Teori dan Konsep Kenakalan Remaja

1.             Teori Social Control Theory

Social Control Theory lahir pada peradaban dua puluhan, e.A.ros salah seorang Bapak sosialog amirika berpendapat bahwa system keyakinan lah yang membimbing apa yang dilakukan oleh orang-orang dan yang secara universal mengontrol tingkah laku, tidak peduli apapun bentuk keyakinan yang dipilih. Salah satu Social Control Theory sebagaimana disebutkan oleh Travis Hirschi dalam “Social Bond Theory”, sebagai berikut:

  1. Attachment, adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Kaitan attachment dengan penyimpangan adalah sejauh mana orang tersebut peka terhadap pikuran , perasaan dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas melakukan penyimpangan. Attachment dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

1)                    Attachment total, adalah keadaan dimana seorang individu melepas rasa yang terdapat dalam dirinya dan diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang utk selalu mentaati aturan aturan, karena pelanggaran terhadap aturan tersebut berarti menyakiti perasaan orang lain.

2)                    Attachment partial, adalah suatu bubungan antara seorang individu dengan lainnya, dimana hubungan tersebut tidak didasarkan pada peleburan ego dengan ego yang lain tetapi karena hadirnya orang lain yang mengawasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa attachment total akan mencegah hasrat seseorang untuk melakukan deviasi. Sedangkan attachment partial hanya akan menimbulkan kepatuhan bila terdapat orang lain yang mengawasi , karena apabila tdk terdapat pengawasan makan orang tersebut akan melakukan deviasi.

b.      Commitment, adalah keterikatan seseorang pada sub system konvensional seperti sekolah , pekerjaan, organisasi dsb. Commitment merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan social. Segala kegiatan individu seperti sekolah ,pekerjaan , kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa bara benda , reputasi, masa depan dsb. “Segala investasi tersebutlah yang mendorong orang untuk  taat pada aturan-aturan yang berlaku, dengan demikian investasi tersebut dapat digunakan sebagai rem bagi hasrat utk melakukan deviasi (penyimpangan).

c.       Involvement, adalah merupakan aktivitas seseorang dalam sub system konvensional, jika seseorang aktif dalam organisasi maka kecil kecenderungannya untuk melakukan deviasi. Logika dari pengertian tersebut adalah bila orang aktif di segala kegiatan maka orang tersebut akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalm kegiatan tersebut  sehingga dia tidak sempat lagi memikirkan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian segala aktivitas yang dapat memberi manfaat, akan mencegah seseorang itu untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

d.      Beliefs, merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan social, beliefs merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada akan menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut yang tentunya dengan kepatuhan tersebut akan mengurangi hasrat seseorang untuk melanggar.

Keempat komponen tersebut menurut Hirschi harus terbentuk dalam masyarakat, apabila hal itu gagal maka para remaja akan menggunakan haknya untuk melanggar.

2.             Labeling Theory

            Teori Labelling/Labelling Theory menurut Lemert yang berasumsi dari teori ini adalah jika seseorang mendefinisikan suatu situasi adalah nyata ( Real ) maka nyata pulalah konsekuensinya. FM Lemert membedakan 2 ( dua ) bentuk  penyimpangan, yaitu ;

a)             Primary Deviance, merupakan bentuk pelanggaran pertama kali, cenderung coba-coba, tidak sengaja, tidak serius, perilaku kanak-kanak, perilaku coba-coba.

b)            Secondary Deviance, merupakan pelanggaran lanjutan muncul konsep diri, cenderung reaktif, memiliki motivasi, wujud eksistensi, self fullfilling phropecy.

Teori labelling pada dasarnya  menekankan 2 (aspek), yaitu ;

a)             Mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label.

b)            Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku.

            Teori Labeling memandang bahwa kejahatan merupakan akibat dari proses sosial yang terjadi di dalam masyarakat, dimana perilaku jahat dibentuk oleh warganya yang memiliki “kekuasaan”, atau sebagai cap yang diberikan oleh kelompok dominant. Teori ini utk menganalisis pemberian label /cap/stigma terhadap pecandu narkoba di kalangan remaja.

