam batasan tertentu. Faktor eksternal adalah peluang dan ancaman dari luar perusahaan, baik yang sudah ada maupun yang akan muncul (trend konsumen, makro ekonomi, dinamika politik, perkembangan teknologi, sosial budaya masyarakat, perkembangan media, dll). Semakin tinggi posisi manajerial seseorang, komposisi pengetahuan bisnis yang dibutuhkan akan semakin bergeser ke arah pengetahuan lingkungan eksternal.

Seorang pemimpin harus mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam organisasi secara efektif bagi tercapainya tujuan organisasi, yang meliputi manusia, mesin, uang, material, teknologi, pasar yang dilayani, serta kemampuan manajerial. Efektifitas pengelolaan berbagai sumberdaya tersebut tercermin pada kualitas kebijakan yang dibuat, budaya organisasi, program kerja, sistem dan prosedur kerja, saluran dan metode komunikasi, serta garis wewenang dan tanggung jawab. Kombinasi yang ideal dari semua hal tersebut akan menghasilkan harmoni organisasi yaitu kepemimpinan yang kuat dengan dukungan loyalitas bawahan yang tinggi. 

Menjadi Pemimpin yang Sesungguhnya 

Dalam pandangan Seni Perang Sun-Tzu, pemimpin adalah seseorang yang mampu menciptakan keseimbangan di dalam organisasi diantara berbagai kepentingan, kekuatan, dan kelemahan berdasarkan keselarasan antara anggota organisasi dan Tao dari organisasi tersebut. Seorang pemimpin yang baik akan sanggup memerintah dan menciptakan kepatuhan diantara bawahannya berdasarkan rasa respek kepada atasan daripada ketakutan terhadap hukuman. Mendapatkan respek dari bawahan berarti memenangkan hari mereka. Sun-Tzu menjelaskan bahwa “bila seorang Jenderal memperlakukan pasukannya seperti anak kesayangannya, mereka bersedia mendukung dan mati bersamanya”.

Seorang pemimpin harus memiliki sensitivitas sosial yang tinggi dalam melihat dinamika organisasinya. Setiap tindakan atau putusan yang akan diambil perlu dilihat terlebih dahulu dari kacamata bawahannya. Kemampuan membayangkan diri menjadi bawahan untuk menilai kemungkinan reaksi yang timbul adalah hal yang belum tentu dimiliki oleh setiap pemimpin. Pada saat awal, seorang pemimpin memang membutuhkan waktu yang cukup banyak untuk dapat memahami aspirasi bawahannya. Namun jika ia terus mencoba membuka hati dan pikirannya maka ia akan mampu meningkatkan kemampuannya untuk mengenali Tao di dalam organisasinya sehingga di kemudian hari waktu yang diperlukan untuk mengambil keputusan penting menjadi lebih singkat.

Ketika seorang pemimpin mendapatkan wewenang untuk mengatur dan mengendalikan organisasi, dia akan dihadapkan pada berbagai masalah yang seringkali hanya merupakan kesalahpahaman karena kurangnya komunikasi internal. Seiring berjalannya waktu dan tugas yang semakin menumpuk, banyak pemimpin terjebak dalam pola pikir bahwa dia tidak akan bisa menyenangkan semua orang. Dengan dalih efisiensi, dia akan mengambil tindakan dengan tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu pemikiran dari kacamata bawahan dengan alasan menjalankan wewenang yang dimilikinya.

Kondisi seperti Ini merupakan gejala awal hilangnya empati terhadap orang lain dan akan mengakibatkan hilangnya sensitivitas sosial seorang pemimpin. Hilangnya sensitivitas sosial seorang pemimpin menyebabkan terputusnya rasionalitas pemimpin tersebut terhadap Tao organisasi. Dalam jangka panjang, pemimpin tersebut akan kehilangan legitimasinya di mata bawahan yang dapat mengakibatkan semua aktifitas yang dilakukan oleh anggotanya akan dilaksanakan dengan separuh hati. Dalam peperangan, pasukan yang maju dengan setengah hati tidak akan sanggup bertahan menghadapi lawan-lawannya. Demikian juga dalam bisnis, perusahaan yang mengalami demoralisasi tidak akan sanggup menghadapi persaingnya. 

