Gontornews — Nama kecilnya Muhammad Darwis. Ia anak keempat dari tujuh bersaudara. Dalam silsilahnya, ia termasuk keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Wali Songo. Dialah KH Ahmad Dahlan pendiri organisasi Islam Muhammadiyah.
Kiai Dahlan lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Ia putra KH Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri H Ibrahim yang juga menjabat Penghulu Kesultanan Yogyakarta saat itu.
Sejak kecil Darwis muda diasuh dalam lingkungan pesantren, yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Di samping itu, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putra kiai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya.
Di usia 15 tahun, Kiai Dahlan sudah pergi haji dan tinggal di MEkkah selama lima tahun. Pada periode ini ia mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah.
Ketika berumur 18 tahun, orangtuanya menikahkannya dengan putri KH Muhammad Fadlil yang bernama Siti Walidah pada bulan Dzulhijjah tahun 1889. Siti Walidah inilah yang kelak dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, sosok pendiri Aisyiyah dan pahlawan nasional.
Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwis. Semangat, jiwa dan pemikiran itu kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah.
Menjelang dewasa, ia juga mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Di antaranya KH Muhammad Saleh (ilmu fiqh), KH Muhsin (ilmu nahwu), KH R Dahlan (ilmu falak), KH Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainnya.
Tak heran jika dalam usia relatif muda, Kiai Dahlan telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Kiai Dahlan selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya. Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Kiai Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama tiga tahun.
Di antara ulama yang pernah menjadi gurunya adalah Syekh Muhammad Khatib al Minangkabawi, Kiai Nawawi al-Banteni, Kiai Mas Abdullah, dan Kiai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Kiai Dahlan tentang universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Kiai Dahlan saat itu. Sekembali dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad bin Zaini Dahlan.
Mendirikan Muhammadiyah
Pada tahunn 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Kiai Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dengan cara berpikir dan beramal menurut tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912.
Pada tanggal 20 Desember 1912, ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah organisasi berdiri. Muhammadiyah menjadi organisasi yang memelopori amal usaha sosial dan pendidikan.
Slogan yang diungkapkannya adalah ”Kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis”. Muhammadiyah yang bergerak dalam bidang agama dan pendidikan ini banyak mendirikan lembaga pendidikan Islam mulai dari TK hingga perguruan tinggi, dan pada perkembangan selanjutnya organisasi ini juga banyak mendirikan lembaga sosial seperti rumah sakit dan panti asuhan.
Kemajuan kaum wanita juga menjadi gagasan dan pemikiran Kiai Dahlan. Ia menghendaki kaum wanita dapat maju seperti halnya kaum pria. Untuk itu ia mendirikan organisasi Aisyiyah pada tahun 1918.
KH Ahmad Dahlan wafat pada 23 Februari 1923, sekitar 5 tahun sesudah Aisyiyah berdiri, dan dimakamkan di Yogyakarta. Pemerintah Indonesia mengangkat KH Ahmad Dahlan menjadi Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1961. [Fathurroji]