            Adapun 5 (lima) premis Labeling Theory sebagai berikut:

a)             Perilaku menyimpang bukanlah perilaku unik yang timbul dari dalam diri seseorang atau lembaga tetapi reaksi yang ditimbulkan oleh masyarakat.

b)            Reaksi masyarakat tersebut menyebabkan seseorang/ lembaga dicap sebagai penjahat.

c)             Orang/ lenbaga yang dicap sebagai pelaku menyimpang diperlakukan benar-benar sebagai penjahat.

d)            Kesemuanya berlangsung dalam suatu proses interaksi shg disebut juga interaksionis teori.

e)             Terjadi proses adaptasi yang disebut self full filling yaitu seseorang/ lembaga yang dicap sebagai pelaku kejahatan karena perlakuan yang counter produktif yang bersangkutan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.

3.             Re-Integrative Shaming Theory

Braithwaite (Barlow) menjelaskan bahwa pemberian rasa, malu (shaming) adalah semua proses-proses sosial yang menunjukan ketidaksetujuan yang bertujuan agar orang yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum merasa menyesal dan malu. Penghukuman semacam inl -yang biasanya dilakukan oleh anggota masyarakat- membuat orang menjadl waspada akan adanya shaming. Braithwaite (1996: 2) meyakini bahwa pemberian rasa malu sebagai suatu bentuk hukuman kepada pelaku ini, memiliki dua kemungkinan: Reintegrative Shaming atau stigmatisasi (stigmatization).

Reintegrative Shaming (Braithwaite, 1989: 84-97) adalah proses mempermalukan yang diikuti dengan upaya-upaya mengintegrasikan kembali pelaku penyimpangan atau pelanggaran hukum ke dalam masyarakat yang patuh hukum.

Karakteristik Reintegrative Shaming menurut Braithwaite (1996;2) adalah jika masyarakat:

a)             Menolak atau mencela tingkah laku jahat, memujl atau mendukung tingkah laku baik.

b)            Memiliki formalitas yang menyatakan tingkah laku seseorang jahat atau menyimpang, yang diakhiri dengan menyatakan orang tersebut sudah dlmaafkan.

c)             Memberikan hukuman atau pencelaan tanpa proses labelling.

d)            Tidak menjadikan kesalahan atau penyimpangan atau kejahatan sebagai dari status utama (master status trait).

4.             Konsep Kenakalan Remaja

Dalam pasal 1 UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak, disebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (ayat 1). Sedangkan pengertian anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (ayat 2).[1]

Dari pengertian tersebut, bentuk kenakalan remaja dapat bermacam-macam. Misalnya berupa kejahatan kekerasan oleh anak seperti pembunuhan dan penganiayaan, pencurian baik pencurian berat maupun pencurian ringan oleh anak, penyalah gunaan narkotika oleh anak, kejahatan seksual oleh anak, pemerasan, penggelapan, penipuan, dan bentuk-bentuk kejahatan lain yang dilakukan oleh anak. Atau dapat pula berupa perbuatan melanggar hukum lainnya seperti perkelahian pelajar atau tawuran, kebut-kebutan, dan lain-lain.

Kenakalan remaja tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, yang dapat ditinjau dengan menggunakan berbagai macam sudut pandang, seperti sudut pandang psikologis maupun sudut pandang kriminologis.

Dalam sudut pandang kriminologis, kenakalan remaja dapat dikaji dengan menggunakan berbagai macam teori-teori kriminologis yang dikemukakan oleh para ahli kriminologi.

Kajian dan analisa terhadap berbagai bentuk kenakalan remaja tersebut bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja, dengan tujuan untuk memberikan pandangan dan pemikiran tentang upaya yang tepat serta memberi perhatian khusus untuk menangani permasalahan kenakalan remaja yang telah menjadi suatu fenomena dalam kehidupan masyarakat.


[1] UU No. 3 Tahun 1997, tentang Pengadilan Anak.