jokowi undercover dan gurita cikeas

 IMG_20170224_081656.jpg

Buku “Jokowi Undercover” karya Bambang Tri Mulyono bikin heboh. Buku itu menyebut identitas Presiden Joko Widodo berbeda dari yang umum kita ketahui.

Menulis, menjual buku secara mandiri dan online, bahkan menggelar bedah buku di Magelang, Bambang Tri Mulyono pun ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.

Kakak Bambang Tri, Bambang Sadono, anggota DPD Jawa Tengah dan mantan wartawan, menjelaskan bahwa adiknya memang seorang penulis dan sebelumnya  pernah jadi wartawan—meski tak menyebut media mana.

“Dia tidak hanya menulis buku. Dia sering membantu para tokoh untk menulis di media,” kata Sadono. Namun ia mengaku tidak hafal buku karya adiknya. “Yang pernah ditunjukkan ke saya buku Adam 31 Meter.”

Buku ini berisi tentang seputar penemuan jejak Nabi Adam yang disebut berpostur raksasa dan dikaitkan dengan ayat-ayat Al Quran.

Penerbit buku ini, Pustaka Pesantren, “anak” penerbit LKiS, sampai didatangi intel pekan lalu. BT menawarkan naskah karya ini sendiri ke penerbit. Sayangnya penerbit tersebut enggan bercerita lebih lanjut soal BT.

Namun seorang staf penerbit memastikan buku Adam 31 Meter bukan karya yang laku. Setahun mungkin hanya terjual 30-an buku.  Kendati diterbitkan oleh penerbit lumayan top, Bambang Tri proaktif untuk merilis Adam 31 Meter, bahkan pihak penerbit tak tahu proses karya itu bisa diterbitkan.

Jejak politik Bambang Tri lumayan panjang. “Dia pernah jadi Ketua KPU Kecamatan, Ketua PKB tingkat kecamatan, pernah jadi caleg DPRD Kabupaten dari PKB kemudian dari Partai Golkar. Semuanya di Blora,” cerita Sadono. “Terakhir setahu saya simpatisan Gerindra.”

Ketika masih mahasiswa, Bambang Tri pernah bercerita pada Sadono, ia membantu seorang guru besardan anggota DPR, untuk membuat tulsian di media. “Tapi itu sudah lama sekali.”

Bambang Tri pernah kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, lalu pindah e Fakultas Pertanian Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Sadono tak menanggapi pernyataan polisi bahwa Bambang Tri tak punya intelektualitas seperti layaknya penulis. Sadono menganggap isi buku itu merupakan suatu kritik pada pemerintah. “Tanggapan dan kritik itu boleh saja.”

Sadono dan keluarga sudah ketemu dengan Bambang Tri di tahanan. “Dia sehat. Dia minta untuk segera didampingi pengacara. Saya sampaikan banyak pihak yang ingin membantu pengacara. Saya serahkan sepenuhnya pada dia untuk pilih sendiri,” tutur Sadono.

Heboh karena buku yang menyinggung penguasa tak hanya terjadi di jaman Presiden Jokowi. Presiden SBY juga mengalami hal serupa karena buku “Gurita Cikeas” karya aktivis-penulis terkenal mendiang George Junus Aditjondro pada awal 2010.

Ketika itu, kantor penerbitnya, Galangpress, yang berdiri 5 Mei 2002, sampai diserbu banyak pembeli hingga antri. Nama mereka bergiliran dipanggil petugas bagian penjualan penerbit itu untuk menerima buku berjudul lengkap ‘Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century’ itu yang mereka pesan sebelumnya.

Rata-rata pesanan 5-10 eksemplar untuk buku seharga Rp 36.000 itu. Di luar itu, buku dijualbelikan secara eceran, atau fotokopian, dengan harga jauh melambung. Satu buku bahkan ditawarkan hingga Rp300.000.

Indra Gautama dari PT Buku Kita, distributor tunggal buku itu, juga terus menerima pesanan. Untuk Jogja, dari penerbit pihaknya telah dipasok 300 kopi. Kini total pesanan yang masuk sudah 250 buku. “Tapi stok tidak ada. Kami tergantung penerbit,” kata Indra.

Dari penelusuran toko-toko buku di Jogja, buku itu juga laris. Toko buku Social Agency hanya dapat jatah 20 kopi dan langsung habis bahkan sebelum buku itu jadi heboh.

Tapi Gramedia mengaku tak menyediakan buku itu. Toko buku Togamas tak kebagian jatah karena, menurut informasi, pembayarannya ke distributor dan penerbit sering seret. Sebaran di sentra lapak buku Shoping juga sudah habis.

Pendiri sekaligus direktur Galangpress, Julius Felicianus, menyatakan pasokan ke sebuah toko buku besar mencapai 70% dari cetakan pertama sebanyak 4000 eksemplar. Ia tak tahu kenapa Gramedia menarik peredaran. “Kemungkinan cari selamat atau sungkan,” katanya, yang mengaku tak ada penjelasan dan komunikasi dengan toko buku itu.

Sisanya, 30%, ada di penerbit dan toko buku kecil.  Dari 4000 kopi, terbanyak untuk Jabodetabek yakni 1200 buku. Selebihnya untuk Jogja, Bandung, Semarang, dan Surabaya, Malang. Stok buku Gramedia bahkan diretur ke pihak distributor. “Sudah banyak yang menyatakan siap membantu pemasarannya,” kata Julius.

