DOKAR, Transportasi Tradisional Wonosobo Yang Hampir Punah

DOKAR.jpgSELAMA puluhan tahun dokar atau andong menjadi andalan utama transportasi rakyat di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Hingga kini, dokar masih mendapat tempat di hati warga. Walau harus bersaing ketat dengan angkutan kota dan ojek, transportasi yang menggunakan tenaga kuda tetap eksis di kota dingin ini. Segelintir warga Wonosobo, terutama simbok-simbok (ibu-ibu) yang berbelanja ke pasar, masih tetap setia dengan dokar. Kendati demikian, kehadiran mobil dan sepeda motor yang perlahan-lahan menggeser peran dokar sebagai alat transportasi rakyat ini menjadi ancaman yang terus membayangi eksistensi dokar.

Lalu, mengapa transportasi ini masih menjadi pilihan rakyat setempat? Selain karena ikatan emosional yang tercipta antara pelanggan dan sang kusir atau sais selama puluhan tahun, kondisi alam di Wonosobo yang sejuk menjadikan warga memilih naik dokar.

”Kami sudah kenal lama dengan sais-saisnya, jadi tiap belanja ke pasar lebih enak naik dokar. Lagian kalau naik dokar kan enggak kepanasan, banyak anginnya,” kata salah satu warga Wonosobo yang mengaku telah puluhan tahun pakai dokar.

Di luar alasan itu, bagi sejumlah warga, mereka masih setia dengan dokar karena ongkosnya tidak jauh beda dengan angkot, yakni sekali jalan sekitar Rp 2.000. Jika membawa belanjaan yang banyak, cukup bayar Rp 10.000 bisa pakai satu dokar.
Kendati demikian, hampir semua para sais dokar mengaku dalam 10 tahun terakhir, bahkan dalam lima tahun terakhir, jumlah penumpang dokar menurun drastis. Dampak yang paling dirasakan, pendapatan para sais tiap hari makin menurun.

Mati hidupnya transportasi tradisional di Wonosobo ini juga sangat bergantung pada kepedulian pemerintah. Selain memberi wilayah bagi dokar untuk beroperasi di wilayah yang tidak berebutan dengan angkutan kota, pemerintah setempat diharapkan membantu para sais setidaknya untuk mendukung operasional koperasi sais. Demikian dekatnya dokar dengan rakyat, sampai-sampai setiap tahun ada lomba cerdas cermat khusus untuk sais dokar

        Saking banyaknya dokar ketika itu, operasional dokar dibagi dua, yakni pagi sampai sore dan sore sampai malam. Dokar yang beroperasi malam diberi tanda roda putih dan harus dilengkapi dengan lentera sebagai penerangan dan lonceng untuk bel.

Kini, seiring berjalannya waktu, dokar pun mulai tergusur. Dokar tidak lagi menjadi transportasi utama di Wonosobo. Menurut Sukardi, agar dokar tetap hidup, ada kesepakatan di antara sais dan sopir angkutan kota, yakni angkot tidak boleh menarik penumpang di ruas jalan tertentu yang disepakati sebagai wilayah penumpang dokar.
Data dari Pemerintah Kabupaten Wonosobo, empat tahun terakhir ini menunjukkan tren penurunan jumlah dokar. Pada tahun 2009 jumlah dokar yang terdata 301 dokar, tahun 2010 sebanyak 267 dokar, tahun 2011 sebanyak 230 dokar, dan 2012 terdapat 200 dokar.

Untuk membantu para sais, pada tahun 2001 atau sekitar 12 tahun lalu Pemkab Wononobo pernah memberikan bantuan stimulan sebesar Rp 150 juta yang diberikan melalui Koperasi Mega Gotong Royong (Komegoro) yang beranggotakan sais dokar. Bantuan ini untuk kesejahteraan anggota dan istri sais dokar dalam bentuk usaha ekonomi produktif.

Pemkab Wonosobo sendiri hingga sejauh ini tidak punya program khusus untuk mempertahankan eksistensi dokar. Namun, Bupati Wonosobo Kholiq Arief menyebutkan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wonosobo sejak tahun lalu menyiapkan 15 unit dokar yang beroperasi di kawasan obyek wisata Dieng Plateau pada saat libur hari raya dan kegiatan-kegiatan pariwisata.

Kini, nasib dokar bergantung pada dukungan pemerintah setempat. Sekuat apa pun para sais bertahan dari derasnya tekanan transportasi modern, tetapi tanpa ada dukungan pemerintah setempat, lambat laun transportasi andalan yang melegenda di Wonosobo ini akan punah, hanya tinggal kenangan.

Leave a comment