Dalam konteks pengendalian manajemen, seorang pemimpin harus mampu menyentuh aspek spiritual/moral. Setiap manusia dilahirkan dengan hati dan inilah jalur dari konteks spiritual. Hati memungkinkan setiap manusia untuk berpikir dan berbuat yang benar. Pemimpin yang hebat selalu mengetahui misteri ini dengan menggunakan pikiran untuk perang dan menggunakan hati untuk menang. Awali kepemimpinan anda dengan merestorasi hati. Seperti kata pepatah, “apa yang datang dari hati akan sampai ke hati”

Kunci dari kepemimpinan yang baik adalah memenangkan hati bawahan. Tidak ada pengendalian terhadap orang lain yang lebih efektif daripada memenangkan hati bawahannya. Bawahan yang bekerja dengan hati akan melihat atasan sebagai sumber inspirasi dan mengintegrasikan jati dirinya dengan jati diri organisasi. Keberhasilan organisasi dalam mencapai sasarannya akan menjadi kebanggaan pribadi bagi para bawahan sebagai aktualisasi diri yang efektif. Sebaliknya kegagalan dalam organisasi dalam menghadapi kompetitornya akan menjadi penyesalan yang mendalam bagi anggotanya dimana penyesalan adalah sebuah awal yang baik untuk proses introspeksi diri dan perbaikan secara terus menerus ke depan.

Kasus-kasus di dalam industri otomotif dunia menunjukkan bagaimana perusahaan Jepang dan Korea seperti Honda, Toyota, Hyundai, Daewoo, dan Ssangyong berawal dari perusahaan kecil dengan teknologi yang terbelakang dan tampilan fisik yang jauh dari kesan estetis ternyata pada saat ini mampu bersaing dengan raksasa otomotif Amerika dan Eropa seperti General Motors, Ford, Chrysler, Mercedes, dan BMW. Faktor kepemimpinan menjadikan perusahaan Jepang dan Korea mampu bersaing dalam industri otomotif dunia dengan adanya pemimpin yang sanggup menjadi teladan, bawahan yang loyal dan berdedikasi penuh, serta budaya organisasi yang bagus. Perusahaan otomotif Jepang dan Korea menunjukkan bahwa tidak ada alasan bagi sebuah perusahaan untuk terus mengeluhkan kekurangannya dalam menghadapi persaingan di era global dan turbulen. Organisasi yang akan sanggup menjadi pemenang adalah perusahaan yang memiliki orang-orang yang mau introspeksi diri dan senantiasa berbuat yang lebih baik untuk kedepannya.

Loyalitas Terhadap Individu Pemimpin vs Organisasi

Hal yang juga tidak kalah penting untuk diingat dalam hal kepemimpinan adalah bahwa loyalitas bawahan terhadap pribadi pemimpin tidak seharusnya menjadi tujuan akhir. Yukl (2002) membedakan tipe seorang pemimpin menjadi tiga jenis yaitu pemimpin kharismatik, transaksional, dan transformasional. Pemimpin kharismatik adalah pemimpin yang mengandalkan pesona pribadinya sebagai sumber utama dalam mengendalikan orang lain. Pemimpin transaksional adalah pemimpin yang mengandalkan reward dan punishment sebagai alat utama untuk mengendalikan orang lain. Pemimpin tranformasional adalah pemimpin yang mengandalkan pada penciptaan kesadaran dan keyakinan dari bawahan sebagai sumber utama dalam mengendalikan bawahan untuk melakukan sesuatu.

Dalam filosofi China, pemimpin dituntut untuk menjadi teladan bagi anak buahnya. Konsep Li dalam konfusianisme mengatakan bahwa setiap orang (termasuk atasan dan bawahan) memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing yang harus dipenuhi agar harmoni tercapai. Dalam kondisi ideal ini seharusnya tidak ada dikotomi antara kesetiaan terhadap atasan dengan kesetiaan terhadap organisasi karena atasan yang baik adalah atasan yang menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadinya.

Masalah akan muncul jika terdapat dikotomi antara loyalitas terhadap atasan dengan loyalitas terhadap organisasi. Setiap organisasi akan mengalami suksesi dalam kepemimpinan. Jika respek dan loyalitas hanya diartikan secara sempit yang bermuara kepada figur individu pemimpin maka ketika pemimpin tersebut mundur semua hasil usahanya akan turut hilang. Pemimpin harus mampu mentransormasikan agar respek dan loyalitas bawahan yang semula bermuara pada eksistensi pribadinya dapat dialihkan kepada organisasi. Keberhasilan transformasi ini akan membuat sebuah organisasi tetap eksis dan kuat meskipun telah berganti pemimpin beberapa kali.

WILDAN EKAPRIBADI (Retail Practitioner)

To view or add a comment, sign in

Explore topics