Ide awal buku ini dari diskusi Galangpress dan George Junus sekitar enam bulan silam—sehingga tidak ada penawaran ke penerbit lain. Penyusunan buku hanya makan waktu 1,5 bulan. Semua data dari penulis. Selama penyusunan buku, George menginap di kantor Galangpress dengan pelayanan penuh.

Tak ada data yang ditambah dan dikurang pihak editor dan penerbit. Editing juga kecil-kecilan, hanya menyangkut kata dan salah ketik.  Draf buku sempat ditunjukkan ke Syafii Maarif, Teten Masduki, dan ICW. “Mereka sangat setuju apalagi yang nulis GJA,” kata Julius.

Buku ini buku pertama Galangpress yang bertema korupsi. Buku Galangpress kebanyakan tentang social politik dan humaniora. “Ini catatan 100 hari pemerintahannya (SBY) untuk lima tahun ke depan. Ada masalah pemberantasan korupsi di linkungan anda. Ini malah membantu SBY dalam memberantas korupsi,” ujar Julius.

Menurutnya, pihaknya gregetan dengan praktik korupsi yang tak ada habisnya. Namun ia tak sepakat pemerintahan SBY dipotong di tengah jalan.  “Kalau (buku Gurita Cikeas) dimaafaatkan secara politis, itu di luar wewenang kami,”katanya.

Julius menyatakan ada penumpang gelap yang tidak suka dengan SBY dan memaafaatkan buku itu. “Saya akan protes keras karena buku ini bukan untuk menggulingkan SBY,” katanya.

Pihaknya pernah menerbitkan buku-buku tentang SBY yang positif dan tebit sebelum pilpres kedua, 2009. Jumlahnya empat buku, antara lain bertajuk ‘Indonesia Memilih’ (dengan sampul foto SBY) dan ‘Dunia Spritiual SBY’. “Harusnya Pak SBY berterimakasih pada kami,” katanya. “Kalau mau fair (mestinya buku-buku itu), dimasalahkan juga.”

Bahkan Julius mengakui mendukung kampanye Boediono di Yogya sebagai calon wakil presiden dengan menggelar perpustakaan keliling. Galangpress juga menerbitkan dua buku tentang Boediono secara positif—di samping buku tentang Sultan HB X dan tiga buku soal Prabowo.

Penerbitan buku-buku itu, kata dia, seusai timing masalah aktual  dan jadi bagian bisnis industri perbukuan. “Kami tidak dibayar sama orang (untuk menerbitkan buku),” katanya.

Ia bilang, kalau isi buku itu tidak benar, pihak-pihak yang disebut tidak perlu kebakaran jenggot. Cukup menunjukkan bukti dengan membuat buku balasan.

Pihaknya sengaja tidak melakukan verifikasi atau konfirmasi ke pihak-pihak yang disebut dalam buku. “Karena passti tidak ditindaklanjuti,” ujarnya.

Tentang metodologi penulisan buku yang dianggap lemah, Julius beragumen buku itu ditujukan untuk pembaca umum. “Kalau detail seperti karya akademik, masyarakat susah membaca—meski saya tak menyepelekan masyarakat,” katanya.

Misalnya soal Bank Century yang hanya disebut dalam 2,5 halaman. Mengungkap  kasus ini memang susah. “Kalau dilihat langsung dari Bank Century nggak bakal ketemu. (makanya) Melihat dari (koran SBY) Jurnas dan yayasan (SBY). Ini kejelian GJA saja,” ujarnya.

Bahkan, dalam bagian buku yang menyebut pengusaha Syamsul Nursalim, mantan presiden Megawati justru menjadi pihak yang diserang.

Julius mengaku menerima beberapa telepon dari nomor rahasia yang meminta buku ini ditarik. Toh ia cuek dan kantor penerbitannya juga aman dari demo. Lagipula sedari awal ia dan George sudah siap dengan konsekuensi menerbitkan Gurita Cikeas, termasuk jika dipenjara.

Namun ia yakin itu tak akan terjadi. Untuk soal ini, kata dia, “SBY lebih bagus, tidak minta ditangkap atau bukunya ditarik.”

Setahun kemudian, George Junus merilis sekuelnya, Cikeas Kian Menggurita, yang cetak awal 7500 buku. Ketika itu, DPR tengah membentuknya panitia kerja mafia pemilu 2009.  “Panja ini kukuhkan kesimpulan saya,” katanya.

Namun panja baru sebatas menyoal kinerja Andi Nurpati saja (anggota KPU yang bergabung Partai Demokrat. Itu baru setitik padahal ada pelanggaran KPU lainnya yang lebih prinsipil,” tutur George saat itu.

Antara lain tidak independennya Ketua KPU saat hari pencoblosan yang berada di TPS Cikeas, hingga pelanggaran operasional. Dengan berbagai pelanggaran itu, George berkesimpulan pemilu harus diulang.

Apalagi kini ada kasus korupsi bendahara PD, Nazaruddin. “Ini menunjukkan ketidaktransparanan pembiayaan partai,” kata George. “Dari segi hukum, pelanggarannya bukan hanya UU pemilu, tapi juga UU parpol.”

 

 

 

Tinggalkan komentar