Ikuti Timbang Pandang, Dialog Seni Rupa di Bentara Budaya Bali

Bentara Budaya Bali (BBB) kali ini mengetengahkan tematik perihal Fenomena Formalistik Seni Rupa Kita.

Editor: Kander Turnip
istimewa
Wicaksono Adi 

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Aneka fenomena dan wacana yang mengemuka di ranah seni rupa kini, menarik untuk didialogkan.

Melalui sebuah acara Timbang Pandang, Bentara Budaya Bali (BBB) kali ini mengetengahkan tematik perihal “Fenomena Formalistik Seni Rupa Kita”.

Dialog ini akan berlangsung Minggu (4/9/2016) pukul 18.30 Wita di Jalan Prof Ida Bagus Mantra No 88A, Ketewel, Gianyar, Bali.

Tajuk acara timbang pandang ini merujuk pada lahirnya fenomena seni rupa kontemporer yang belakangan ini menghadirkan pula bentuk-bentuk visual bersifat formalistik.

Hal mana ini tak urung dipicu oleh kemajuan teknologi kini, di mana segala informasi hadir seketika dan serentak di ruang publik maupun pribadi.

Fenomena itu bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak belahan negeri lain.

Seni rupa seakan berbenturan pandangan dengan keyakinan-keyakinan religius; tecermin adanya larangan-larangan terhadap karya-karya yang dianggap melecehkan atau menista keyakinan atau kepercayaan tertentu.

Selaku narasumber timbang pandang ini adalah Wicaksono Adi dan I Wayan Seriyoga Parta.

Keduanya sama–sama merupakan kritikus dan kurator seni rupa.

Wicaksono Adi dan I Wayan Seriyoga Parta akan mencoba mencari jawaban dan merumuskan pandangannya atas fenomena tersebut, seraya merunut kembali sejarah seni rupa Indonesia yang ditandai aneka dinamika dan perubahan, meliputi pergulatan pemikiran, gagasan maupun praktik penciptaan.

Mulai dari Periode Perintis (1826-1880) oleh perupa Raden Saleh, kemudian periode Moei Indie, dengan seniman seperti Abdullah Surio Subroto, Sujono Abdullah, Basuki Abdullah, Wakidi, dan lain-lain.

Lahir Persagi di masa pergolakan nasional dengan seniman pelopor antara lain S Sudjojono, Affandi, dkk, berlanjut hingga ke masa pendudukan Jepang; lalu periode Akademi (1950); dinamika tahun 60-an, hingga tampilnya Seni Rupa Baru (1974).

Selain itu, akan ditelisik pula perihal mengapa muncul pertentangan antara seni dan keyakinan, padahal mulanya diyakini seni rupa adalah ekspresi religius, hingga praktik seni rupa di tengah aneka gejala semacam itu.

“Melalui timbang pandang kali ini diharapkan hadir satu pemahaman yang holistik terhadap dinamika terkini seni rupa kita guna mendorong atmosfer penciptaan yang lebih sehat dan kreatif, ditandai tumbuhnya kesadaran toleransi yang tinggi dan penghormatan pada keragaman tecermin pada buah cipta mereka,” ungkap Putu Aryastawa, staf BBB.

Wicaksono Adi, kritikus seni rupa serta penyair, akan menelusuri akar paradigma, terutama dari dasar dan posisi doktrin terkait bentuk-bentuk simbolik religius dan kecenderungan formalisme dimaksud, merunut sejarah perkembangannya, baik dalam seni religius tradisional pada masa awal masehi hingga masa modern dan kontemporer.

Sementara I Wayan Seriyoga Parta, akan mempresentasikan hasil kajiannya bersama Gurat Institute perihal seni dalam balutan religi di Bali, yang ditandai adanya persilangan yang eklektik secara evolutif dari sistim kepercayaan lama (prasejarah) yang kemudian bertemu dengan berbagai sistem kepercayaan.

Awalnya, seni-seni di Bali adalah hasil karya yang bersifat kolektif, Dewa-dewa para penjaga sembilan penjuru mata angin, Raksasa, dan epos filosofis dalam kitab Itihasa; Ramayana dan Mahabarata dalam bentuk lukisan dan relief ukiran yang dibuat oleh para sangging.

Seriyoga Parta juga akan menelisik fenomena seni rupa kontemporer Bali, yang boleh jadi merupakan cerminan transformasi sosial kultural masyarakat. (*)

Sumber: Tribun Bali
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2024 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved