Kamis, 29 Agustus 2019

Hanyut Dalam Kesunyian yang Melangut di Makam Sunan Bonang




Senin, tanggal 19 Agustus saya dan Wardah Fajri masih berada di penginapan Kurnia Lasem. Setelah malam sebelumnya gagal melanjutkan perjalanan ke pesantren Al Anwar, tempat Mbah Moen, kami memutuskan istirahat saja sambil menyusun rencana untuk esok harinya.

Sejujurnya saya merasa bersalah jika melewati Lasem tanpa singgah di pesarean Sunan Bonang. Dan ini membuat saya merasa tidak tenang. Karena itu saya menekankan bahwa esok pagi harus mengunjungi makam salah satu dari Walisongo tersebut.

Setelah sarapan dengan menu terbatas (maklum penginapan backpacker), kami keluar sekitar pukul sembilan lebih. Sebuah bus tanggung yang sudah tampak tua menjadi tumpangan ke makam Sunan Bonang, yang kebetulan tidak jauh dari jalan raya. Kami diturunkan persis di depan gang yang menuju area makam.

Dengan langkah yakin saya berjalan menuju makam Sunan Bonang, mengandalkan ingatan yang samar 14 tahun lalu ketika terakhir kemari. Entah, ada semacam rindu yang menguatkan untuk 'bertemu' dengan sang wali.

Di balik tembok area makam suasana sepi menyambut. Kami melihat hanya ada seorang nenek yang duduk di pelataran luar. Saya melewati nenek tersebut, bergegas ke area dalam dan ternyata tak ada seorangpun di sana. Saya mengintip ke dalam ruangan makam yang terkunci, tidak ada tanda-tanda adanya manusia.

Setelah memeriksa dengan segenap pandangan mata, area makam ini benar-benar sunyi senyap, hanya angin yang berbisik malas. Otak saya berpikir cepat, lalu kembali berbalik menemui nenek yang tadi duduk sendirian.

Nenek itu sudah buta dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Saya perkirakan usianya di atas 90 tahun. Saya pun menggunakan bahasa Jawa untuk menanyakan keberadaan kuncen makam Sunan Bonang.

Berdasarkan petunjuk si nenek, saya keluar lewat pintu belakang untuk mencari rumah kuncen. Tetapi untuk memastikan rumah tersebut, saya sempat bertanya lagi pada penduduk setempat.

Tibalah kami di rumah sederhana yang terbuat dari dinding bambu atau disebut Gedeg. Saya mengucap salam beberapa kali hingga akhirnya ada seorang perempuan muncul. Saya perkirakan dia adalah putri sang kuncen. Kami dipersilahkan menunggu kembali di pendopo makam Sunan Bonang, sementara Pak Kuncen dipanggil.

Sebelum memasuki pendopo, saya dan Wardah Fajri bersuci terlebih dahulu, mengambil air wudhu dari keran yang ada di depan dinding kawasan makam. Setelah itu kami duduk menunggu kedatangan kuncen di pendopo yang konon dahulu merupakan rumah Sunan Bonang itu sendiri.

10 menit kemudian, seorang lelaki tua yang kurus tinggi datang memperkenalkan diri. Dialah kuncen makam Sunan Bonang. Pintu ruangan makam dibuka, kami berdua masuk ke dalam. Tampak sebuah makam sederhana, hanya berupa gundukan tanah dengan sebatang perdu sebagai penanda.



Itulah makam Sunan Bonang yang juga adalah putra dari Sunan Ampel. Jantung berdesir ketika memandang makam tersebut. Rasa haru menyelinap, membuat saya ingin menangis. Dalam waktu yang sekejap itu saya melampiaskan rasa rindu tanpa kata.

Pak Kuncen saya minta memberikan keterangan dengan bahasa Indonesia supaya sohib saya Wardah Fajri mudah memahaminya. Sementara ia menceritakan kisah Sunan Bonang, saya berdialog sendiri dengan sang wali melalui hati yang penuh cinta.

Selain suara jernih kuncen yang bercerita dengan khidmat, saya meresapi kesunyian yang melangut di sekitar kami. Kesunyian yang membuat saya ingin berada di tempat itu selama mungkin. Hanya saja saya tidak mungkin melakukan hal itu.

Sebagian besar kisah itu sudah saya ketahui, karena sejarah Walisongo selalu lekat dalam ingatan. Pak Kuncen menjelaskan bagaimana Sunan Ampel memerintahkan Sunan Bonang untuk menetap di wilayah itu dan berdakwah, menyebarkan agama Islam.

Setelah selesai dengan penjelasan yang runtut, Pak Kuncen mempersilahkan kami untuk berdoa. Dia sendiri keluar dan menunggu di pendopo. Ia memberi kesempatan pada kami supaya lebih khusyuk berdoa di makam tersebut.



Kalau saya, hanya membaca doa singkat dan inti dari 'pertemuan' ini. Saya cukup senang melihat rekan Wardah Fajri mengirim doa untuk beliau dan menghayati keberadaannya di pesarean Waliyullah yang satu ini. Saya bahagia dengan cara saya sendiri.

Usai dengan kunjungan ini, kami keluar menemui Pak Kuncen yang bernama Abdul Wahid. Kami pamit sebelum menuju masjid Sunan Bonang yang hanya berjarak lima puluh meter dari area makam. Pak Kuncen yang halus dan sopan itu mengantarkan kami hingga ke pintu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar