batampos – Kasus pornografi yang melibatkan anak ternyata terus bertambah. Dari data Simfoni PPA mencatat, kenaikan terus terjadi sejak 2019 lalu. Pada 2019, anak korban protitusi atau eksploitasi seksual komersial tercatat sebanyaj 106 anak. Lalu pada 2020 menjadi 133 anak. Pada 2021 jumlahnya naik menjadi 276 anak. Pada 2022 sempat turun menjadi 216 anak, tapi pada 2023 jumlahnya meningkat menjadi 260 anak korban.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Nahar membandingkan dengan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas Polri). Pada catatan dari 1 Januari 2020 hingga 25 September 2023 ada sebanyak 221 anak laki-laki dan perempuan usia di bawah 18 tahun yang menjadi korban pelecehan seksual. Lalu, ada 44 anak terlapor dan 173 anak saksi terkait kasus pornografi, prostitusi, dan eksploitasi seksual.
Apakah maraknya kasus pornografi yang melibatkan anak ini karena paparan internet? Nahar tidak menjawab secara pasti. Misalnya saja pada kasus pedofilia yang sampai sekarang belum jelas penyebabnya. “Namun beberapa faktor resiko dipandang memiliki peran yang cukup besar meskipun bukan sebagai hubungan sebab akibat,” ucapnya.
Baca Juga: Harga Beras Medium Dekati Level Premium
Pemerintah sebenarnya telah memiliki pagar untuk membatasi anak agar tidak terlibat dalam pornografi. Misalnya anak sebagai korban eksploitasi seks komersial anak (ESKA) berdasarkan UU No. 23/2002 mendapat perlindu-ngan khusus. “Hal itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masya-rakat,” ucapnya.
Nahar juga mengingatkan ada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlin-dungan Saksi dan Korban. Dalam aturan itu turut serta dalam memberikan bentuk perlindungan kepada anak yang menjadi korban eksplotasi seksual. “Keduanya me-ngatur perlidungan hukum yang dapat diberikan yakni rehabilitasi, perlindungan atas penyebaran atau pemberitaan identitas di media masa, jaminan kesehatan, advokasi dalam proses perkara, dan pemberian aksesibilitas dalam memperoleh informasi perkembangan perkara,” katanya.
Selain itu, anak korban eksploitasi seksual berhak untuk memperoleh dan mendapatkan hak restitusi dan layanan pemulihan. Ini sesuai Pasal 30 UU 12 tahun 2022 ttg TPKS dan Pasal 71D Undang-Undang Perlindungan Anak.
Plh. Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Rini Handayani menambahkan, pihaknya akan mengawal jalannya proses peradilan dan mendukung penuh segala proses sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Ia juga mengapresiasi jajaran Polresta Bandara Soekarno-Hatta karena kecepatannya dalam mengungkap jaringan atau sindikat internasional yang memperjualbelikan konten eksploitasi anak di bawah umur berupa pornografi anak.
Baca Juga: Sakit Hati Ditagih Utang, Paman Bunuh Keponakan dan Bakar Rumah Korban
”Sebelumnya pada 2023 lalu, Polresta Bandara Soekarno-Hatta pun telah bekerja sama dengan International Task Force of Violent Against Children milik FBI untuk melakukan investigasi mendalam terkait materi muatan kekerasan seksual terhadap anak yang diperjualbelikan di ranah daring,” ungkapnya.
Melansir dari informasi yang dihimpun Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 Kemen PPPA, diketahui awal mula para terduga pelaku mendekati anak korban dengan sering memberikan makanan dan mengajak anak korban untuk bermain salah satu game online. Setelah itu para anak korban diberikan akun game online tersebut dan diiming-imingi akan diberikan uang berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu dengan syarat para anak korban mau melakukan tindakan seksual. ”Dari situ para korban lantas melakukan tindakan seksual dengan terduga pelaku baik itu sentuhan alat kelamin hingga persetubuhan,” katanya.
Parahnya, aktivitas seksual yang dilakukan oleh para terduga pelaku dengan anak korban secara sengaja direkam. Para anak korban pun sadar bahwa rekaman video tersebut akan disebarluaskan para terduga pelaku. Tidak hanya direkam, ketika sedang melakukan aktivitas seksual tersebut, para terduga pelaku pun beberapa kali melakukan video call melalui salah satu aplikasi percakapan instan dengan klien terduga pelaku yang berasal dari luar negeri. Terduga pelaku juga mengirimkan video-video anak korban kepada kliennya.
”Aksi tersebut juga kerap kali dilakukan di kamar hotel ataupun kontrakan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Rini mengemukakan, KemenPPPA mendukung penuh segala proses hukum yang dijalankan oleh kepolisian. Termasuk, memfasilitasi tenaga saksi ahli untuk memberikan pandangannya terkait kasus dugaan Tindak Pidana Pornografi atau dugaan Tindak Pindana Dapat Diaksesnya Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau dokumen yang memiliki muatan kesusilaan dan/atau dugaan Tindak Pidana Perlindungan Anak selama proses hukum berlangsung.
Baca Juga: Sakit Hati Ditagih Utang, Paman Bunuh Keponakan dan Bakar Rumah Korban
Saat ini, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Tangerang dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang untuk mengecek kondisi fisik dan psikologis anak korban serta memberikan pendampingan psikologis kepada anak korban. UPTD PPA Kota Tangerang juga telah melakukan tracing dan visit ke rumah para anak korban serta melakukan pendampingan dalam proses hukum Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada para anak korban.
Dari pendampingan psikologis yang telah dilakukan, lanjut dia, para anak korban cenderung menunjukkan kecemasan dan memiliki rasa percaya diri yang kurang. Apalagi usia anak korban tengah memasuki tahap remaja awal dimana belum memiliki kematangan secara emosional dan sosial.
”Sehingga para anak korban ini pun mudah dirayu, dibujuk, dan dipengaruhi oleh para pelaku karena mereka memiliki tingkat intelegensi yang cenderung rendah,” jelasnya.
Atas tindakan yang dilakukan para terduga pelaku kepada para anak korban, maka terduga pelaku dapat dijerat menggunakan Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76E Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undan-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Terduga pelaku pun dapat diancam dengan hukuman pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
”Kami menuntut agar para terduga pelaku mendapatkan hukuman berat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Kami juga siap memberikan bantuan yang dibutuhkan oleh para anak korban dalam hal pendampingan psikososial,” tegasnya.
Baca Juga: Menag Yaqut Optimis Didukung Banyak Pihak Terkait Usulannya KUA Jadi Tempat Nikah Semua Agama
Di sisi lain, Rini turut mengingatkan kepada orangtua agar selalu mengawasi dan memperhatikan segala sikap dan perilaku anak juga lingkungan sekitar. Sehingga, dapat dengan mudah mendeteksi adanya perubahan atau ketimpangan pada anak. Masyarakat juga diminta segera melapor kepada pihak berwajib jika mendapatkan atau menemui kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di sekitarnya.
”Keluarga memang memiliki peran utama dalam memberikan pengawasan terhadap perilaku dan tumbuh kembang anak. Namun, masyarakat juga memiliki peran penting dalam pengawasan,” tuturnya.
Pakar keamanan siber Pratama Persadha kemarin juga menyebut bahwa kejahatan seksual terhadap anak-anak bukanlah sebuah masalah yang baru muncul. Motifnya pun selalu berubah. Dia mencontohkan pada 1990-an kejahatan seksual pada anak muncul melalui berbagai buletin board yang ada pada saat itu. “Saat ini kejahatan seksual pada anak banyak beredar di sosial media dalam bentuk grup tertutup, aplikasi perpesanan seperti Telegram serta banyak berkembang di darkweb,” ungkapnya. Anonimitas ini yang membuat sulit untuk melacak pelakunya. (lyn/mia)
Sumber: JP group